Apakah Kita Sudah Merdeka?

  • EDUKASI
Apakah Kita Sudah Merdeka? Sebuah Renungan 79 Tahun Indonesia Merdeka
Share this :

Sebuah Renungan 79 Tahun Indonesia Merdeka

Kurun waktu 79 tahun itu semua jelas sepakat bahwa waktu tersebut tak sebentar. Jika direrata satu bulan itu terdiri atas 30 hari, maka bisa dihitung dalam 1 tahun menjadi 30 hari x 12 = 360 hari. Berarti kita merdeka selama 360 hari x 79 = 28.440 hari. Andai mau menghitung berapa jam, menit, dan detik, ya tolong silakan bantu menghitungnya.

Setiap tanggal 17 Agustus selalu menjadi momen sakral bagi bangsa Indonesia untuk merayakan kemerdekaan yang diraih dengan penuh perjuangan berdarah-darah. Pada HUT Ke-79 Republik Indonesia kali ini, peringatan ini tak hanya mengajak kita mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur, namun juga merenungkan lebih dalam makna kemerdekaan itu sendiri.

Di tengah kemeriahan perayaan, gebyar merah putih, dan kerlap-kerlip lampu di kampung-kampung dari Sabang hingga Merauke, tergelitik sebuah pertanyaan “Apakah kita sudah merdeka?” menjadi relevan untuk direnung lebih dalam. Apakah kemerdekaan yang diraih 79 tahun lalu benar-benar telah dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia?

Secara historis, ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bangsa ini akhirnya terbebas dari belenggu penjajahan yang telah berlangsung selama beberapa abad. Namun, perjalanan menuju kemerdekaan penuh itu tak serta merta berakhir. Perjuangan fisik melawan penjajah masih berlanjut hingga pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 1949.

Periode awal kemerdekaan diwarnai dengan berbagai tantangan, mulai dari mempertahankan kedaulatan, menata pemerintahan baru, hingga mengatasi disintegrasi. Pada masa-masa ini, kemerdekaan dirasakan sebagai kebebasan dari penjajahan fisik, namun persoalan internal mulai muncul, seperti konflik ideologis, ketimpangan sosial, dan ketidakstabilan politik.

Perjalanan politik melalui berbagai fase pemerintahan, mulai dari Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, hingga Orde Baru, Indonesia memasuki era Reformasi pada tahun 1998 yang membawa angin segar bagi demokrasi. Kebebasan berpendapat, pemilu yang lebih demokratis, dan desentralisasi kekuasaan adalah beberapa capaian besar yang diraih selama era Reformasi.

Meski secara formal telah merdeka dalam berdemokrasi, kenyataannya demokrasi masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Praktik korupsi masih merajalela, politik uang di berbagai kepentingan, dan elitisme politik acapkali mengabaikan kepentingan rakyat. Pun oligarki politik yang mengakar kuat menjadi tantangan besar dalam menciptakan sistem politik yang benar-benar representatif.

Kemerdekaan ekonomi adalah salah satu pilar penting dalam membangun bangsa yang kuat dan mandiri. Selama 79 tahun terakhir, Indonesia telah berhasil membangun fondasi ekonomi yang cukup kuat. Sektor pertanian, industri, dan jasa telah berkembang pesat, dan Indonesia kini menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Namun, kemandirian ekonomi ini masih dibayangi oleh ketergantungan pada investasi asing, utang luar negeri, dan ketidakmerataan pembangunan. Salah satu indikator penting dari kemerdekaan ekonomi adalah kemampuan negara dalam menyediakan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Namun, ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah serius.

Di kota-kota besar, gedung pencakar langit dan kawasan elite berdiri megah, sementara di sisi lain, masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan, terutama di daerah-daerah terpencil. Akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak juga masih terbatas bagi sebagian masyarakat. Merdeka secara ekonomi bagai piramida terbalik, kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok elit.

Di sisi lain, Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman suku, agama, ras, dan budaya yang sangat kaya. Kemerdekaan sosial berarti kebebasan untuk hidup berdampingan dalam harmoni, menghargai perbedaan, dan memperkokoh persatuan nasional. Semangat Bhineka Tunggal Ika menjadi dasar bagi kehidupan sosial yang rukun dan damai.

Namun, tantangan terhadap kemerdekaan sosial masih sangat nyata. Kasus-kasus intoleransi, diskriminasi, intimidasi, dan konflik horizontal masih sering terjadi. Radikalisme dan ekstremisme menjadi ancaman bagi persatuan dan kerukunan antarumat beragama. Di media sosial, polarisasi seringkali mengarah pada perpecahan, dan memperlemah ikatan kebangsaan.

Polarisasi, terutama yang sering terjadi di media sosial, dapat merusak persatuan. Penting untuk menjaga agar perbedaan pendapat tidak berubah menjadi permusuhan atau hujatan kebencian. Menggunakan kebebasan berekspresi secara bijak dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap persatuan adalah salah satu cara untuk merawat kebhinnekaan dalam kehidupan sehari-hari.

Kini penjajahan tak hanya datang dalam bentuk fisik, namuni juga mental. Penjajahan mental bisa berupa ketergantungan yang berlebihan pada budaya, teknologi, atau pemikiran dari luar yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai dan identitas nasional. Di era globalisasi, arus informasi yang deras membawa pengaruh positif maupun negatif bagi setiap orang.

Yang terjadi, acapkali sebagian masyarakat terperangkap dalam euforia budaya asing yang tak selalu sejalan dengan nilai-nilai lokal. Merdeka secara mental ketika kita mampu menjadi tuan di negeri sendiri dengan identitas dan nilai-nilai yang kuat. Meski kita hidup menghadapi tantangan global tentunya tanpa kehilangan jati diri, lebih-lebih bagi generasi muda penerus perjuangan.

Sebuah renungan pada HUT Ke-79 Republik Indonesia membawa kita pada kesadaran bahwa kemerdekaan bukanlah sesuatu yang statis, namun dinamis dan terus berkembang. Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 memang mengakhiri penjajahan fisik, tetapi perjuangan untuk meraih kemerdekaan sejati masih terus berlangsung hingga hari ini.

Merdeka secara politik, ekonomi, sosial, dan mental adalah tujuan yang didambakan bersama. Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, dapat merasakan kenyamanan dalam segala aspek kehidupan. Dengan semangat gotong royong, persatuan, dan kerja keras, kiranya bisa mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negeri yang aman, damai, adil dan makmur yang menjadi impian semua umat, yakni baldatun thoyyibatun wa rabbun ghaffur.

Tulisan dirangkum dari berbagai sumber
Surabaya, 16 Agustus 2024
Malam Tirakatan, Jumat pukul 22.45 WIB

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *