(Bersambung dari Cerpen: “Di Batas Keraguan, Ada Benih Yang Mulai Tumbuh”) #7
Udara pagi masih basah oleh embun saat Gendhis tiba di kawasan mangrove di pinggiran kotanya. Matahari muncul dari balik cakrawala, cahayanya membias lembut di antara celah-celah rerimbunan mangrove yang akar-akarnya menjulur kedalam tanah berlumpur. Hening. Hanya desiran angin perlahan, riak-riak air payau, dan siluet pepohonan bakau menciptakan sebuah harmoni alam.
Gendhis menghirup napas dalam-dalam, membiarkan oksigen menari-nari di setiap bilik paru-parunya sebelum ia menghembuskan CO2 ke udara. Sepasang burung camar terbang rendah, suaranya membelah kesunyian yang menyelimuti mangrove. Minggu ini, Gendhis meluangkan waktu paginya dengan melakukan aktivitas silent walking.
Sepatu kanvasnya menyentuh jogging track dari kayu di atas air, menjulur ke titik pandang terjauh, di antara pepohonan bakau, memandu langkahnya ke dalam keheningan. Akar-akar bakau menghunjam ke tanah berlumpur seakan menjadi penjaga diam di sisi-sisi jalan kayu setapak itu. Mengingatkan pada dirinya, meski tampak goyah namun harus mempunyai pijakan yang kuat.
“Di sini hanya langkahku, alam, dan nafasku sendiri,” gumam dalam benak Gendhis saat sedang silent walking, praktik berjalan kaki dalam suasana sunyi, memungkinkan dirinya bisa fokus. Tak ada musik, tak ada ponsel yang bergetar, tak ada bising klakson, tak ada deru kendaraan bermotor, hanya suara alam yang menyertai dan menjadi latar belakang pada setiap langkahnya.
Gendhis mulai melangkah pelan, seiring dengan tarikan dan hembusan napas yang ia atur seirama. Setiap tarikan napas diikuti oleh pijakan di atas kayu basah. “Satu langkah, satu napas,” batinnya. Rerimbunan mangrove dengan akar-akar bakaunya yang menunjang ke dalam, seolah memintanya untuk tetap kokoh di tengah hempasan masalah keseharian yang menguras emosi.
Tetiba, Gendhis ingat konflik yang tak bisa ia hindari dengan Prasodjo, keraguannya yang dipicu oleh kehadiran Karina. Lebih menyakitkannya lagi, Karina hadir dengan begitu licik. Sosok, sahabat dekat Prasodjo semasa SMA dulu, sekarang berusaha menjauhkan Gendhis dan Prasodjo dengan serbuan peluru fitnah yang membuat segalanya semakin rumit.
“Apakah Prasodjo benar-benar percaya padanya?” pikir Gendhis, saat perasaan membuncah merayap di dalam hatinya. Namun, ia sadar kembali ke langkah dan napasnya. “Ini bukan tempatnya. Aku ada di sini untuk berbagi rasa dengan diri, bukan membiarkan pikiran kacau menguasai,” langkahnya melambat, seiring hatinya menepis sesuatu yang menggelayuti pikiranya.
Samar-samar di sisi kiri kanan ia melangkah, terdengar suara gemerisik ombak kecil yang menerjang akar-akar bakau. Gendhis menoleh ke arah air, melihat riak-riaknya yang bergerak perlahan di bawah pohon itu. “Seperti air ini. Masalah-masalah itu bagai riak-riak gelombang ombak kecil, datang dan pergi. Aku tidak perlu tenggelam di dalamnya,” lanjut pikirnya.
Namun, konflik bukan hanya datang dari Karina. Bintari, rekan kerjanya, menjadi duri dalam kesehariannya. Bintari selama ini menyimpan rasa iri dan hasrat balas dendam, diam-diam memanipulasi keadaan, dan berupaya menjatuhkan Gendhis di kantor. Sindiran dan perkataan sarkasme Bintari, seolah dunia ini tidak cukup luas untuk dua orang wanita seperti mereka.
Pikiran tentang Bintari menyelinap dalam benaknya. Gendhis menghela napas panjang. “Dia hanya orang lain yang mencoba menekan tombolku. Tapi aku bisa memilih untuk tidak bereaksi,” gumamnya dalam hati. “Apa yang ia pikirkan tentangku? Mengapa semuanya terasa menjadi begitu pelik?” pertanyaan muncul tiba-tiba dibenaknya.
Ia menarik napas panjang, bersama langkah kakinya perlahan-lahan lalu mengeluarkan nafas dengan melambat, dengan perasaan yang lebih tenang. Seiring waktu dalam langkah-langkah pelan, ia menemukan ruang untuk merenung. “Aku tidak perlu jawaban dari mereka. Aku butuh kedamaian dalam diriku sendiri. Di sini, di rerimbunan mangrove.” gumamnya dalam hati.
“Tidak semuanya harus dihadapi dengan pertengkaran.” Dia ingat bagaimana ayahnya, Waskito, selalu menasihatinya untuk tetap tenang di tengah badai persoalan hidup. “Seperti pohon mangrove ini,” pikirnya lagi, sembari menatap akar-akarnya yang kokoh meski tumbuh di atas tanah berlumpur, “Aku harus tetap kokoh seperti akar-akar itu,” Gendhis menyakinkan dirinya.
Gendhis terus berjalan. Angin laut yang lembut menyentuh wajahnya, menyibakkan rambutnya, seolah menyapa, lalu menenangkannya. Dalam setiap langkah, ia berusaha memusatkan perhatian pada pijakannya. Ujung kanan sepatunya menginjak buah bakau, lalu ia pungut. Ia tahu, saat ini tak hanya soal berjalan, namun membiarkan pikirannya ikut melangkah tanpa terbebani apa pun.
“Mereka bisa berbicara apa pun tentangku. Karina bisa memfitnah, dan Bintari bisa terus menyebar kebencian. Aku punya kendali atas diriku. Aku memilih bagaimana meresponsnya,” bisik batinnya. Ia kembali menarik napas, merasakan oksigen mengisi ruang paru-parunya. Ada perasaan lega di sana, seperti beban perlahan terangkat, dibawa oleh uap laut mengangkasa.
Langit di atas perlahan cerah, semburat biru mulai menggantikan warna kemerahkuningan. Gendhis melanjutkan langkahnya, lebih mantap dari sebelumnya. Ia merasakan seberapa beban persoalan, tergantung bagaimana hati memenejnya. Silent walking ini membawa kekuatan baru untuknya. Di sini, jauh dari hiruk-pikuk kota, ia bisa mendengar hatinya sendiri di hening mangrove.
“Aku tidak bisa mengubah apa yang orang lain pikirkan tentangku. Tapi aku bisa memilih bagaimana aku bereaksi,” renungnya. “Aku bisa tetap berdiri kokoh, seperti pohon-pohon mangrove ini. Mereka tidak memilih tempat yang mudah untuk tumbuh, tapi mereka tetap bertahan, menyaring air yang datang, berdiri meski akar-akarnya terlihat terpapar,” lanjutnya.
Jogging track kayu yang dilaluinya kini mengarah ke titik pandang yang lebih jauh, di mana pohon-pohon mangrove seakan mulai membuka diri, memperlihatkan hamparan laut yang tenang di kejauhan. Ombak kecil berkilau di bawah sinar matahari yang mulai naik lebih tinggi. Gendhis berhenti sejenak, membiarkan pemandangan itu meresap ke dalam pandangya.
Gendhis melangkah kembali ke jalur kayu, merasakan sejuknya angin yang membelai wajahnya. Hatinya lebih ringan, pikirannya lebih tenang. Ia tahu, begitu ia kembali ke dunia nyata, komentar orang-orang seperti Karina dan Bintari mungkin akan terus bergema di belakangnya. Fitnah, gosip, dan sindiran mungkin masih ada. Namun, pagi ini telah memberinya kekuatan baru.
Sambil menatap jauh ke arah pepohonan mangrove yang berdiri kokoh, ia mengguman dalam hati. “Biarkan orang lain ngomongin apa di belakang aku,” bisiknya dalam hati. “Yang penting, aku nggak punya penyakit hati,” lanjut gumannya sembari melemparkan jauh-jauh ke depan dengan sekuat tenaganya buah bakau yang ia pungut tadi.
Langkahnya semakin ringan, seiring dengan hilangnya kabut di udara. Minggu pagi ini bukan hanya soal menghabiskan waktu, tetapi tentang menemukan kembali dirinya yang tenang di tengah badai hidup. Dalam keheningan hutan mangrove, Gendhis tahu bahwa apa pun yang akan terjadi, ia akan selalu punya ruang untuk bernafas, untuk melangkah dengan keyakinan.
Dalam keheningan pagi, bukan terperangkap dalam sepi. Di tengah bisikan angin, dalam harmoni alam, jiwanya menemukan ruang. Langkah-langkah kecil membawanya jelajahi kedalaman ruang hati yang jarang tersentuh. Di antara akar-akar bakau dan riak air, bukan kesepian menghampiri Gadhis, melainkan kekuatan bangkit perlahan, bak cahaya fajar perlahan menembus kabut.
“Melebur diri bersama alam seperti mengumpulkan serpihan ketenangan yang sempat tercecer. Aku temukan bukan lelah, namun daya untuk melangkah lebih tegar, lebih yakin, menghadapi dunia yang penuh hiruk-pikuk,” sembari mengelap peluhnya yang meleleh di wajahnya, Gendhis meninggalkan rerimbunan wisata hutan mangrove yang hening, yang membeningkan hatinya.
Featured image by:
neuralwriter.com/id/image-generator-tool/
Disclaimer:
Cerita pendek (cerpen) ini hanya sebuah karya berdasarkan fiksi, jika ada nama tokoh, tempat, dan kejadian yang sama itu hanya kebetulan belaka.
Bersambung