Di Batas Keraguan, Ada Benih yang Mulai Tumbuh

  • FIKSI
Share this :

Gendhis, gadis 25 tahun, memandangi tetesan gerimis bulan Februari yang turun dari jendela kantornya, mengaburkan pandangannya ke luar. Setiap tetes seperti mengingatkan kenangan pahit masa lalu, pengkhianatan Dhimas yang masih tergores dalam di hatinya. Betapa hatinya remuk saat mendengar kabar Dhimas melamar Risti, teman sekamar kost saat kuliah di Malang.

Dengan tinggi 163 cm, rambut hitam sedikit gelombang terurai sebahu. Kulitnya kuning langsat, wajah ovalnya dihiasi mata besar diapit oleh alis tebal. Hidung sedikit mancung dan bibir tipis memberikan keseimbangan pada wajahnya yang lembut. Penampilan busana yang sederhana namun tetap stylish, mencerminkan Gendhis adalah sosok berkepribadian yang bersahaja.

Seiring gerimis, pelan-pelan pikirannya mengawang, tak sadar ia mengguman sendirian. “Aku tak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Mengapa mereka yang kupercayai, justru yang menggali luka. Dulu aku percaya, Risti bagian dari hidupku, bagian yang kusebut ‘rumah’. Ia tempatku berbagi cerita, impian, hingga rahasia yang tak pernah kubisikkan pada orang lain,” gumannya.

“Dhimas, yang aku kira akan selalu ada, bersamaku hingga akhir. Semula aku percaya, kami akan menjadi lebih dari sekadar kenangan, lebih dari sekadar pasangan yang saling mencintai di awal, justru berakhir dalam kehancuran. Nyatanya, Dhimas dan Risti meninggalkanku. Bukan hanya untuk pergi, mereka berkhianat,” tak Gendhis rasakan air matanya merembes di pipinya.

Sudah berapa lembar tisu basah mengelap pipinya, Gendhis masih dalam lamunannya. “Risti yang selama ini kuanggap saudara, menusukku dari belakang. Dia malah ambil bagian dari diriku yang tak pernah bisa kukembalikan. Dhimas. Ah, aku bahkan tak tahu bagaimana menjelaskan rasa sakit yang dia hujamkan. Tak pernah sangka, cinta bisa menjadi pisau, melukai begitu dalam.”

*

Sudah tiga tahun berlalu, namun luka hati Gendhis tak juga sembuh sepenuhnya. Hingga kini, Gendhis belum lagi membuka hatinya untuk siapapun. Trauma yang dalam membuatnya enggan membuka hati, meski banyak pria yang mencoba mendekatinya. Dia memilih fokus pada pekerjaannya, sedang magang sebagai calon notaris di salah satu kantor ternama di kotanya.

Di kantor itu, ada satu sosok yang diam-diam mencuri perhatiannya, meski Gendhis tak pernah membiarkan perasaan itu muncul ke permukaan. Prasodjo (baca: Prasojo). Lajang 30 tahun, tiga tahun lalu tunangannya meninggal karena sakit. Prasodjo, ia sosok berbeda. Dia tenang, perhatian, dan selalu sabar membimbing Gendhis, meski ia kerap melakukan kesalahan dalam bekerja.

Tubuh tegap, atletis, dan bugar, pertanda Prasodjo menjaga fisiknya dengan baik. Tinggi 176 cm. Rambut hitam pendek, kulit sawo matang, dan wajahnya persegi dengan rahang yang menonjol. Matanya tajam, hidung mancung dan bibir agak tebal. Penampilannya rapi, menambah karakter pada sosoknya yang percaya diri, tampak Prasodjo menarik dan karismatik.

“Gendhis, ada yang perlu diperbaiki di draf ini,” suara Prasodjo memecah lamunannya. Dengan buru-buru Gendhis menyambar tisu di depannya, mengusap pipinya. Prasodjo menyerahkan sebuah berkas draf akta notaris kepadanya. “Bagian tentang komposisi kepemilikan saham, perlu diperbaiki. Kamu harus lebih teliti. Salah garap sedikit, bisa berakibat fatal.”

Ucapan tegas Prasodjo membuat Gendhis menunduk tersipu, matanya terfokus pada dokumen di tangannya. “Iya, Mas. Maaf, saya kurang teliti. Saya akan perbaiki segera,” jawab dengan suara tersendat-sendat Gendhis. Dicermatinya draft akta notaris itu, ternyata ada kesalahan menyusun komposisi nama para pemilik saham sebuat perseroan terbatas.

