“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Share this :

Minggu (2/10/2022) pagi meski Kota Surabaya diguyur gerimis namun tak menyurutkan niat sekitar 30 orang peserta mengikuti Surabaya Walking Tour in Collaboration with Roodebrug Soerabaia Proudly Present “Exploring Tegalsari” . Acara atas kerja sama Surabaya Walking Tour dengan Roodebrug Soerabaia dikemas dengan jalan kaki ke tempat objek wisata sejarah sambil disajikan kisah yang terkait objek tersebut. Turut hadir pula dari Konsulat Jendral Australia, Anthony Clark (Konsul dan Wakil Konsul – Jenderal).

Saat acara “Exploring Tegalsari” berlangsung, para peserta mendapatkan sajian materi, yakni : Sejarah pembangunan bunker-bunker di Kota Surabaya, Sumpah Pregolan dan Markas Utama Mayjen Soengkono, Radio Bekupon dan peranan Radio Pemberontakan Bung Tomo, Tragedi Gubeng Transport, Benteng Kedungcowek dan Djarot Soebijantoro (sosok yang dipatungkan naik kuda di depan RSI Wonokromo) dari Ady Setyawan, pendiri Roodebrug Soerabaia, sebagai narasumber.

Tak seberapa lama gerimis pun berlalu, cuaca Surabaya berubah menjadi sedikit panas lantaran sinar matahari cukup menyengat kulit. Meski udara Surabaya menjadikan baju atau kaos yang dikenakan peserta tampak basah, namum mereka tetap antusias untuk mengikuti dan mendengarkan setiap paparan yang disajikan oleh nara sumber.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Personil Roodebrug Soerabaia sedang persiapan sebelum acara dimulai
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Ketua Roodebrug Soerabaya, Satrio Sudarso membuka acara “Exploring Tegalsari”
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Ady Setyawan, Founder Roodebrug Soerabaia, mengawali acara dengan menjelaskan
Bungker Tegalsari

Berikut adalah catatan uraian materi “Exploring Tegalsari” yang disampaikan Ady Setyawan, di antaranya :

Bungker Tegalsari

Akibat meletusnya Perang Dunia II berpengaruh langsung terhadap Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Surabaya. Untuk mengantisipasi serangan tentara Jepang, sekitar tahun 1930 an dibangun bungker di Section 2 Politie Bureau, terletak tak jauh dari Polsek Tegalsari sekarang. Arsitektur khas Belanda berbentuk segi delapan, dan bungker mirip lorong menuju ruang bawah tanah itu terletak di pinggir jalan.

“Bungker sengaja dibangun di belakang tidak menjadi satu dengan Section 2 Politie Bureau, salah satunya adalah untuk mengelabuhi musuh. Jika musuh mengadakan serangan dari udara, mengira tidak ada yang selamat. Padahal semua bersembunyi ke dalam bungker. Sedang ada proses revitalisasi bungker berbentuk segi delapan dilakukan Pemkot Surabaya, sekita kita tak bisa melihat ke dalamnya,” jelas Ady Setyawan.

Sedangkan jika mengintip atau masuk ke dalam bungker yang mirip lorong bawah tanah harus menunduk. Sebab, pintu masuk hanya berukuran pendek, tak seperti ukuran pintu selayaknya. Ada tiga sampai empat anak tangga untuk turun. Suasana pengap, gelap, dan terkesan mencekam saat melihat ruangan dalam bungker, itu pun hanya dari pintunya, tambahnya.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Bungker Tegalsari tampak dari Jalan Tegalsari Surabaya
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Bungker Tegalsari tampak dari belakang
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Ady Setyawan menjelaskan seputar Bungker Tegalsari dan pertempuran Surabaya
Ady Setyawan menunjukkan gambar-gambar peristiwa pertempuran Surabaya

Sumpah Pregolan dan Markas Utama Mayjen Soengkono

Sepuluh November, 77 Tahun yang lalu, cerita Ady Setyawan, Surabaya diluluhlantakkan oleh pasukan Sekutu, untuk memadamkan gelora semangat kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun semangat untuk merdeka, mandiri, kesetaraan bangsa-bangsa sedunia, tidak akan pernah padam. Luapan semangat itu tercermin oleh ucapan Komandan Pertahanan Kota Surabaya, Kolonel Soengkono (31tahun).

“Saudara-saudara, saya akan mempertahankan Kota Surabaya . Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya tidak menahan saudara; tetapi saya akan mempertahankan kota ini sendiri.” pidato Kolonel Soengkono (Surabaya 1945: Sakral Tanahku).

Tambah Ady Setyawan, pidato itu diucapkan di Markas Badan Keamanan Rakyat (BKR), Jalan Pregolan 4, Surabaya, 9 November 1945, di hadapan kerumunan massa anggota BKR dan masyarakat umum. Mereka tengah menanti keputusan akan apa yang harus dilakukan esok hari. Pidato singkat Sungkono itu kemudian disambut dengan deklarasi kebulatan tekad.

Sumpah pejuang Surabaya ‘Merdeka atau Mati’. Sumpah tersebut, lanjutnya, kemudian ditandatangani para komandan BKR, termasuk Sungkono. Mereka yang rata-rata berusia sekitar 15-22 tahun, yang kemudian sebagian besar mereka gugur dalam pertempuran. Pertempuran Surabaya berlangsung 27 Oktober sampai dengan 20 November 1945, selama 25 hari.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Tak sekadar jalan-jalan, namum bersama menggali sejarah Surabaya yang telah dikubur masa
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Personil Roodebrug Soerabaia bagian dari pemandu acara
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Biar tak merasa lelah, bolehlah foto bersama dulu di bekas kawasan Mayjen Soengkono

“Sebagai pemenang perang dunia, Inggris tak menyangka akan mendapat perlawanan sengit dari rakyat Indonesia. Tentara Jerman yang nyaris menaklukkan dunia mereka kalahkan. Namun siapa sangka di Surabaya, Inggris justru mendapat perlawanan yang sengit. Meski menderita kekalahan secara militer, tekad perjuangan di kota Surabaya itu tetap dikenang,” jelas Ady Setyawan.

Dalam surat kabar New York Times edisi 15 November 1945, lanjut Ady Setyawan, para serdadu Inggris menjuluki “The Battle of Soerabaja” sebagai inferno atau neraka di timur Jawa. Selama lima tahun berperang melawan Jerman, dan tiga tahun menghadapi Jepang, tak satu pun Jenderal Inggris tewas di pertempuran.

Namun justru di Surabaya, Inggris kehilangan dua orang jenderal, Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby komandan Brigade 49 Divisi India (Gurkha) tewas di Jembatan Merah dan Brigjen Robert Guy Loder Symonds tewas di bandara Morokrembangan. Kemudian Inggris menunjuk Mayor Jenderal Mansergh untuk memimpin pertempuran Surabaya, tambahnya.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Ady Setyawan menjelaskan kawasan Pregolan terkait pertempuran Surabaya
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Ady Setyawan menunjuk pohon tanjung, salah satu sebagai saksi bahwa kaswasan Pregolan merupakan tempat bersejarah
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Pohon tanjung yang ditunjuk Ady Setyawan

Radio Bekupon dan Peranan Radio Pemberontakan Bung Tomo

Sebagai Arek Suroboyo, kata Ady Setyawan, kita perlu tahu sejarah perjalanan radio di kota pahlawan. Radio di era perjuangan masih menjadi media pengantar pesan yang paling efektif untuk menggerakkan semangat rakyat melawan penjajah. Memasuki masa kependudukan Jepang, fungsi utama radio beralih sebagai media utama penyebaran propaganda melalui siaran dari Hoso Kanri Kyoku (Pusat Jawatan Radio).

Di masa tersebut juga terjadi penyegelan radio amatir, swasta maupun siaran dari luar negeri. Hal ini memicu inisiatif segelintir anak muda untuk membuat pesawat radio yang disamarkan menjadi rumah burung merpati, sehingga disebut Radio Bekupon. Dengan bentuk radio yang tersamarkan ini akhirnya informasi terkait proklamasi kemerdekaan bisa disebarluaskan, tambahnya.

Bahkan Bung Tomo, lanjutnya, sudah mulai bergerilya melalui radio perjuangan yang dikenal dengan julukan Radio Pemberontakan. Berkat disupport peralatan dan kerja sama dengan RRI Surabaya, tiap Rabu dan Minggu malam Bung Tomo berhasil mengobarkan semangat Arek Suroboyo untuk berani melawan penjajah.

Contoh Radio Bekupon bisa dilihat di Jalan Kombes Pol M. Duryat. Radio bekupon ini menjadi saksi bisu dalam mengobarkan semangat arek Suroboyo ketika melawan sekutu, yang dulunya tersebar di tiap-tiap kampung di Surabaya. Disebut Radio Bekupon karena dulu bentuk radio tersebut menyerupai kandang burung merpati (bekupon), jelasnya.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Adi Setyawan menjelaskan seputar Radio Pekupon
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Anthony Clark, Konsul dan Wakil-Konsul Jendral Australia n(nomor 3 dari kiri) sedang berdiskusi dengan Wahyu D.
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Foto bersama berlatar Radio Pekupon di Jalan Kombes Pol. M. Duryat Surabaya

Tragedi Gubeng Transport

Tragedi ini bermula saat para wanita dan anak-anak ini merupakan bagian dari kelompok 500 orang penghuni kamp tawanan Jepang yang dievakuasi bulan lalu dari Ambarawa, Jawa Tengah, ke Gubeng, kawasan pinggiran kota Surabaya. Pada hari Minggu, dengan alasan keamanan, Inggris memindahkan mereka ke wilayah Darmo, tempat lebih dari 3.200 wanita dan anak-anak interniran tinggal, cerita Ady Setyawan.

Truk-truk telah memindahkan sekitar 500 orang pada siang itu, lanjutnya, namun pada saat konvoi terakhir berangkat, serangan serentak Indonesia mulai dilancarkan atas pos-pos Inggris di Surabaya. Begitu konvoi truk memasuki jalan utama, Indonesia mulai menembaki mereka. Pengemudi dari dua truk berhasil selamat setelah membanting setir ke jalan kecil.

Ada dua pendapat dari pihak Indonesia, menurutnya, terkait peristiwa Gubeng Transport ini, yakni dari (alm.) Suparto Brata, sebagai seorang penulis dan arsiparis Kota Surabaya, ia menyampaikan bahwa peristiwa itu terjadi dalam situasi perang kota telah meletus. Perang sudah menjalar ke seantero kota sejak 28 Oktober, sedangkan truk tersebut berjalan dalam kondisi terpal tertutup dan tanpa penanda.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Prasasti Markas Mayjen Soengkono
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Ady Setyawan menjelaskan seputar Markas Mayjen Soengkono
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Patung Karapan Sapi di Kaliasin Surabaya

Selain Suparto Brata, tambahnya, seorang veteran anggota pasukan Mayor Djarot yang bernama (alm.) Hamid menuturkan bahwa tidak ada unsur kesengajaan menyerang wanita dan anak-anak dalam peristiwa tersebut. Saat itu pimpinan sipil maupun militer berupaya mendapatkan dukungan dan simpati dari dunia, hal itu tentu kontradiktif jika pejuang dengan sengaja menyerang konvoi yang berisi warga sipil.

Menguatkan kedua pendapat tersebut, lanjutnya, (alm.) Sochieb selaku pelukis kenamaan bertema pertempuran Surabaya, di samping sebagai pelaku, ia mengabadikan peristiwa penyerangan konvoi ini dalam salah satu lukisannya. Hal lain yang masih tersisa dalam menyimpan memori kolektif adanya tragedi ini adalah deretan nisan anak-anak kecil Belanda yang berjajar rapi di Ereveld Kembang Kuning Surabaya.

“Dari tulisan pada nisan dapat terbaca bahwa banyak di antara mereka yang masih berusia balita atau sedikit lebih tua. Kesedihan masih bisa kita rasakan ketika menatap jajaran nisan tersebut. Perang senantiasa membawa dampak kerusakan dan kesedihan yang seringkali mampu bertahan dari gerusan zaman,” tambahnya.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Ady Setyawan menjelaskan peristiwa Tragedi Gubeng Transport
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Seluruh peserta dari kejauhan tampak serius mengikuti penjelasan Ady Setyawan
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Lukisan Tragedi Gubeng Transport karya Sochieb

Peran Djarot Soebijantoro

Pada minggu-minggu pertama, kata Ady Setyawan, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, untuk menjaga keamanan di Kota Surabaya dibentuk Badan Keamanan rakyat atau BKR, dengan pimpinan Soengkono. Untuk melaksanakan tugas menjaga keamanan dibutuhkan suatu pasukan bersenjata api yang orang-orangnya mahir menggunakan senjata itu. Maka dibentuk barisan bersenjata di bawah pimpinan R. Djarot Soebijantoro dari Jibakutai (Pasukan Berani Mati Jepang).

Barisan ini kemudian dinamakan barisan penyerbu atau BP, sedang anggota-anggotanya terdiri atas anak buah Jibakutai dulu, ditambah para pelajar, heiho dan Arek-Arek Suroboyo lainnya. Barisan ini menjadi bayangkari di markas BKR Surabaya yang berkedudukan di Jalan Cendana (sekarang Jalan Kombespol M. Duryat), tambahnya.

Ketika BKR pada tanggal 5 Oktober 1945 dilebur menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lanjutnya, Barisan Penyerbu dilantik dan diresmikan menjadi Kompi Barisan Penyerbu TKR Divisi VII yang memiliki anggota kira-kira 300 orang, 70% di antaranya bersenjata yang didapat dari perampasan terhadap tentara Jepang.

Karena mengalami gempuran hebat dari musuh, menurutnya, markas pertahanan Surabaya terpaksa berpindah-pindah tempat, demikian juga markas Komando kompi BP dari Jalan Cendana pindah ke Taman Bungkul, Wonokromo, Pabrik Gula Tulangan, Kedurus, Mlaten, Sepanjang, Bambe, Driyorejo hingga Perning. Selama itu kompi BP menjadi tulang punggung kekuatan dari markas pertahanan Surabaya.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Mr. Anthony Clark, Konsul dan Wakil-Konsul Jendral Australia n(nomor 3 dari kiri) sedang berdiskusi dengan Wahyu D. dan Sylvi Mutiara
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Meski berkeringat, Mr. Anthony Clark tetap turut menikmati jalanan Surabaya
Ady Setyawan menjelaskan peran Djarot Soebijantoro

Pada tanggal 5 Mei 1946, tambahnya, Batalyon Djarot dipindah dan selanjutnya berkedudukan di Mantup. Di daerah ini tugasnya yang terpenting adalah membentengi markas Pertahanan Surabaya di wilayah utara. Selain membendung serangan musuh dari timur (Kota Surabaya), juga berusaha mengacau pertahanan musuh. Jelaslah untuk itu dituntut pasukan yang giat dan kewaspadaan yang tinggi.

Dua bulan setelah berada di daerah Mantup, pada bulan Juli 1946, Mayor Djarot mendapat hadiah dari Kepala Daerah Mantup seekor kuda berwarna putih bernama Mayangkara. Mengapa kuda yang bagus itu dihadiahkan kepada Komandan Batalyon Djarot? Konon Kepala Daerah Mantup sebelumnya bermimpi kedatangan seorang pendeta yang mengatakan bahwa kuda peliharaannya itu harus diberikan kepada seorang pemimpin pertempuran yang ada di daerah itu, imbuhnya.

“Agaknya terjadi sambung rasa antara yang memberi dan yang diberi. Sebab, menurut pengakuannya, Mayor Djarot pada waktu itu juga bermimpi kedatangan seorang raja mengendarai kuda berwarna putih, sang raja kemudian memberikan kuda tunggangannya, dengan pesan agar kuda tadi dipergunakan untuk memimpin barisan,” katanya.

Untuk mengenang jasanya, dibangunkan monumen di kawasan Wonokromo, yakni Monumen Mayangkara. Monumen ini berupa patung kuda bernama Kuda Mayangkara yang berwarna putih mulus. Yang naik di atas kuda adalah patung dari pahlawan R. Djarot Soebijantoro, Letnan Kolonel Inf. TNI AD. Komandan batalyon pertama dari pasukan Penyerbu Ex Kompi Djarot, cikal bakal lahirnya Batalyon 503 Mayangkara, pungkas Ady Setyawan.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Ady Setyawan menjelaskan peran Djarot Soebijantoro di atas jembatan penyeberangan Jalan basuki Rahmat Surabaya
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Foto bersama diGedung YMCA/IMKA. Zaman pendudukan Jepang gedung ini dijadikan markas Jibakutai (Pasukan Berani Mati) Balatentara Dai Nippon. Pasukan serangan khusus unit kamikaze udara, darat maupun laut.

*

Memungkasi acara “Exploring Tegalsari”, Ketua Roodebrug Soerabaia, Satrio Sudarso, menyampaikan ucapan terima kasih kepada segenap peserta yang telah meluangkan waktu dan kepeduliannya bersama-sama untuk jalan-jalan sambil mengulik sejarah perjuangan dari bagian jengkal tanah Surabaya. Jengkal-jengkal tanah yang lain di kota ini masih memendam banyak cerita sejarah yang perlu kita angkat di kesempatan yang lain.

“Terima kasih dan apresiasi untuk segenap para peserta, jajaran Surabaya Walking Tour dan Roodebrug Soerabaia atas partisipasi dan kepeduliannya pada acara “Exploring Tegalsari”. Lewat Panjenengan semua semoga dapat menebar virus semangat membangkitkan memori kolektif masyarakat Surabaya, khususnya kaum muda milleneal, untuk mengenal, mencintai, dan menjaga kotanya,” pungkas Satrio Sudarso.

“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Foto bersama diGedung YMCA/IMKA. Zaman pendudukan Jepang gedung ini dijadikan markas Jibakutai (Pasukan Berani Mati) Balatentara Dai Nippon. Pasukan serangan khusus unit kamikaze udara, darat maupun laut.
“Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!
Sempatkan foto bersama dengan Mr. Anthony Clark, Konsul – Wakil Konsul Konsulat Jendral Australia

You may also like

2 thoughts on ““Exploring Tegalsari”, Jalan-Jalan sambil Mengulik Sejarah Surabaya. Begini Ceritanya!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *