Setelah pertempuran heroik di Gunungsari, Surabaya, pada November 1945, kondisi pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) dan pejuang lainnya cukup memprihatinkan. Mereka mengalami tekanan besar dari gempuran pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris dan NICA (Nederlands-Indische Civiele Administratie).
Pertempuran di Surabaya, yang memuncak pada 10 November, berakhir dengan mundurnya pasukan Indonesia, termasuk pasukan TRIP dan berbagai kelompok pejuang, ke daerah-daerah yang lebih aman untuk mempertahankan strategi gerilya. Pasukan TRIP dan kelompok pejuang lainnya memilih mundur ke daerah pedesaan yang lebih jauh dari pusat pertempuran, seperti Jetis dan Parengan di Mojokerto.
Lokasi ini dipilih karena selain cukup strategis, wilayah Mojokerto juga relatif lebih aman dari serangan langsung Sekutu pada saat itu. Mojokerto terletak tidak terlalu jauh dari Surabaya, tetapi cukup terpencil untuk menjadi basis pertahanan baru bagi para pejuang. Di Jetis dan Parengan, para pejuang mulai membaur dengan penduduk setempat.
Penduduk desa memberikan dukungan moral dan materiil, seperti makanan, tempat perlindungan, dan informasi intelijen tentang pergerakan musuh. Interaksi ini sangat penting karena mengeratkan ikatan antara pejuang dan rakyat, membangun kepercayaan yang kuat sebagai landasan perjuangan selanjutnya.
Gunarso, salah satu pengurus Paguyuban MAS TRIP Jawa Timur, dengan didampingi Ketua Roode Brug Soerabaia Satrio Sudarso, dan beberapa anggota, mengadakan Napak Tilas ke Parengan dan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timut. Kegiatan dimaksud untuk mencari jejak tentang bantuan sarana dari MAS TRIP tahun 1976 yang diberikan untuk membantu masyarakat setempat.
“Paguyuban MAS TRIP pernah memberikan bantuan berupa bangunan Balai Desa dan rumah Kepala Desa di Desa Parengan Mojokerto, dan satu lagi yaitu bangunan SMP Mojopahit 1 di Desa Jetis Mojokerto,” tutur Gunarso, Senin (7/10/2024) siang.
Mengapa ia mencari sendiri dengan kawan-kawan anggota Roode Brug Soerabaia, lanjutnya, karena seperti yang diceritakan Kades Parengan, Sali, sejak tahun 1976 setelah bantuan itu diberikan kepada masyarakat, personal MAS TRIP itu tidak pernah meninjau kembali melihat keadaan bantuan yang pernah diberikan.
Mereka senang sekali bahwa ada pengurus MAS TRIP yang datang adalah berkah bagi mereka, sehingga bisa melaporkan keadaannya yang begitu, seperti yang dibangun tahun 1976. Mereka merasa bahwa bangunan ini asetnya MAS TRIP, mau mengubah maupun merenovasi itu tidak berani, tambah Gunarso.
“Izin ke siapa, karena pengurus Paguyuban Mas TRIP itu sendiri tidak pernah datang, mengunjungi asetnya, dan kalau mengurus izin ke mana?” tiru Gunarso dari ucapan Sali, Kades Parengan.
Kedua bangunan itu sifatnya hanya bantuan kepada masyarakat, menurutnya, lantaran dulu Parengan dan Jetis itu tempat yang berjasa sebagai tempat “Condrodimuko”-nya pasukan Mas TRIP. Tempat konsolidasi pasukan sebelum menyerang kembali ke Surabaya, dan tempat mencari pasukan baru yang datang dari beberapa daerah.
“Di Parengan itu mereka dilatih untuk menjadi tentara yang mumpuni. Kira-kira 3 hingga 4 bulan di situ, dilatih fisik, penggunaan senjata, strateg perang gerilya, dan penguatan semangat serta mental. Setelah itu, mereka dipersiapkan menyerang kembali ke Surabaya,”tambahnya.
Menurutnya, tujuan napak tilas dan mencari sendiri, ke depannya ia akan mengajak teman-teman pengurus yang lain untuk melihat langsung di lokasi, sementara ini hanya menceritakan dulu keadaannya dengan data foto-foto yang ada. Nantinya, ia akan mencoba berkoordinasi, mengajak beramai-ramai untuk memotivasi lagi masyarakat di sana, baik di Parengan maupuhn Jetis.
“Seperti tadi, untuk SMP Mojopahit 1 Jetis ada data laporan dari fotonya bahwa bangunan sekolah tersebut sekarang sudah tidak terpakai dan nganggur. Yang memprihatinkan, mereka tidak berani mengubah aset itu untuk kepentingan lain yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,”lanjutnya.
Sementara Kader Jetis Sigit Purnomo menambahkan, kalau tidak ada izin dari MAS TRIP, aparat jajarannya tidak berani mengubah peruntukannya. Sebenarnya ada tawaran bantuan dari pemerintah, namun perangkat desa tidak berani menerima karena tidak ada izin dari Paguyuban MAS TRIP.
“Seiring waktu SMP Mojopahit 1 ini tutup karena berdirinya SMP Negeri di sekitaran, baik di Jetis maupun di Canggu, sehingga lambat laun sekolah ini tidak ada calon siswa yang mendaftar. Kami bingung mau dimanfaatkan untuk apa, sementara tak bisa menghubungi Paguyuban MAS TRIP. Jadi doa saya terkabul, Bapak-napak tilas ke sini,” kata Kades Sigit Purnomo
Persepsi tu yang menjadikani prihatin, imbuhnya, Paguyuban MAS TRIP itu sebetulnya hanya menyumbng, lantaran baiknya masyarakat kedua desa waktu tersebut. Mengapa ia getol sekali ingin ke sana dan mengajak teman-teman Roode Brug Soerabaia, karena MAS TRIP di Parengan dan Jetis itulah menjadi populer hingga seperti sekarang ini.
“Panggilan MAS TRIP, ya karena di Parengan dan Jetis untuk kali pertama masyarakat memanggil pasukan TRIP itu menjadi pasukan MAS TRIP. Mengapa?” Ya, karena pasukan, atau tentara masih kecil-kecil, belasan tahun. Dipanggil “Pak” nggak pantes, akhirnya di panggil “MAS”, jadi masyarakat sana yang mempopulerkan panggilan pasukan TRIP menjadi pasukan MAS TRIP,” pungkas Gunarso.
Biarkan Foto Bicara
Roode Brug Soerabaia Dampingi Pengurus Paguyuban MAS TRIP Jawa Timur Napak Tilas ke Parengan dan Jetis