Menyebut ‘Mas’ itu memang permitaan Prasodjo kali pertama Gendhis masuk kerja. Prasodjo beralasan demi keakraban, pun menghapus gap antar yunior senoir, bila dibanding memanggilnya dengan sebutan ‘Pak’. Sambil berdiri Prasodjo tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, kamu sudah belajar banyak. Lagi pula, semua orang pasti pernah membuat kesalahan.” sahut Prasodjo sembari menyeret kursi.

Prasodjo duduk di depannya, tatapannya tak lepas dari Gendhis yang tengah menunduk. “Kamu tahu, Gendhis! Kamu sangat berbakat dalam hal ini. Kamu hanya perlu lebih percaya diri dan teliti.” Gendhis tertegun, jantungnya berdegup kencang mendengar pujian itu dari mentor di depannya. Namun, ia hanya tersenyum tipis, menghindari kontak mata. “Terima kasih, Mas. Saya akan coba lebih teliti.”

Setiap hari, kebersamaan mereka membuat Gendhis tak bisa menampik perasaan aneh kepada Prasodjo yang perlahan-lahan tumbuh. Namun Gendhis masih terkungkung oleh ketakutan masa lalu. Baginya, perasaan luka itu terlalu dalam dan sakit untuk dirasakan kembali dalam kehidupannya kini. Ia buru-buru matikan perasaan aneh itu sebelum tumbuh mengakar kuat.

Seiring berjalannya waktu, keakraban mereka berdua tumbuh bukan hanya saat keseharian terkait pekerjaan di kantor. Keakraban itu terbangun pula kebetulan rumah Gendhis searah jalan dengan rumah Prasodjo, membuat mereka sesekali pulang bersama, itu lantaran sesekali pula, saat Gendhis tidak membawa motornya. Ia menumpang di mobil Prasodjo.

Perjalanan pulang bersama menjadi momen yang makin menghapus ketercanggungan keduanya. Canda tawa, joke-joke lucu sering terlontar dari mulut masing-masing. Setiap pulang bersama, mereka seringkali tak langsung pulang, memilih mampir di café kecil untuk menikmati senja sambil minum kopi sembari mengobrol ringan.

Sore itu, di café langganan, Gendhis duduk di seberang Prasodjo. Cahaya matahari senja menembus kaca jendela, memantulkan kilau keemasan di wajah mereka berdua. “Senja selalu indah, ya?” Gendhis membuka pembicaraan, mencoba menikmati suasana santai di sela-sela kepadatan dan bising lalu lintas di luar café .

Di luar, sementara orang-orang saling berburu kecepatan, memacu kendaraan bak di sikuit balap jalanan. Saling mendahului, menombol klakson, tak menghiraukan pengguna lalulintas yang lain. Bahkan tak sedikit menerobos ‘lampu bang jo’. Jika terjadi celaka, sebenarnya tak hanya mereka yang rugi, pun orang lain. Padahal keluarga mereka sedang menunggunya di rumah.

Prasodjo menyesap kopi hitamnya, menatap ke arah Gendhis dengan senyum yang lembut dan tatapan tajam namun penuh makna. “Senja seperti memberi kita waktu untuk merenung, tentang apa yang sudah kita jalani, dan apa yang mungkin kita inginkan ke depan, Gendhis?” ucap Prasodjo sembari meletakkan cangkir di piring kecil, alasnya, di meja.

Gendhis terdiam sejenak, mencoba memaknai kata-kata yang mengalir dari bibir Prasodjo itu seolah menembus lapisan hatinya yang masih tertutup tirai keraguan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai menghangat, meski ia takut untuk mengakuinya. “Apa yang mungkin kita inginkan ke depannya, Gendhis?” kata-kata Prasodjo itu terngiang-ngiang di telinganya.

Setiap kali berhenti dan santai di café, mereka menikmati senja dengan secangkir kopi, bercakap-cakap sambil menikmati waktu yang berlalu perlahan-lahan. Lalu, di perjalanan pulang pun mereka masih mengobrolkan sesuatu, membicarakan banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga hal-hal ringan seperti hobi, kesukaan menu kuliner, dan tempat nongkrong favorit mereka.

*

Di akhir pekan di tengah bulan September tahun ini membawa suasana baru, yang sekaligus kegembiraan bagi karyawan kantor notaris tempat Gendhis magang. Malam itu, seluruh karyawan diundang untuk merayakan ulang tahun kantor notaris dengan pesta yang cukup meriah di sebuah resort, di luar kota dan menginap semalam.

Suasana cukup meriah, keakraban tercipta. Pratiwi Rasyidi, pemilik kantor sekaligus notaris yang baik hati, memposisikan seluruh karyawan adalah sebagai mitra dan sebuah aset kantor. Ia memposisikan diri kepada karyawan bukan sebagai atasan dan bawahan, sehingga suasana kantor bak suasana sebuah keluarga. Setiap ulang tahun kantor, ia rayakan dan nikmati bersama karyawan.

Setelah pesta usai, kebanyakan karyawan memilih untuk beristirahat di kamar masing-masing, namun Gendhis dan Prasodjo masih tinggal di lobby, masih ingin memperlambat malam dengan menikmati suara alunan piano yang dimainkan oleh pianis muda di sudut ruangan. Dentingan piano itu yang menciptakan malam menjadi suasana melankolis bagi mereka berdua, meski masih ada orang berlalu lalang.

Di sudut lobby resort, seorang pianis muda memainkan melodi dengan lembut, nada-nadanya mampu mengisi ruang kosong di hati Gendhis dan Prasodjo. Prasodjo duduk di sebelah Gendhis, namun kali ini jaraknya lebih dekat dari kebiasaan yang mereka lakukan. Entah sebab apa, malam itu membuat mereka tak ingin buru-buru balik di kamar masing-masing untuk tidur lebih awal.

“Malam ini terasa berbeda ya, Gendhis?” ucap Prasodjo perlahan, memecah suasana. Matanya menatap lurus ke arah jemari pianis, namun sesekali melirik Gendhis di sampingnya. Gendhis mengangguk kecil, namun di dalam dadanya, ada gejolak yang tak ia pahami. “Ya…, mungkin karena suasananya tenang. Atau mungkin karena…, karena kita tak sering menikmati suasana begini, Mas.” Jawab Gendhis sedikit manja.

Prasodjo menoleh, kali ini tatapannya tak lagi teralihkan. “Gendhis, ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu.” Gendhis merasa dadanya mulai berdegup tak beraturan. Seolah ada firasat yang membuatnya gelisah. Ia menoleh, namun tatapannya hanya terpancar di mata Prasodjo yang penuh ketegasan, namun juga keteduhan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

“Aku mencintaimu, Gendhis,” kata Prasodjo tanpa jeda, suaranya begitu mantap, namun di balik itu, ada keraguan sekaligus kegelisahan yang menyelimuti. “Sejak pertama kali bertemu, dan kita bekerja bersama, ada perasaan yang tak bisa aku abaikan kepadamu. Aku mencoba menyembunyikannya, menutupnya rapat-rapat…, namun aku tak mampu lagi, Gendhis.”

Gendhis terdiam, tubuhnya membeku. Seperti ada sambaran petir di tengah gerimis malam. Kata-kata itu seperti pukulan godam yang memaksa hatinya menerawang kembali ke masa lalu, ke dalam luka yang pernah menganga. Prasodjo, lelaki yang selama ini ia anggap hanya sebagai mentor, seorang kakak yang bijak, dan teman kerja ternyata memiliki perasaan lebih.

“Kamu sadar, apa yang baru kamu katakan, Mas?” sahut Gendhis pelan, suaranya hampir tak terdengar lantaran tertelan oleh alunan melodi piano oleh sang pianis. Pandangannya teralihkan ke lantai marmer, yang berkilau di bawah temaran cahaya lampu lobby resort, bangunan kuno zaman kolonial Belanda, malam itu.

Gendhis diam, tak tahu harus merangkai kata apa lagi untuk menjawabnya. Ia menunduk, merasakan betapa dalam kata-kata Prasodjo merasuk ke hatinya. Namun, di balik semua itu, ada ketakutan besar yang tak bisa ia abaikan. Sekelebat bayangan hitam Dhimas mendadak membayang di pikirannya. Bayangan masa lalu yang membuatnya ragu untuk membuka hatinya kembali.

“Aku sadar betul apa yang aku katakan, Gendhis.” Prasodjo menatapnya dalam-dalam. “Aku tahu kamu terluka, masih terbelenggu masa lalumu. Aku tahu, kamu takut bayangan kelam masa lalu itu menjelma kembali. Namun aku ingin jadi orang yang ada di sisimu, bukan hanya sekadar rekan kerja atau teman. Aku ingin kamu ada di sampingmu selamanya.”

Gendhis menggeleng, air matanya mulai mengalir di pipinya, meski ia berusaha mengusap dan menahannya jatuh. “Aku…, aku tak bisa, Mas Prasodjo. Hatiku sudah terlalu beku. Aku takut…!” jawab Gendhis terbata-bata. Prasodjo mendekatkan dirinya, tak lagi menjaga jarak. “Gendhis, dengarkan aku. Aku bukan Dhimas. Aku tak akan tega menyakitimu.”

Prasodjo merengkuh tubuh Gendhis sembari berbisik, “Aku mencintaimu. Cintaku yang telah terkubur bersama jasad tunanganku, Savitri, kini hidup kembali untuk kamu, Gendhis.” Gendhis terdiam beku. Hanyut dalam dentingan piano, pikirannya terperangkap dalam kekacauan. Ia ingin percaya, namun tembok besar yang telah ia bangun di hatinya itu serasa sulit ia runtuhkan kembali.

“Aku tidak meminta jawabanmu sekarang,” Prasodjo melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. “Aku akan menunggu. Selama apapun kamu butuh waktu.” Gendhis menatap Prasodjo, dan untuk pertama kalinya, ia melihat pria itu dengan cara yang berbeda. Ada kehangatan, ketulusan, dan ketegasan. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama. Perasaan itu kini hadir dari Prasodjo.

Dari sudut ruangan lobby resort, dari alunan nada piano itu, samar-samar Gendhis masih mengingat lirik lagu yang sedang dimainkan. Sebuah lagu yang sering ia nyanyikan kala hatinya masih utuh dulu, saat-saat merenda hari-hari indah bersama Dhimas dulu. Namun kini lagu ‘kebangsaan’ itu ia dengar di depan Prasodjo.

“Di ujung kemarau panjang,
yang gersang dan menyakitkan,
kau datang menghantar berjuta kesejukan.

Kasih,
kau beri udara untuk nafasku.
Kau beri warna bagi kelabu jiwaku.

Tatkala butiran hujan,
mengusik impian semu,
kau hadir di sini di batas kerinduanku”.
…………………………………..

Malam itu, di tengah dentingan piano dari lagu “September Ceria” yang dipopulerkan Vina Panduwinata dalam pita kaset produksi Jackson Record tahun 1983, yang sering ia nyanyikan kala bersama Dhimas dulu, kini menjadikan membuncah hatinya di hadapan Prasodjo. Antara bayangan kelam dan harapan-harapan silih berganti menggoyahkan hatinya.

Gendhis tahu bahwa Prasodjo mungkin adalah harapan baru di antara pria yang ingin mendekatinya, meski ia belum berani mengakuinya. Dengan suara gemetar, di antara jarum jam yang terus mendorong waktu menggenapkan hari, di akhir pekan di tengah bulan September, di antara angin malam dengan lirih Gendhis berucap, “Terima kasih, Mas Prasodjo. Aku butuh waktu.”

Prasodjo berbinar mata dan senyum tipisnya terkulum di bibir, pelan-pelan tangannya merengkuh tubuh gadis itu kembali dengan lembut, lantas membelai pelan-pelan rambut Gendhis yang tersibak angin malam. “Aku akan menunggu, selama kapanpun itu, Gendhis.” Prasodjo dengan kesabarannya mencoba meyakinkan.

Malam itu, meski tak ada kepastian, dalam kebimbangan dan keraguannya, mereka tahu bahwa ada sesuatu yang baru saja dimulai. Sesuatu yang lebih hangat dari sekadar desiran angin malam, dan lebih lembut dari alunan piano sang pianis muda malam itu. Di batas-batas kebimbangan dan keraguan, mungkin ada benih yang mulai tumbuh.

Featured image by: neuralwriter.com/id/image-generator-tool/

Disclaimer:
Cerita pendek (cerpen) ini hanya sebuah karya berdasarkan fiksi, jika ada nama tokoh, tempat, dan kejadian yang sama itu hanya kebetulan saja.

Bersambung

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *