Perwakilan Roode Brug Soerabaia Hadiri “Cor Jesu Art Performance 2025”
“Cahaya lampu panggung menari seirama dengan gerak lincah para penampil, memantulkan nuansa sakral sekaligus meriah di Graha Cakrawala malam itu. Anak-anak TK membuka pertunjukan dengan tarian penuh keceriaan, disusul penampilan para siswa lintas jenjang yang menghadirkan seni musik, tari, dan drama dalam harmoni yang memikat. Puncaknya, drama kolosal tentang perjuangan para suster Ursulin tampil menggugah, dengan tata cahaya dramatis dan ekspresi para pemain menghidupkan kembali sejarah di hadapan penonton.”
Sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi nilai budaya dan spiritualitas, Kampus Cor Jesu Malang kembali menghadirkan sebuah gelaran tak sekadar pentas seni yang sarat makna, namun juga dalam rangka memperingati 125 tahun kehadiran Suster Ursulin di Kota Malang.
Acara bertajuk “Art Performance 2025 Cahaya Sancta Trinitas” ini menampilkan kolaborasi lintas jenjang pendidikan, tak kurang dari 500 peserta turut ambil bagian, mulai dari anak-anak TK, SD, SMP, SMK, hingga para alumni, yang digelar di Graha Cakrawala Universitas Negeri Malang, pada Kamis (5/6/2025) petang.
Pertunjukan ini bukan sekadar ajang unjuk kemampuan seni, namun juga merupakan bagian dari refleksi dan penghargaan atas perjalanan panjang pelayanan pendidikan oleh para suster Ursulin sejak awal abad ke-20 di Malang.
Kepala Satuan Pendidikan SMAK Cor Jesu, Agatha Ariantini, M.Pd., M.Psi., menuturkan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari program tahunan Cor Jesu Art Performance (CJAP), yang secara khusus menjadi proyek ujian bagi siswa kelas 10 dan kelas 11.
“Dalam kegiatan ini, para siswa diberikan kebebasan untuk memilih jenis seni yang akan mereka tampilkan, baik berupa musik, tari, teater, rupa, hingga vokal,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa gelaran ini, para siswa dan alumni mempersembahkan beragam bentuk seni, seperti seni teater, seni musik, seni tari, seni suara, hingga seni rupa. Menurutnya, kegiatan ini merupakan bagian dari program tahunan yang telah menjadi tradisi.
“Tahun ini menjadi momen istimewa karena kami memperluas keterlibatan peserta dari seluruh jenjang: TK, SD, SMP, SMK, hingga para alumni. CJAP bukan untuk mencari siapa yang terbaik, tapi untuk merayakan keberagaman ekspresi seni setiap individu,” tambah Agatha Ariantini.
Sebagai puncak gelaran, lanjutnya, yakni pementasan drama kolosal menggambarkan perjuangan awal para suster Ursulin di Kota Malang. Drama tersebut mengisahkan bagaimana Suster Angela Flecken bersama para suster lainnya memulai misi mendirikan sekolah di tengah keterbatasan dan tantangan berat oleh banyak pihak.
Kisah ini diramu, tambahnya, untuk memberi pemahaman historis yang mendalam kepada generasi muda, termasuk bagaimana para suster harus bertahan menghadapi tekanan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Berdirinya lembaga pendidikan ini bukan sesuatu yang instan, namun hasil dari perjuangan dan keteguhan hati para suster.
“Kami ingin anak-anak dan orang tua tahu bahwa perjuangan untuk pendidikan ini begitu luar biasa, bahkan di masa-masa yang sangat sulit,” tambahnya.
Suster Ursulin datang ke Malang pada tahun 1900, lanjutnya, ia mendirikan sekolah Katolik pertama di kota ini, meski pada saat itu Malang masih dalam tahap perkembangan. Seiring berjalannya waktu, Kampus Cor Jesu Malang yang dimulai dengan TK dan SD, kini telah berkembang hingga mendirikan SMP, SMK, dan SMA.
“125 tahun bukanlah waktu yang singkat, dan perjalanan panjang ini tentunya penuh dengan tantangan,” pungkas Agatha Ariantini.
Sejak kehadiran pertamanya pada tahun 1900, para Suster Ursulin telah menanamkan fondasi pendidikan Katolik pertama di Malang. Bermula dari jenjang dasar, kini Cor Jesu telah berkembang hingga mencakup semua level pendidikan, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas dan kejuruan.
C. Fitri Murniarti, OSU, selaku Ketua Yayasan Cor Jesu, menegaskan bahwa perjalanan 125 tahun ini dipenuhi lika-liku dan tantangan besar. Salah satunya adalah saat masa penjajahan Jepang, ketika banyak aset pendidikan harus direlakan. Namun semangat dan dedikasi terhadap pendidikan perempuan tidak pernah padam.
“Kami bersyukur bahwa karya pendidikan ini terus bisa dirasakan hingga saat ini. Semangat perjuangan penuh dengan doa, keteguhan dan nilai yang dibawa oleh para suster masih dapat dirasakan manfaatnya oleh anak-anak dan orangtua ,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Alinia Indraswari, S.Pd., sebagai Ketua Pelaksana acara, menambahkan bahwa sekitar 500 individu terlibat langsung dalam pertunjukan ini, termasuk 400 penampil dalam drama utama. Uniknya, acara ini melibatkan guru, siswa, dan alumni secara bersamaan, menciptakan harmoni lintas generasi yang memperkaya pertunjukan.
“Kami ingin siswa tidak hanya mempelajari seni secara teori, tapi juga mengalami bagaimana seni bisa menyatukan, menginspirasi, dan mengangkat nilai sejarah,” ungkap Alinia Indraswari .
Pagelaran ini, lanjutnya, menjadi lebih dari sekadar acara tahunan. Ia hadir sebagai bentuk penghormatan kepada warisan para suster Ursulin. Pun menjadi media pembelajaran tentang nilai perjuangan, kolaborasi, dan ketekunan bagi para siswa, sehingga dapat menciptakan sebuah karya yang indah.
“Selain itu, bagi masyarakat luas, acara ini membuka kembali lembaran sejarah penting tentang awal mula pendidikan formal di Kota Malang yang berakar dari semangat dan doa para pelopor pendidikan Katolik, yang dimulai dari semangat seorang Suster Angela Flecken,” pungkasnya.
Melalui “Cahaya Sancta Trinitas,” Kampus Cor Jesu Malang membuktikan bahwa seni tak sekadar media ekspresi, pun sebagai media pembelajaran, pelestari nilai, pemersatu lintas generasi, dan penghargaan perjuangan panjang para suster. Suatu gelaran untuk membangunkan memori kolektif, merayakan sejarah, dan karya, demi masa depan pendidikan di Kota Malang. Hadir turut menyaksikan acara, perwakilan Roode Brug Soerabaia, yakni Silvi Muriara dan Ali Muchson.
Peluncuran Buku “Cor Unum et Anima Una”
Tak kalah penting, dalam rangkaian merayakan perjalanan 125 Tahun Ursulin di Malang, yakni peluncuran buku sejarah “Cor Unum et Anima Una” yang ditulis oleh Sr. Lucia Anggraini, OSU., dkk. Buku ini merangkum perjalanan panjang karya para Suster Ursulin di Malang. Mulai tahun 1900, termasuk masa penjajahan dan perang, hingga perkembangan komunitas dan karya pendidikan hingga 2025.
Sr. Lucia Anggraini, OSU., menuturkan bahwa penulisan buku ini bertujuan untuk merayakan perjalanan 125 Tahun Ursulin di Malang, yang telah memberikan kontribusi luar biasa dalam dunia pendidikan, menanamkan nilai-nilai keutamaan, spiritualitas, dan integritas yang menjadi fondasi bagi generasi berikutnya.
“Melalui buku ini diharapkan dapat menjadi sarana pembelajaran sejarah bagi para siswa, alumni, mitra kerja, dan masyarakat umum dalam perkembangan pendidikan di Malang,” tutur Sr. Lucia Anggraini, OSU.
Sylvi Mutiara, Pembina Komunitas Sejarah Roode Brug Soerabaia, menuliskan testimoni di buku “Cor Unum et Anima Una” bahwa Cor Jesu Malang adalah bangunan megah berwarna merah yang selalu memikat bagi siapa pun yang melewatinya saat memasuki Kota Malang. Kompleks ini mencakup sekolah, biara, dan kapel yang sarat sejarah.
Keindahan arsitektur dan keramahan para suster, lanjut Sylvi Mutiara, menjadikannya tempat yang tak pernah membosankan untuk dikunjungi. Di dalamnya terdapat museum dengan koleksi luar biasa, salah satunya adalah sebuah piano tua yang menjadi favoritnya. Setiap sudutnya menyimpan kisah yang menarik.
“Selamat, tahun 2025 Ursulin Kota Malang merayakan usia ke-125, menandai perjalanan panjang dalam dunia pendidikan dan pelayanan. Cor Jesu tetap menjadi simbol keindahan dan sejarah yang hidup hingga kini,” pungkas perempuan Traveller yang telah menjejakkan kaki di berbagai negara. (Ali Muchson)
Biarkan Foto Bicara
“Cor Jesu Art Performance 2025 – Cahaya Sancta Trinitas”
































Momen di Luar Panggung Graha Cakrawala











