“The world is full of good people. If you can’t find one, be one.
Never stop being a good person.” Anonymous.
Dalam dinamika kehidupan modern yang penuh tekanan, perubahan cepat, dan tantangan sosial yang kompleks, optimisme terhadap keberadaan kebaikan kerap kali goyah. Berbagai berita negatif tentang kejahatan, kebencian, dan ketidakadilan ‘bersliweran’ di media, timbul persepsi bahwa dunia semakin kejam dan individualistik. Seolah begitu sulit menemukan kebaikan.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kebaikan masih hidup, kadang hadir dalam bentuk sederhana dan senyap. Seperti kata psikolog humanis Carl Rogers (1961), “The good life is a process, not a state of being. It is a direction, not a destination.” Kehidupan yang baik adalah sebuah proses, bukan sebuah keadaan. Itu adalah sebuah arah, bukan sebuah tujuan.
Menjadi orang baik adalah proses aktif, bisa dimulai dari siapa pun, kapan pun. Percayalah, dunia ini tak pernah benar-benar kehabisan orang baik. Kadang, ia berwujud seseorang yang rela berdiri membantu orang tua menyeberang jalan. Atau seorang anak muda yang tanpa diminta memungut sampah di taman, atau seseorang pilih diam dan tak membalas kebencian dengan kebencian.
Kebaikan adalah Fenomena Psikologis
Dalam kajian psikologi positif, kebaikan merupakan bagian dari character strengths, yaitu ciri-ciri kepribadian positif yang berkontribusi terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat (Peterson & Seligman, 2004). Kebaikan, dalam hal ini mencakup kemurahan hati, empati, dan kepedulian terhadap sesama. Salah satu kekuatan karakter yang meningkatkan hubungan interpersonal dan kepuasan hidup.
Dalam penelitiannya, Lyubomirsky (2007) menemukan bahwa individu yang melakukan tindakan-tindakan kebaikan sederhana secara teratur menunjukkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi secara signifikan dibanding yang tidak. Ini membuktikan bahwa menjadi orang baik bukan hanya menguntungkan orang lain, namun juga menyuburkan kesehatan psikologis diri sendiri.
Jika Tak Temukan Orang Baik, Jadilah Salah Satunya!
Dalam sejarah pemikiran moral, filsuf seperti Immanuel Kant telah menekankan pentingnya bertindak berdasarkan prinsip universal tentang kebaikan. Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785), Kant menyatakan bahwa seseorang harus bertindak seolah prinsip perbuatannya akan menjadi hukum universal.
Maka, menjadi orang baik bukan soal lingkungan yang mendukung, melainkan soal integritas moral. Sejalan dengan itu, Dalai Lama XIV pernah berkata: “Be kind whenever possible. It is always possible.” Ucapan ini bukan sekadar kutipan, tetapi sebuah pernyataan etis yang menekankan bahwa kebaikan adalah pilihan sadar, bukan respon reaktif terhadap lingkungan.
Ada kalanya, hidup membawa kita ke tempat yang terasa dingin dan asing. Kita bertemu orang-orang yang menyakiti, memanfaatkan, bahkan mengkhianati. Kita pun mulai meragukan apakah kebaikan masih ada. Namun di situlah kita diuji, apakah kita akan ikut hanyut dalam ruang kegelapan, atau justru menjadi cahaya kecil yang menjadi obor penerang?
Menjadi orang baik tak perlu menunggu momen besar, apalagi demi pencitraan diri dan viral di media sosial. Kebaikan bisa dimulai dari hal kecil seperti senyuman tulus saat berpapasan dengan orang tak dikenal, mendengarkan tanpa menghakimi, memberi tanpa pamrih, dan membantu tanpa tapi. Tak perlu menunggu kapan hadirnya orang baik, mengapa tak menjadi salah satunya?
Kebaikan Tak Menuntut Kesempurnaan
Sering kali orang merasa gagal menjadi baik karena mereka pernah marah, kecewa, atau bersikap keras. Padahal, seperti dikemukakan oleh Brené Brown (2012), peneliti di bidang kerentanan dan empati, “Compassion is not a relationship between the healer and the wounded. It’s a relationship between equals.”
Menjadi orang baik bukan berarti tak pernah marah, tak pernah salah, atau selalu bisa menyenangkan semua orang. Orang baik adalah mereka yang tetap memilih jujur meski pahit, tetap memilih sabar meski lelah, dan tetap memilih peduli meski dunia terasa tak peduli. Mereka percaya bahwa setiap kebaikan yang ditanam, sekecil apa pun itu, akan tumbuh dan memberi arti.
Artinya, kebaikan tidak menuntut posisi moral yang lebih tinggi, melainkan keikhlasan untuk tetap peduli meski dalam keadaan rapuh. Menjadi baik adalah tentang komitmen, bukan citra. Kita tak perlu menjadi sempurna lebih dulu (memang tak pernah bisa jadi sempurna) untuk memberikan pengaruh positif. Cukup dengan terus berupaya melakukan hal benar dalam kondisi apa pun.
Kebaikan Ciptakan Efek Domino
Penelitian Fowler & Christakis (2010) tentang jejaring sosial menunjukkan bahwa tindakan prososial seperti membantu orang lain memiliki efek berantai yang luar biasa. Satu tindakan kebaikan dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama, menciptakan efek domino yang menggerakkan komunitas menuju budaya peduli.
Ini sejalan dengan konsep emotional contagion, yaitu kemampuan emosi untuk menular melalui interaksi sosial (Hatfield, Cacioppo, & Rapson, 1994). Maka, dengan menjadi orang baik, kita sebenarnya sedang menyebarkan energi positif yang mungkin tidak langsung terlihat hasilnya, tetapi nyata dampaknya.
Meski akan ada saatnya merasa usaha sia-sia, kebaikan dilecehkan, ketulusan dimanfaatkan. Namun, jangan biarkan itu mematikan cahaya kebaikan dalam diri. Kebaikan bukan tentang bagaimana orang membalasnya, tetapi tentang siapa diri kita sebenarnya. Jika satu kebaikan bisa memberi manfaat, atau memberi inspirasi kepada sesama, maka kita sudah berkontribusi dalam menebar kebaikan.
Meski Kecil, Tak Apa Bisa Jadi Obor
Dunia tidak sedang kehabisan orang baik. Ia hanya butuh lebih banyak orang yang hatinya bersih, pikirannya jernih, dan tindakannya tulus, yang berani menyalakan obor kebaikan. Jadi jika hari ini kamu tidak menemukan orang baik, jadilah kamu salah satunya. Ketika memilih menjadi baik, kita sedang menyalakan obor kecil yang bisa menuntun orang lain menuju cahaya kebaikan.
Seperti ditulis oleh Anne Frank dalam The Diary of a Young Girl (1947): “How wonderful it is that nobody need wait a single moment before starting to improve the world.” Kita tidak perlu menjadi siapa-siapa untuk mulai membuat dunia lebih baik. Cukup menjadi seseorang yang tak pernah lelah memilih menjadi baik, meski nyatanya itu tak selalu mudah.
Daftar Referensi:
• Brown, B. (2012). Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead. Gotham Books.
• Fowler, J. H., & Christakis, N. A. (2010). Cooperative behavior cascades in human social networks. Proceedings of the National Academy of Sciences, 107(12), 5334-5338.
• Hatfield, E., Cacioppo, J. T., & Rapson, R. L. (1994). Emotional Contagion. Cambridge University Press.
• Kant, I. (1785). Groundwork of the Metaphysics of Morals.
• Lyubomirsky, S. (2007). The How of Happiness: A New Approach to Getting the Life You Want. Penguin Press.
• Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Oxford University Press & APA.
• Rogers, C. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. Houghton Mifflin.
