Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks berkomunikasi, kita sering dihadapkan suatu pilihan pada situasi yang kita harus memilih antara mempertahankan pendapat atau prinsip pribadi, dan satu sisi mesti menjaga hubungan dengan orang lain. Tak sedikit dari kita ada kecenderungan merasa bahwa yang paling benarlah yang harus dinomorsatukan.
Namun, ada satu perspektif yang jauh lebih bijak, yakni dalam kehidupan bukan tentang siapa yang paling benar, namun siapa yang tetap memilih untuk tidak menyakiti. Lantaran kebenaran tanpa sikap bijak hanya akan melukai, sementara meski bijak jika tanpa empati dapat membuat hubungan hancur, pun justru akan merenggangkan bahkan memutus ikatan silaturahmi.
Dalam salah satu bahasan dari buku “The 7 Habits of Highly Effective People” karya Stephen R. Covey, yakni habit ke-5: Seek First to Understand, Then to Be Understood, Covey membahas tentang pentingnya kita memahami orang lain sebelum ingin dipahami orang lain. Untuk bisa dipahami oleh orang lain, maka hal pertama yang perlu kita lakukan adalah memahami orang lain lebih dahulu.
Orang yang bertindak efektif akan mampu memiliki empati yang besar dan menghargai orang lain dengan cara memahami mereka. Untuk itu, kita harus membiasakan diri supaya mau mendengarkan orang lain agar terhindar konflik terselubung maupun terbuka. Hal ini sejalan dengan memilih untuk tidak menyakiti daripada sekadar membuktikan kebenaran yang relatif sifatnya.
Ketika Kebenaran Menjadi Pedang Bermata Dua
Setiap individu memiliki perspektifnya sendiri tentang kebenaran. Apa yang kita anggap benar, tidak demikian bagi orang lain. Namun, acapkali kita begitu yakin dengan sudut pandang sendiri tanpa sadar memaksakannya kepada orang lain. Biasanya dengan berusaha sekuat tenaga, membuktikan bahwa pemikiran kita adalah yang palin benar, sementara pendapat mereka diabaikan. Fatalnya, justru melahirkan konflik, luka hati, dan bahkan perpecahan.
Lebih-lebih bila itu terjadi dalam lingkup keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar, hal ini menjadi lebih rumit. Keluarga seharusnya menjadi tempat berlindung yang nyaman, tempat berbagi kasih sayang dan pemahaman. Namun, ketika ego dan klaim atas kebenaran masing-masing bertabrakan tanpa ada ruang kompromi, keharmonisan perlahan tergerus.
Hal itu pun tak luput terjadi di lingkungan komunitas, perkumpulan, organisasi, maupun di lingkungan dunia kerja. Setiap individu memiliki perspektifnya sendiri tentang kebenaran, maka peran seorang kepala rumah tangga, leader atau pimpinan dituntut dapat mengayomi setiap individu yang terlibat di dalamnya.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi setiap individu untuk mengembangkan sikap keterbukaan dan empati. Mendengarkan dengan hati yang jernih tanpa terburu-buru menghakimi dapat menjadi kunci untuk memahami perspektif orang lain. Dialog yang sehat, bukan debat yang saling menjatuhkan, adalah jalan terbaik untuk mencari titik temu.
Pun penting untuk menyadari bahwa kebenaran acapkali bersifat subjektif, dipengaruhi oleh pengalaman, nilai-nilai, dan latar belakang individu. Dengan saling menghargai perbedaan, menjaga komunikasi yang baik, dan mengutamakan kebersamaan daripada ego pribadi, maka hubungan dalam keluarga, komunitas, maupun lingkungan kerja akan lebih harmonis dan saling mendukung.
Bukankah lebih baik membangun jembatan pengertian daripada mendirikan tembok pertentangan? Menerima bahwa kebenaran bisa bersifat relatif dan terbuka untuk ditinjau ulang adalah salah satu tanda kedewasaan. Bukan berarti kita harus selalu mengorbankan prinsip, tetapi belajar mendengarkan, memahami, dan berdialog tanpa mengedepankan ego adalah kunci menjaga hubungan yang sehat.
Bak pedang bermata dua, melepaskan keinginan untuk selalu ‘menang’ bukanlah kelemahan, melainkan justru kekuatan yang menyelamatkan banyak hati dari luka yang tak perlu. Sebagai manusia, kita memang memiliki naluri untuk mempertahankan pandangan kita. Namun, bukankah tujuan dari komunikasi bukan sekadar menyampaikan, melainkan juga mendengarkan dan memahami?
Kekuatan Empati
Ketika kita mampu menyeimbangkan antara menyuarakan keyakinan dan memberi ruang bagi pemikiran orang lain, di situlah benih keharmonisan mulai tumbuh. Karena pada akhirnya, kebenaran yang paling berharga bukanlah yang dipaksakan atas superioritas ego, melainkan yang dipertemukan dalam suasana kebersamaan dan pengertian, serta penuh dengan empati.
Kekuatan utama dalam memilih untuk tidak menyakiti adalah dengan empati. Ketika kita menempatkan diri pada posisi orang lain, kita lebih mampu merasakan apa yang mereka rasakan. Saat kita mendengarkan dengan hati dan memahami bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri, kita akan menyadari bahwa tidak semua perbedaan mesti diselesaikan dengan saling konfrontasi.
Empati mengajarkan kita untuk lebih peduli terhadap perasaan orang lain daripada sekadar membuktikan diri kita paling benar. Dalam banyak situasi, pilihan untuk menyuarakan pendapat dengan cara yang lembut dan diplomatis dapat membantu menghindari luka hati yang tidak perlu. Alih-alih mencari siapa yang benar atau salah, kita belajar untuk membangun jembatan, bukan tembok pemisah.
Akhirnya, hidup bukanlah tentang siapa yang paling benar, namun siapa yang tetap memilih untuk tidak menyakiti. Di antara kita, semua memiliki kebenaran masing-masing, namun dalam memilih untuk tidak menyakiti, kita telah menunjukkan tingkat kadar kedewasaan. Hidup yang penuh dengan kasih, empati, pengertian, akan senantiasa lebih berharga daripada sekadar menjadi yang paling benar.
Referensi
R. Covey, Stephen. 1989. “The 7 Habits of Highly Effective People”, United States: Free Press.