Sebagian Kampung di Surabaya Masih Pertahankan Tradisi Lebaran Ketupat atau Lebaran Syawalan

Sebagian Kampung di Surabaya Masih Pertahankan Tradisi Lebaran Ketupat atau Lebaran Syawalan
Share this :

Sebagian kampung di Kota Surabaya, seperti di Kampung Pandugo, masih mempertahankan tradisi Lebaran Ketupat. Setiap tahun tradisi ini dilakukan di Masjid At Tanwir Pandugo, Kelurahan Penjaringansari, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya, Jawa Timur. Warga setempat membawa ketupat dan lain-lain dari rumah dan turut selamatan atau ‘bancakan’, Selasa (16/4/2024 bakda Salat Isya.

Acara ‘bancakan’ di masjid ini khusus kaum pria. Tak hanya diikuti oleh kaum tua, para generasi muda pun masih terlibat dalam tradisi Lebaran Ketupat ini. Meski terjadi pergeseran budaya dan gaya hidup, banyak generasi muda masih menghargai dan turut serta dalam mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari identitas warisan budaya Jawa yang mesti tetap dilestarikan.

Lebaran Ketupat ini berawal dari Wali Sanga, yakni Sunan Kalijaga, yang memperkenalkan kepada masyarakat Jawa. Lebaran Ketupat atau Bakda Ketupat, ada yang menyebut dengan Lebaran Syawalan, dirayakan pada satu minggu setelah Idul Fitri, yakni pada tanggal 7 Syawal setelah melaksanakan puasa sunnah di bulan Syawal selama enam hari.

Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam dengan model dakwah kultural yang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai lokal. Ia memahami bahwa masyarakat Jawa pada saat itu masih memegang teguh adat istiadat yang berasal dari ajaran Hindu-Buddha, dan animisme. Pun ia membiarkan budaya mereka tetap ada dengan menyelipkan ajaran-ajaran Islam secara perlahan.

Sebagian Kampung di Surabaya Masih Pertahankan Tradisi Lebaran Ketupat atau Lebaran Syawalan
Kupat dan lepet

Memaknai Ketupat, Lepet, dan Janur

Ketupat

Menurut filosofi Jawa, ketupat atau kupat merupakan kependekan dari kalimat ‘ngaku lepat’ (Jw), yang artinya mengakui kesalahan. Bagi masyarakat Jawa, implementasi ‘ngaku lepat’ lalu ditandai dengan tradisi ‘sungkeman’. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orangtua atau orang yang dituakan dengan bersikap rendah hati, seraya meminta maaf dengan ikhlas.

Wujud kupat yang segi empat agak lancip diibaratkan hati manusia. Ketika telah mengakui kesalahan, hatinya semacam kupat yang dibelah, isinya putih bersih. Mengapa? Sebab hatinya telah dibungkus cahaya kebaikan. Ketupat biasanya dihidangkan dengan sayur yang bersantan. Ada pantun Jawa, Kupat santen, kulo lepat nyuwun ngapunten, yang artinya Saya salah mohon maaf.

Lepet

Rasanya kurang pas jika membahas ketupat, akan tetapi tidak dengan pasangannya, yakni lepet. Jajanan atau semacam kue yang berasal dari beras ketan yang dicampur kelapa yang diparut, kemudian dibungkus dengan janur. Lepet merupakan kependekan dari kata silep kang rapet. Kalimat tersebut mengandung pengertian, mari kita kubur atau tutup rapat kekurangan atau kesalahan.

Setelah ngaku ‘lepat’, atau mengaku salah, lalu meminta maaf dan menutup kesalahan yang sudah dimaafkan. Artinya, jangan sampai kesalahan yang lalu kemudian diulangi lagi kesalahan yang sama, sehingga persaudaraan dan atau persahabatan tetap terus menjadi semakin erat, seperti lengketnya ketan dalam lepet.

Janur

Janur adalah daun muda dari beberapa jenis palma besar, terutama pohon kelapa, enau, dan rumbia. Janur biasa dipakai sejumlah suku di Nusantara sebagai alat perlengkapan kehidupan sehari-hari. Masyarakat suku Bali, Jawa, dan Sunda biasa memanfaatkan janur untuk berbagai keperluan, seperti ritual keagamaan, hajatan perkawinan, buat bungkus jajanan dan lain-lain.

Kata janur, terkait dengan kupat dan lepet, diambil dari bahasa Arab ja’a an-nur, yang artinya telah datang cahaya. Sedangkan masyarakat Jawa mengartikan janur dengan sejatine nur (cahaya sejati). Secara metaforis dapat dipakai untuk merujuk sebagai keadaan suci manusia setelah mendapatkan cahaya kebaikan selama bulan Ramadan.

*

Kiranya baik saja local wisdom semacam Lebaran Ketupat masih perlu dipertahankan. Tradisi ini salah satu dari berbagai kearifan lokal masyarakat Jawa, yang mungkin tak bisa dijumpai di daerah lain. Selagi ada hal-hal positif yang memaknai, yakni sebagai bentuk bersyukur, bersilaturahmi, dan bersedekah yang tak menyimpang dari rel agama, tradisi ini sangat layak untuk dilestarikan.

Sebagian Kampung di Surabaya Masih Pertahankan Tradisi Lebaran Ketupat atau Lebaran Syawalan
Masakan berkuah santan

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *