Cinta Pertama Gendhis

  • FIKSI
Cinta Pertama Gendhis
Share this :

(Bersambung dari Cerpen: “Di Batas Keraguan, Ada Benih Yang Mulai Tumbuh”) #3

Senja mulai meredup, langit berwarna jingga keemasan. Gendhis berjalan pulang dari tempat magangnya menuju halte bus. Jalanan kota padat, pengendara saling berburu cepat agar segera sampai di rumah. Namun, tak sedikit dari keterburuan mereka kadang timbul petaka. Rugi tak hanya bagi dirinya, juga orang-orang tercinta di rumah sedang menunggu, pun bagi orang lain.

Lampu-lampu jalan perlahan mulai menyala. Angin sore membelai rambutnya, namun hati Gendhis terasa getir. Bukan karena pekerjaan di kantor yang menumpuk, tetapi ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak pagi tadi. Setiap derap langkah seolah menyeretnya ke dalam ruang sunyi di dalam dirinya, ada kegundahan yang terus mengusik pikirannya.

Saat bus datang, Gendhis meloncat masuk ke dalam, mencari tempat duduk yang masih kosong. Nafasnya sedikit terengah setelah berlari kecil mengejar bus. Ia duduk di samping jendela, memandang keluar, jalanan semakin ramai. Gedung-gedung seolah berlarian mengejar laju bus yang tak seberapa kencang lantaran padat kendaraan pada saat jam orang-orang pulang dari kerja.

“Kamu anak pedagang, kamu bisa kayak gini, Gendhis. Hanya beruntung aja!” ucapan ketus salah satu rekan kerja wanita pagi tadi itu masih berdering di telinganya. Terdengar sepele, kalimat itu menyentuh titik lemah dalam hatinya. Ia berupaya melupakan, namun masih terngiang. Statusnya sebagai anak pedagang pasar dijadikan bahan olok dan meremehkan semua pencapaiannya.

*

Sesampainya di rumah, pintu depan terbuka dan aroma tumisan bawang putih menyambutnya. Gendhis melangkah masuk, menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Di dapur, ibunya, Asih, sibuk menyiapkan makan malam. Di meja makan, Waskito, ayahnya, duduk santai dengan kaos oblong dan sarung, matanya asyik menelusuri berita di koran.

“Ekonomi merosot, PHK, lapangan kerja terbatas, keluhan abang ojol, daya beli menurun tajam, pajak naik, BBM juga. Terus bagaimana nasib rakyat kecil ini?” guman Waskito.

“Sudah pulang, Nduk?” sapa Waskito lembut tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang dipegangnya. “Iya, Pak. Capek hari ini,” jawab Gendhis singkat sambil cium tangan ayahnya, lalu menghampiri ibunya di dapur. Gendhis mencoba tersenyum meskipun hatinya masih menyimpan rasa kesal. Ia meraih gelas, lalu menuangkan air ke dalamnya, sembari duduk di samping ayahnya.

Waskito melipat korannya, meletakkannya di atas meja, lalu menatap Gendhis dengan mata yang penuh kasih. “Capek fisik atau capek pikiran?” tanyanya dengan nada lembut namun tegas. Waskito selalu bisa membaca perasaan anaknya, meskipun Gendhis mencoba menyembunyikan kekesalannya di balik senyuman tipis.

Gendhis terdiam, menundukkan kepala. Sejenak ia ragu untuk berbicara, namun kehangatan tatapan ayahnya memberinya keberanian. “Capek pikiran, Pak. Di kantor rasanya susah buat nyenengin semua orang,” katanya lirih. “Ada-ada aja orang yang menggunjing ini itu, seperti nggak ada kerjaan lain,” tambah Gendhis.

Waskito mengangguk pelan, membiarkan anaknya melanjutkan. “Kadang, aku merasa apa yang aku lakukan nggak pernah cukup buat mereka. Emm, apalagi….” Gendhis menghentikan kalimatnya, ragu melanjutkan. Waskito masih menatapnya, sabar menunggu. “Apalagi kenapa, Nduk?” rasa penasaran Waskito muncul.

“Kadang, ada aja yang menyindir, bahkan menyepelekan aku, Pak. Mereka bilang kalau aku cuma bisa sampai di sini karena kebetulan. Kadang aku merasa nggak dihargai karena statusku, karena aku anak pedagang di pasar.” Ungkap Gendis. Waskito mendengarkan dengan tenang. Senyum tipis terukir di wajahnya. Ia menepuk bahu Gendhis dengan lembut.

Nduk, hidup ini nggak selalu soal menyenangkan semua orang. Kamu nggak bisa mengontrol apa yang orang lain pikirkan tentang kamu. Tetapi yang bisa kamu lakukan tetap jujur pada dirimu sendiri, dan bekerja dengan sepenuh hati. Ingat prinsip yang selalu ayah ajarkan, kerja keras, dan kejujuran nggak akan pernah mengkhianati hasil.” nasihat Waskito.

Gendhis menatap ayahnya, merasa lega. Kata-kata Waskito selalu memiliki cara untuk menenangkan hatinya. Bagi Gendhis, ayahnya adalah sosok sederhana, penuh sikap bijak. Meski Waskito bukanlah berpendidikan tinggi, ia selalu mampu memberikan nasihat yang sarat filosofi.

“Bu, makan malam siap, belum? Anakmu lapar.” tanya Waskito sembari melirik Asih, istrinya, yang masih sibuk di dapur.

“Sabar, Pak, bentar lagi. Tumisan kangkungnya masih belum matang,” sahut Asih sambil mengaduk masakan tumis kangkung di wajan. “Hanum mana? Belum pulang?” tanya Waskito, menengok ke pintu. “Kayaknya masih di sekolah, Pak. Tadi WA-an, katanya ada latihan drama,” jawab Gendhis sambil melirik jam dinding.

Adik bungsunya, Hanum, memang sering pulang terlambat karena kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Waskito tertawa kecil. “Si Hanum ini kayaknya bakalan jadi artis drama di sekolahnya, ya? Nggak apa-apa, yang penting dia senang.” jawab Gendhis. “Adikmu, Bima, tadi kirim pesan ke ayah, mendadak ia lagi tugas luar kota. Menginap,” sambung Waskito.

Gendhis tersenyum mendengar canda ayahnya. Walaupun sering sibuk dengan toko kelontong di pasar, Waskito selalu tahu bagaimana menghidupkan suasana rumah. Ketegasannya sebagai kepala keluarga selalu disertai dengan kasih sayang yang membuat Gendhis dan adik-adiknya merasa aman dan nyaman di rumah. Rumah bagai sebuah surga bagi mereka.

Waskito, sebagai seorang ayah yang peduli terhadap pendidikan dan kemandirian anak-anaknya, memiliki pendekatan yang tegas namun penuh kasih dalam membesarkan Gendhis, Bima, dan Hanum. Ia tidak memanjakan dengan kemudahan, melainkan melatih mereka sejak dini untuk bertanggung jawab atas kehidupan sehari-hari mulai dari hal-hal kecil, seperti cuci piring usai makan, dan lain-lain.

Tak lama kemudian Hanum datang, lalu cium tangan kepada seisi rumah. Mereka siap duduk di meja makan, menikmati hidangan sederhana namun penuh kehangatan. Tumis kangkung, ikan goreng, dan sambal terasi buatan Asih selalu menjadi favorit keluarga. Di tengah kesibukan, momen makan bersama selalu menjadi waktu yang berharga bagi keluarga ini.

Usai makan malam, Gendhis pamit masuk ke kamarnya. Ia merebahkan diri di tempat tidur, pikirannya melayang-layang. Kata-kata ayahnya terus terngiang di telinganya. Gendhis merenung, betapa beruntungnya ia memiliki sosok ayah, Waskito. Meski hidup mereka tidak berlebihan, perhatian dan cinta kasih yang diberikan Waskito kepada anak-anaknya selalu melimpah.

Waskito tak hanya sekadar ayah, tetapi juga sahabat yang selalu ada di saat suka maupun duka. Ketika anak-anaknya merasa putus asa atau kehilangan arah, ia selalu hadir dengan kata-kata bijaknya. Memeluk mereka dengan kelembutan hati, ia berikan lantaran mengerti benar bagaimana bertindak untuk anak. Bagi Waskito, marah-marah bukan solusi yang tepat.

Setiap momen penting, Waskito tidak pernah absen. Saat Gendhis kecil memenangkan lomba melukis di sekolah dasar, Waskito yang pertama kali memeluknya. Meski saat itu ia sibuk berdagang di pasar, ia masih sisihkan waktu. Pun ketika Gendhis beranjak remaja, setiap mengalami kesulitan, ia selalu memdengarkan dan memberikan alternatif jalan keluar.

Di balik kesabaran, Waskito tahu kapan harus menjadi sosok ayah sekaligus sahabat bagi anaknya. Saat Bima, mengalami kegagalan masuk perguruan tinggi idamannya, Waskito tak menyalahkan, “Kegagalan itu bagian dari proses. Yang penting, kamu tahu mengapa kamu gagal, dan bagaimana harus bangkit lagi. Ayah selalu ada, saat kamu butuh.” hiburnya.

Kebersamaan itu membuat anak-anaknya merasa tidak pernah benar-benar sendiri dalam menghadapi problem. Di setiap langkah yang mereka tempuh, selalu ada rasa aman berasal dari keyakinan bahwa ayah mereka akan selalu hadir. Waskito bukan tipe penceramah keluarga, tindakan nyata yang konsisten berlandaskan agama memberikan rasa nyaman dan perlindungan.

Dalam situasi sulit sekalipun, Waskito tak pernah menyerah untuk memberikan dukungan, meski caranya mungkin sederhana. Ketika Hanum, anak bungsunya, menangis karena ditolak dalam audisi pemain drama di sekolah, Waskito tidak berkata banyak, sambil mengusap kepala putrinya, “Gagal hari ini bukan berarti kamu nggak berbakat. Cuma perlu belajar lebih banyak lagi, Nduk.”

Kata-kata Waskito itu mungkin tampak sederhana, namun bagi Hanum, ucapan tersebut menjadi penyemangat yang memulihkan kepercayaan dirinya. Begitu pula dengan Gendhis dan Bima, mereka merasakan bahwa meski mengalami kesulitan yang datang bertubi-tubi, ayahnya selalu memberi ruang bagi mereka untuk belajar, tumbuh, dan bangkit kembali.

*

Suara azan Subuh menggema dari musala dekat rumah, mengalun lembut membangunkan Gendhis dari tidurnya. Matahari belum menampakkan diri, namun udara pagi terasa sejuk, membawa ketenangan yang tak bisa ia jelaskan. Gendhis menghela napas panjang dan perlahan bangkit dari tempat tidur, hatinya terasa lebih ringan dibandingkan hari-hari sebelumnya.

Ia teringat jelas nasihat ayahnya malam itu. Kata-kata sederhana namun penuh makna, yang selalu mampu menguatkannya di saat-saat paling rapuh. “Kamu nggak bisa mengontrol apa yang orang lain pikirkan tentang kamu,” ucap Waskito, pesan itu berputar di benaknya, seolah mengisi setiap ruang hatinya yang kemarin terasa kosong.

Gendhis sadar, dalam perjalanan hidupnya, akan selalu ada tantangan dan orang-orang yang meragukan, bahkan melecehkannya. Tetapi di balik semua itu, ada kekuatan yang tak tampak nyata, yakni cinta kasih, dukungan, dan sikap bijak dari ayah dan ibunya yang selalu menjadi penopang dan penyemangat.

Setelah melaksanakan salat Subuh, Gendhis duduk di tepi jendela kamar, menatap langit kemerahkuningan. Ia merasa lebih kuat. Rasa bimbang yang kemarin menyelimuti hatinya seakan tersibak oleh kedamaian pagi. Gendhis siap menghadapi apa pun yang akan terjadi di kantor, siap bekerja keras tanpa merasa harus membuktikan kepada siapa pun, kecuali kepada dirinya sendiri.

Dengan semangat baru, Gendhis bersiap-siap berangkat ke kantor. Di dalam hatinya, ia bertekad bahwa setiap langkahnya adalah cerminan dari nilai yang ditanamkan oleh ayahnya, Waskito. Yakni kerja keras, kejujuran, dan keberanian tetap melangkah, apapun rintangannya. Sukses sejatinya ditentukan oleh tekat dan semangat pantang menyerah.

Saat berjalan menuju lift di kantor, ia bertemu dengan Prasodjo, seniornya. “Pagi, Gendhis. Kamu baik-baik saja?” sapa Prasodjo. Pemuda itu melihat wajah Gendhis tampak sumringah dibandingkan kemarin. Gendhis mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Mas. Terima kasih sudah menyapa.” Prasodjo membalas senyumnya. “Hari ini ada rapat penting dengan klien. Kamu sudah siap?”

“Siap, Mas!” jawab Gendhis dengan semangat. Ia merasa lebih percaya diri, seolah beban yang selama ini menggelayut di pundaknya sudah terbang semalam. Hari di kantor berlalu dengan cepat. Gendhis menjalani harinya dengan lebih tenang. Meski beberapa rekan kerjanya masih memperlihatkan sikap sinis, namun Gendhis tak lagi goyah, teguh dengan prinsipnya.

Matahari merayap menuju horizon di ujung barat, Gendhis menutup tirai jendela ruang kerjanya. Menatap cahaya keemasan yang menyinari gedung-gedung tinggi di kejauhan. Ia tersenyum tipis, “Cinta pertama bukan datang dari kekasih atau pasangan.” gumannya. Baginya, cinta pertama adalah cinta tanpa syarat, tulus, bijak, dan penuh dukungan. Cinta yang ia dapatkan dari sosok ayah, Waskito.

Featured image by: neuralwriter.com/id/image-generator-tool/

Disclaimer:
Cerita pendek (cerpen) ini hanya sebuah karya berdasarkan fiksi, jika ada nama tokoh, tempat, dan kejadian yang sama itu hanya kebetulan belaka.

Catatan
nduk: Panggilan untuk anak gadis bagi sebagian orang Jawa.
sumringah: berbinar-binar

Bersambung

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *