Roode Brug Soerabaia dan Museum Pusal AL (Muspusal) Termasuk dalam Deretan Kolaborator Gelaran Teater
“Enam tahun sesudah Perang 10 November 1945, Kota Surabaya ditetapkan sebagai Kota Pahlawan. Berbagai surat kabar yang memuat gambarku di halaman terdepan, tak tertahan air mataku mengucur deras. Aku menangis di depan istriku. Gelisah, cemas,berdebar-debar perasaanku. Besar gambar dan namaku dilihat dan dibaca banyak orang, tapi sesungguhnya tidak…, tidak…! Tidak sebesar arti perbuatanku pada 10 November 1945, jika dibandingkan dengan keikhlasan beribu-ribu saudara-saudaraku yang telah gugur di garis depan pertempuran Surabaya,”
Ujar Bung Tomo sembari memungut topi peci hitam di antara jasad yang gugur lalu dipakainya, adalah salah satu cuplikan dari bagian epilog aksi teatrikal kolosal BUNG TOMO PANDU GARUDA.
Baret hijau, seragam pejuang, telunjuknya menengadah. Ekspresi garang dan karismatik. Itulah sosok Sutomo atau Bung Tomo dalam foto yang populer. Dalam dunia nyata pun begitu. Ia tegas. Tanpa tedeng aling-aling. Ceplas-ceplos seperti karakter Arek Suroboyo.
Usianya masih 25 tahun kala Surabaya digempur Sekutu dan NICA pada . Tapi kemampuan berorasinya membakar semangat juang, sosok pahlawan pantang mundur. Maju dengan pekik merdeka. Seperti gelombang ganas yang tak pernah surut.
“Teater Kepahlawanan Nasional : BUNG TOMO PANDU GARUDA” adalah sebuah gelaran teatrikal kolosal bertema kepahlawanan dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan Nasional 2024 besutan Heri Lentho, penulis naskah; Agung Kansas, sutradara; serta Grandong dan Gombres, penata arstistik. Aksi teatrikal kolosal digelar di Lapangan Monumen Tugu Pahlawan Surabaya, Sabtu (30/11/2024) petang.
“Yayasan Surabaya Juang menghidupkan kembali sosok Sutomo dalam pementasan teater yang melibatkan 400 aktor, menyajikan kisah “Bung Tomo Pandu Garuda”. Sebagai upaya membangunkan memori kolektif dan kesadaran publik tentang makna kepahlawanan. Berikut memperkenalkan teladan seorang insan yang disebut pahlawan,” tutur Pembina Yayasan Surabaya Juang Heri Lentho.
Bung Tomo, tuturnya, adalah pahlawan nasional dengan nama lengkap Sutomo, sosok yang dikenang karena pidatonya yang penuh semangat. Orasinya menjadi penyala api perjuangan Arek-Arek Suroboyo dalam menghadapi pasukan Inggris yang membonceng NICA di Surabaya, dalam pertempuran bersejarah yang menjadi simbol perlawanan rakyat Indonesia.
“Semangat cinta tanah air Bung Tomo tumbuh sejak muda, dibentuk oleh pengalamannya di dunia kepanduan. Ia berjuang sebagai jurnalis, aktif menulis dan berbicara tentang perjuangan bangsa, baik pada masa pergerakan, pendudukan Jepang, hingga saat mempertahankan kemerdekaan. Media, sebagai senjata penting, yang ia gunakan untuk melawan penjajahan.,” tutur Heri Lentho.
Sosok Bung Tomo, lanjut Heri Lentho, tidak hanya dikenal sebagai pejuang, tetapi juga seorang pemberontak terhadap segala bentuk ketidakadilan. Jiwa pejuangnya sering kali membuatnya berani mengambil sikap meski berisiko besar. Bahkan setelah kemerdekaan, ia tetap gelisah melihat berbagai permasalahan bangsa dan tidak segan menyuarakan kritik terhadap kezaliman.
“Baginya, kemerdekaan tidak hanya tentang terbebas dari penjajahan asing, namun juga memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” tambah Heri Lentho.
Pidato heroik Bung Tomo, tambahnya, momen paling ikonik dalam sejarah perjuangan Indonesia. Surabaya adalah simbol kehormatan Republik Indonesia, dan pertempuran saat itu mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Pemuda tak hanya dari Surabaya, juga dari berbagai daerah Jawa, Maluku, Sulawesi, Bali, Kalimantan, Aceh, Tapanuli, hingga seluruh Sumatra yang ada di Surabaya bersatu turut turun tangan mempertahankan kemerdekaan.
“Melalui suara dan tindakannya, Bung Tomo sebagai simbol keberanian, persatuan, dan pengabdian yang menjadi sumber inspirasi tanpa batas bagi generasi setelahnya. Hingga kini, namanya tetap harum sebagai “Suara Revolusi Indonesia” yang membangkitkan jiwa patriotisme,” pungkas founder Surabaya Juang.
Gelaran apik teatrikal kolosal BUNG TOMO PANDU GARUDA melibatkan pemain : Khwarizmi Aslamriadi, Arief Rofiq, Hengky Kusuma, Anisatul, Jindan, Yanuar, dan Farid, serta sejumlah bintang tamu, di antaranya : Prittra Kartika – The Voice Indonesia, Proborini – Sinden Joss, Aya The Voice All Stars, Cak Tawar dkk., Higayon Singers, dan Epentyven Starlight Choir.
Di samping juga menghadirkan kolaborasi dengan komunitas seni dan kesejarahan, yakni : Sanggar Karawitan Baladewa Surabaya, Surabaya Menari, Roode Brug Soerabaia, Baya Runcing, ZR Dance, Pandu Siwi, East Java CG, Senopati, Museum Pusat TNI AL, dan Klompens.
Sinopsis Teatrikal “BUNG TOMO PANDU GARUDA“
Cerita bermula di Bumi Perkemahan Pramuka, tempat Bung Tomo dikukuhkan sebagai Pembina Utama Pramuka Wreda. Ia mengenang masa kecilnya sebagai siswa MULO yang harus putus sekolah karena biaya, hingga akhirnya bergabung dengan Kepanduan Indonesia.
Dari sana, ia belajar nilai kebangsaan, disiplin, dan keberanian, serta terinspirasi oleh pidato Kusno (Bung Karno muda) yang menanamkan pentingnya identitas bangsa dan bahasa sendiri. Dikisahkan bahwa Bung Tomo memiliki guru tidak langsung. Yakni Soekarno.
Sosok Presiden Pertama RI tersebut memiliki kemampuan orasi yang menawan. Alam pikiran Soekarno menjadi kunci terbukanya wawasan Bung Tomo. Seperti Soekarno dengan pidatonya yang bergelora, begitu pula Bung Tomo ketika membakar semangat juang pada 10 November 1945.
Namun, sebagai Arek Suroboyo yang lugas dan tegak lurus, Bung Tomo tak segan berselisih dengan para pemimpin bangsa ketika itu. Bahkan dengan guru politiknya sendiri. Ia memilih melawan. Memilih untuk memimpin perjuangan dengan seruan “Allahu Akbar! Merdeka!” ketimbang pendekatan diplomatias.
Ketika bekerja di kantor berita DOMAI, Bung Tomo menerima kabar Proklamasi Kemerdekaan. Bersama Raden Mas Bintarti, ia menyebarkan berita itu dengan siaran dalam bahasa Jawa dan Madura untuk menghindari sensor Jepang. Semangat kemerdekaan pun membara di Surabaya.
Bung Tomo pula yang menjadi saksi sekaligus ikut melindungi Abdul Wahab Saleh, wartawan dari Antara. Abdul Wahab merupakan wartawan pertama yang menjadi korban persekusi sejak era kemerdekaan.
Ketegangan memuncak saat pasukan Sekutu dan NICA tiba. Bung Tomo memimpin rakyat melawan dominasi mereka, termasuk insiden heroik di Hotel Yamato. Dengan keberanian dan orasi yang membakar semangat, ia menjadi simbol perjuangan dan persatuan rakyat Surabaya demi mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Pada 18 September 1945, Surabaya memanas dengan kedatangan Pasukan Payung Sekutu di Hotel Yamato. Ketegangan memuncak saat bendera Belanda dikibarkan, memicu rakyat merobek bagian birunya dan mengibarkan Merah Putih.
Bung Tomo memimpin perjuangan rakyat merebut senjata dari Jepang, meski harus bernegosiasi keras dengan Mayor Hashimoto. Samurai leluhur Jepang diserahkan sebagai simbol pengorbanan, memperkuat tekad rakyat.
Perjuangan heroik rakyat Surabaya mempertahankan kemerdekaan melawan tentara Sekutu pada November 1945. Dengan pidato berapi-api, Bung Tomo membakar semangat pemuda, laskar, dan rakyat jelata, mulai dari tukang becak hingga pedagang kecil, untuk bersatu melawan ancaman ultimatum Inggris.
Di tengah ancaman senjata dan konflik internal dengan kelompok pemuda, Bung Tomo berjuang menyatukan barisan rakyat tanpa memandang ideologi. Resolusi jihad dari para ulama turut memperkuat tekad rakyat Surabaya untuk memilih “Merdeka atau Mati.”
Ketegangan memuncak saat Sekutu menyerang kota, memicu perang besar yang menewaskan banyak pahlawan, termasuk Jenderal Mallaby. Dengan semangat pantang menyerah, rakyat Surabaya menghadapi kehancuran demi mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, yang meninggalkan warisan keberanian untuk generasi mendatang.
Meski banyak korban dan darah menggenang tanah Surabaya, perjuangan itu memicu perlawanan-perlawanan lain di Kota Surabaya. Mata dunia terbuka. Bahwa Indonesia adalah bangsa yang tak mau menyerah begitu saja. Rakyatnya memberi perlawanan dahsyat. Pertempuran Surabaya pun disebut Sekutu sebagai Hell from Surabaya. Neraka di Surabaya.
Adegan ditutup dengan epilog seorang tokoh veteran 10 November, Bung Tomo merasa kecil di hadapan pengorbanan para pahlawan yang gugur demi kemerdekaan Indonesia, meski namanya kini dikenal luas. Dengan penuh emosi, ia merenungkan arti perjuangan bahwa kemerdekaan tidak hanya untuk segelintir orang, melainkan untuk keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Biarkan Foto Bicara
Gelaran Teater Kolosal “BUNG TOMO PANDU GARUDA”






























































Featured image by: Andri – fotografer & reenactor Ngalam & Wildan – RB