Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?

Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Share this :

Sosok Bu Dar Mortir, kiranya penting bagi masyarakat Surabaya, khususnya bagi generasi digital saat ini, mengenal kiprahnya dalam Pertempuran Surabaya 1945. Kini, benda-benda sejarah peninggalannya yang melengkapi koleksi Museum Sepuluh Nopember Surabaya menjadi saksi sejarah tentang kiprah turut turun tangan Bu Dar dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Untuk memfasilitasi itu, Museum Sepuluh Nopember bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga serta Pariwisata Kota Surabaya menyelenggarakan kajian koleksi bertajuk “Benda Sejarah Peninggalan Almarhumah Ibu Dariyah Soerodikoesoemo (Bu Dar Mortir) Pelaku Pertempuran 10 November 1945 Divisi Dapur Umum” di Auditorium Museum 10 Nopember, Selasa (24/5/2022).

Seminar dengan suasana ‘gayeng’ hadir sebagai narasumber yakni Bambang Priambodo, anak Bu Dar Mortir; RN Bayu Aji dari Unesa; dan Ady Setyawan, penulis sejarah Surabaya sekaligus founder Roode Brug Soerabaia. Hadir pula sekitar 50 orang peserta seminar dari berbagai kalangan, dan latar belakang profesi mereka. Turut hadir pula, Sumarno, anggota TACB Kota Surabaya.

Bambang Priambodo menuturkan, Bu Dar menyerahkan kepadanya satu koper di antaranya berisi bendera merah putih, pakaian yang dibuat tahun 1946, beberapa lencana penghargaan dari pemerintah. Yakni, Lencana Pahlawan Gerilja, Pradjurit Setia VIII, Perang Kemerdekaan I, Perang Kemerdekaan II, dan lencana dari Kementerian Sosial serta selembar surat wasiat.

Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Panitia pelaksana seminr membuka acara
Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Para narasumber : Bambang Priambodo, RN Bayu Aji, dan Ady Setyawan

“Pesan tertulisnya, benda-benda tersebut, khususnya pakaian, agar diserahkan kepada Museum Sepuluh Nopember sebagai koleksi benda bersejarah,” tutur pengurus Yayasan Panti Werdha Hargo Dedali, sebuah panti yang dulu didirikan atas prakarsa Ibu Soedarijah Soerodikoesoemo (Bu Dar Mortir).

Sematan nama “Mortir” di belakang panggilan Bu Dar, lanjut Bambang, bermula dari proses pengambilan ransum makanan yang kadang-kadang tidak tertib. Kebiasaan Bu Dar selalu menertibkan para prajurit ketika menerima ransum makanan. Jika ditemukan tidak tertib, Bu Dar akan melemparkan kunyahan daun sirih dan ‘susur’ kepada prajurit yang membandel.

“Kunyahan daun sirih dan ‘susur’ yang dilemparkan kepada prajurit itulah yang kemudian disebut “mortir”, ‘susur’ bentuknya bulat seperti mortir. Lantaran seringnya, sebutan “mortir” yang disematkan di belakang nama Bu Dar, namanya jadi lebih populer dipanggil Bu Dar Mortir,” lanjutnya.

Sedangkan bendera Merah Putih dikibarkan Bu Dar ketika tinggal di Jagalan Gang I nomor 1 Surabaya. Bendera tersebut dikibarkan sebelum Indonesia merdeka. Suatu ketika sempat ditegur Moestopo karena belum ada instruksi pengibaran bendera, bahkan belum ada wacana bahwa Indonesia sudah merdeka. Hal ini, berdasarkan catatan statemen barangkali masih perlu digali lebih dalam, pungkas Bambang.

Sementara itu, RN Bayu Aji, menjelaskan bahwa Bu Dar Mortir adalah inisiator pendirian dapur umum untuk logistik para pejuang pada saat Pertempuran 10 November 1945. Ia juga yang menginisiasi pendirian pos-pos PMI untuk para pejuang. Ia memulai pembangunan dapur untuk logistik pada saat bentrokan besar pertama melawan pasukan Inggris dan India antara 27 dan 30 Oktober 1945.

Lebih lanjut Bayu Aji menambahkan, sejarawan Australia dan penulis buku ‘Surabaya 1945 : Sakral Tanahku’, Frank Palmos, mengatakan, “British and Dutch commanders could not understand how the revolutionaries got food and water to keep fighting. The heroine behind the scenes was 42 years old East Javanese woman known throughout Surabaya as Dar Mortir.”

Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Sumarno, anggota TACB Kota Surabaya turut ambil bagian dalam seminar
Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Peserta seminar dari berbagai kalangan dan profesi

Jika diterjemahkan kurang lebihnya, “Para komandan Inggris dan Belanda tidak dapat memahami bagaimana kaum revolusioner mendapatkan makanan dan air untuk terus berjuang. Tokoh di balik layar adalah wanita Jawa Timur berusia 42 tahun yang dikenal di seluruh Surabaya sebagai Dar Mortir,” Frank Palmos.

Pada kesempatan yang sama, Ady Setyawan menambahkan bahwa ketika Pertempuran Surabaya 1945 peran wanita sangat gigih, hal ini dapat dicermati pada kutipan dari Surat Kabar The Herald 12 November 1945 menyebutkan, “Di Surabaya wanita-wanita Indonesia merayap di kegelapan malam menuju medan perang untuk mengevakuasi mayat-mayat rekannya.”

Ady Setyawan menambahkan, menurut Prof. Osmand Raliby – kesaksian wartawan Surat Kabar ‘Merah Purih’ 15 November 1945, menyebutkan “Wanita kita maju ke garis depan tanpa gentar sedikit pun juga, kalau peluru datang berdesing-desing mereka merangkak dan terus mendatangi pahlawan-pahlawan kita dengan membawa makanan sambil berkata ‘Mari Saudara, makanlah dahulu barang sebentar’.”

Drg. Barlan Setiadijaya (Brigjen TNI Purn.), lanjutnya, menuliskan bahwa Bu Dar Mortir adalah inisiator Dapur Umum. Sebelum pecah perang, Bu Dar mendatangi Dul Arnowo meminta izin untuk mendapatkan logistik dari gudang beras Jepang di Kali Mas. Beras diangkut menggunakan truk Polisi Istimewa. Sedangkan Hario Kecik dalam memoarnya menuliskan, “Bu Dar Mortir mendatangi markas demi markas pejuang menanyakan ada tidaknya stok beras untuk bisa beliau organisasikan.”

Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Peserta seminar dari berbagai kalangan dan profesi
Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Sesi foto bersama peserta seminar dengan para narasumber

Kiprah Bu Dar Mortir

Dilansir dari roodebrugsoerabaia.com, Ady Setyawan merangkum dari artikel majalah Panjebar Semangat Nomor 16 tanggal 21 April 1971 hasil wawancara dan foto oleh Sudi Suyono yang berjudul “Tetepangan Bu Dar Mortier”. Bagi warga Surabaya, terutama Angkatan 45 dan juga Kodam V Brawijaya, nama Bu Dar Mortir tak asing. Kiprah Bu Dar ketika Inggris menyerbu Surabaya adalah orang yang pertama menginisiasi pendirian dapur umum.

Di samping mendirikan dapur umum, Bu Dar juga mendirikan dan mengorganisir pos-pos PMI untuk merawat para pejuang yang terluka. Bu Dar senantiasa mengawasi dengan ketat distribusi nasi-nasi bungkusnya, jangan sampai diterima para pemuda dalam keadaan sudah basi. Total terdapat 100 dapur umum yang tersebar di antara Gresik dan Sidoarjo.

Ibu dr. Angka Nitisastro, Ibu Soemantri, Ibu Dirdjo/Ibu Moenandar (istri dari dr. Samsi ), Ibu Soepeno, dan masih banyak lagi adalah kawan-kawan seperjuangan Bu Dar pada masa itu. Ketika kota Surabaya telah jatuh total ke tangan Inggris, Bu Dar diminta bantuannya untuk mengurusi dapur umum markas pertahanan COPP VI di bawah pimpinan Letkol Latif Hadiningrat.

Dalam sebuah gerakan mundur dari Surabaya ke kota Jombang di akhir tahun 1945, ketika sampai kota Jombang ternyata kota ini sudah kosong ditinggalkan sebagian besar penduduknya. Karena para pejuang sangat kelaparan, Bu Dar mendatangi sebuah toko China. Kemudian melepaskan gelang dan kalung emasnya seberat 100 gram untuk ditukarkan dengan bahan makanan bagi para pejuang.

Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Bu Dar Mortir, khas dengan ‘susur’ mortirnya, dikerubungi mantan anak buahnya (foto dok. Majalah Penyebar Semangat, 21/4/1971/Roode Brug Soerabaia)
Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Bu Dar Mortir dalam suatu acara peringatan Hari Pahlawan (foto dok. Majalah Penyebar Semangat, 21/4/1971/Roode Brug Soerabaia)

Pada Mei 1948 Bu Dar beroperasi di kawasan Kediri, tinggal di rumah Ibu Soewono. Saat di Kediri ia pernah hampir diculik oleh gerombolan Sabarudin. Atas kejadian ini Bu Dar melaporkan kepada Komandan Divisi bahwa pasukan Sabarudin berbuat onar dan terjadi kerenggangan antara pimpinan-pimpinan lapangan.

Agustus 1948 Bu Dar bergerak ke kawasan Ploso dan Karangrejo. Dalam perjalanan antara Karangrejo menuju Mojo, beliau bertemu dengan rombongan pasukan CPM (Corps Polisi Militer), para pengawal Panglima Besar Soedirman. Di situ, Bu Dar melaporkan bahwa desa Mojo tidak aman, maka pasukan tersebut berpindah ke desa lain yang berjarak 3 km dari desa Mojo.

Pada tahun 1949 Bu Dar kerap masuk kota yang telah dikuasai musuh untuk mempersiapkan keperluan logistik TNI dengan menyamar menjadi pedagang. Selain itu, juga mengamati keadaan dan situasi dalam kota, setiap hal penting dilaporkan kepada Komanda Divisi. Termasuk juga mengawasi sepak terjang anggota pasukan Sabarudin.

Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Bendera Merah Putih peninggalan Bu Dar Mortir
Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Berbagai lencana yang diterima Bu Dar Mortir

Selain jalan umum, Bu Dar pun sering keluar masuk melalui jalur hutan. Februari 1949 beliau berjalan melewati kawasan hutan Bajulan, Ngliman, Gunung Wilis hingga Trenggalek. Saat di kota Trenggalek terjadi perseteruan antara pasukan TRIP melawan Kompi Zainal. Hal ini memudahkan Belanda menundukkan kota Trenggalek dan melakukan ‘pembersihan’ ke desa-desa sekitarnya.

Kemudian 30 April 1949 Bu Dar berjalan menuju Tengger melewati Campurdarat. Perjalanan ini Bu Dar ditemani dua perwira, Letnan Pramudji dan Letnan Parjadi. Sejak awal meletusnya Perang Surabaya 1945 hingga masa Perang Kemerdekaan ia tak pernah absen. Bahkan Bu Dar juga menyaksikan peristiwa genting aksi PKI Madiun pada tahun 1948. Bu Dar aktif dalam Brigade S.

Dalam operasi penumpasan PKI dipimpin oleh Jonosewojo yang menggerakkan pasukan S dari arah Kediri, dan Ali Sadikin yang memimpin pasukan Siliwangi bergerak dari arah barat. Pasukan Siliwangi menduduki kota Madiun lebih awal. Para pimpinan RI yang menjadi tawanan PKI di desa Doengoes tidak berhasil diselamatkan, semuanya ditembak oleh pasukan PKI.

Bu Dar lahir di Purwokerto tahun 1908. Ia menikah dengan seorang dokter dari Bali, seorang duda dengan dua anak. Bu Dar tidak mempunyai anak biologis. Rumah di Jalan Pacar Nomor I Surabaya adalah hadiah dari pemerintah Hindia Belanda. Setelah masa kemerdekaan, Bu Dar dipanggil Moestopo untuk mendirikan CWB, kini menjadi Panti Werdha Hargo Dedali, berlokasi di Jalan Manyar Kartika IX No. 22-24 Surabaya.

Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Surat wasiat Bu Dar Mortir
Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?
Pakaian harian yang pernah dikenakan Bu Dar Mortir

*

Semasa hidupnya, Bu Dar Mortir tak sekadar sebagai perempuan ‘secondary figure’, melainkan sebagai perempuan yang mempunyai peran penting, khususnya dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sosok kiprah Bu Dar hendaknya dapat membangunkan memori kolektif masyarakat Surabaya, khususnya kalangan muda, dan menjadikan beliau sebagai sosok inspiratif, sosok yang berjiwa ‘ngopeni’.

Mengingat kiprah Bu Dar Mortir yang sangat gigih perannya, turut turun tangan dalam mempertahankan kemerdekaan, berbagai lencana penghargaan maupun benda-benda bersejarah lainnya sebagai bukti yang tak terbantahkan. Selayaknya sosok almarhumah Ibu Dariyah Soerodikoesoemo, atau Bu Bar Mortir, memperoleh anugerah sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Featured Image : Dok. Majalah Penyebar Semangat, 21/4/1971/Roode Brug Soerabaia

You may also like

4 thoughts on “Bu Dar Mortir, Salah Satu Kaum Hawa dalam Pertempuran Surabaya 1945. Apa Kiprahnya?”

  1. Bangsa yg besar adalah yg mau menghormati jasa para pahlawan yang.Sementara banyak pahlawan yg nyaris terlupakan jasa dan perannya saat mengorbankan nyatanya untuk masa depan anak cucunya.Nerdeka.

    1. Mas Santoso A.,
      Betul sekali pendapat Panjenengan. Maka sejak usia dini anak-anak mesti dikenalkan nama pahlawan, jasa-jasanya, dan tempat-tempat bersejarah
      sehingga akan terbangun memori kolektif tentang pahlawannya. Kelak menjadi tokoh-tokoh inspiratif mereka.
      Terima kasih, semoga sehat-sehat selalu.

    1. Bu Kun Mariyati,
      Inggih, tokoh yang bisa diteladani, tokoh inspiratif berjiwa “ngopeni”.
      Matur nuwun atas apresiasi Panjenengan.
      Semoga sehat selalu bersama keluarga besar.

Leave a Reply to Kun Mariyati Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *