Roode Brug Soerabaia Bergandeng Surabaya Juang Dukung Drama Kolosal Resolusi Jihad Fii Sabilillah
Memoetoeskan :
Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha-oesaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.
Seoapaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Soerabaja, 22 Oktober 1945
Nahdlatoel Oelama
Demikian adegan pembacaan cuplikan salah satu teks Resolusi Jihad yang ditulis oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah sekaligus dibacakannya atas permintaan K.H. Hasyim As’yari pada pementasan Drama Kolosal Resolusi Jihad Fii Sabilillah dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional Tahun 2024 yang digelar di Lapangan Monumen Tugu Pahlawan Surabaya, Selasa (22/10/2024) pukul 19.00.
Drama Kolosal Hari Santri 2024 dengan tajuk Resolusi Jihad Fii Sabilillah merupakan kolaborasi komunitas kesejarahan Surabaya, dan para seniman Surabaya. Di antaranya didukung oleh Komunitas Surabaya Juang, Komunitas Roode Brug Soerabaia, Baya Runcing, SMA Negeri 21 Surabaya, Komunitas Teater, dan Ludruk Surabaya.
Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 merupakan seruan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melalui perlawanan fisik terhadap penjajah, yang didukung oleh pandangan keagamaan bahwa perang ini adalah jihad di jalan Allah. Resolusi ini dicetuskan oleh ulama Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam di Indonesia, yang pada saat itu dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari.
Pun resolusi tersebut adalah salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam hal ini, terutama dalam konteks perlawanan terhadap kembalinya pasukan Belanda yang dibantu Sekutu, pimpinan pasukan Inggris, setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Resolusi Jihad tak hanya seruan untuk membangkitkan semangat perjuangan mempertahan kemerdekaan di Surabaya, namun juga memberikan legitimasi agama dan didukung pandangan bahwa perang ini adalah jihad di jalan Allah. Peran ulama dan santri dalam perjuangan ini terus dihormati melalui peringatan Hari Santri Nasional setiap tahunnya.
Heri Prasetyo, Sutradara Drama Kolosal Resolusi Jihad Fii Sabilillah, menuturkan bahwa santri itu tidak sekadar menuntut ilmu di pesantren dan mengamalkan ajaran Islam, namun proses belajar kehidupan yang tiada berhenti hingga perilakunya akan menjadi panutan dan keteladanan. Sejak tahun 1912, santri selalu istiqomah memperjuangkan Ukhuwah Islamiyah.
“Yakni, menyuarakan pentingnya menjaga persatuan umat dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pun pada pasca kemerdekaan, kaum santri turut mengangkat senjata dan menjadi motor pergerakan nasional dan terlibat dalam merumuskan dasar negara,” tuturnya.
Sebagai pejuang, lanjutnya, santri selalu merapatkan barisan dalam menjaga kemerdekaan bangsa. Spirit inilah yang selalu ditegakkan oleh Hadratussyeikh K.H. Mohamad Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syamsuri, dan para ulama Jawa dan Madura lainya, untuk mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) hingga fatwa Resolusi Jihad 1945 sebagai perwujudan para santri mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurutnya, meski orang-orang menyebut santri adalah kaum bersarung, sarung bagi mereka adalah sebuah simbol pelindung bagi budaya negeri ini. Dari serangan mahkluk pemilik uang dunia yang berwujud apa pun, yang setiap waktu selalu mengganggu dan membelokan keimanan manusia dari ketidakelokan dan kesantunan dalam berperilaku.
“Sarung adalah wujud nyata dari wadah manusia Indonesia yang memiliki kepribadian dalam keluhuran budaya bangsa. Para santri didikan pesantren adalah anak-anak masyarakat, yang paham dengan arti kata rakyat, kebudayaan rakyat, agama rakyat, jalan pikiran rakyat, cara hidup rakyat, semangat rakyat, dan cita-cita rakyat,” lanjutnya.
Masih menurut Heri Prasetyo bahwa yang disebut rakyat dimaknai sebagai kaum tani, pedagang kecil, tukang-tukang, mereka itulah bapaknya para santri, sehingga para santri dan kyai sangat paham tentang arti hidup dalam penjajahan dan penderitaan. Mereka korban penindasan, pemerasan, kesewenang-wenangan, dan kezaliman.
“Para kyai dan para santri sangat peduli dengan rasa penderitaan itu, maka komando perlawanannya mudah didengar, sehingga mudah untuk bergerak, karena pesantren adalah embrio tumbuhnya nasionalisme,” tambahnya.
Lantaran Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, kaum bersarung bangkit dalam kesadaran untuk melawan pemikiran dan praktik kolonialis dan imperialis Eropa. Mereka turut turun tangan jihad fii sabilillah, yang puncaknya pada Pertempuran 10 November 1945. Sebagai tonggak yang tidak dapat digoyahkan bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pungkas seniman yang akrab disapa denga Cak Heri Lentho.
Pada kesempatan yang sama, Satrio Sudarso, Ketua Roode Brug Soerabaia, menambahkan bahwa peringatan Hari Santri Nasional setiap 22 Oktober. Kali pertama peringatan tersebut diresmikan pada tahun 2015, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Hari Santri Nasional tahun 2024 merupakan peringatan yang kesepuluh.
“Penetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, sebagai bentuk penghargaan pemerintah Indonesia terhadap peran santri dan ulama dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu, juga sebagai bukti nyata bahwa umat Islam berkontribusi dan memainkan peran penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia,” tambahnya.
Hari Santri menjadi inspirasi bagi generasi muda, khususnya kaum santri, untuk terus berkontribusi dalam pembangunan bangsa melalui berbagai bidang, baik pendidikan, sosial, budaya maupun ekonomi. Semangat perjuangan dan pengabdian santri dalam menjaga agama dan negara dapat menjadi teladan bagi generasi penerus untuk terus berkarya dan berdedikasi, pungkas Satrio Sudarso.
*
Drama Kolosal Resolusi Jihad Fii Sabilillah merupakan acara puncak peringatan Hari Santri Nasional 2024. Sebelum gelar drama kolosal diawali dengan penampilan dari beberapa kelompok Banjari, istighosah dan doa bersama, dan pengumuman hasil berbagai lomba dalam rangka Hari Santri nasional 2024. Acara dihadiri oleh Pjs Wali Kota Surabaya, jajaran Forkopimda, para ulama, muslimat, fatayat, dan santri dari berbagai pelosok Surabaya.
Momen Hari Santri Nasional juga sarana bagi kita untuk mengingatkan tentang integrasi antara agama dan nasionalisme. Santri tak hanya dididik untuk taat beragama, namun juga mencintai tanah airnya. Dalam konteks modern, ini menjadi pembelajaran bahwa menjadi seorang Muslim yang taat, dan menjadi seorang warga negara yang baik mesti bisa berjalan selaras dan senafas.
Biarkan Fota Bicara
Drama Kolosal Hari Santri 2024: Resolusi Jihad Fii Sabilillah
Serba-Serbi