…………………………….
Surabaya.
Di manakah kau sembunyikan
Pahlawanku?
Demikian akhir bait dari puisi “Surabaya” karya Mustofa Bisri yang dibacakan oleh “Tyok” atau Sulistyono, seorang pelukis dan diiringi lagu “Gugur Bunga” dari alunan biola gesekan piawai oleh Arul Lamandau, seorang Violinis sekaligus pelukis. Pembacaan puisi sebagai pembuka teatrikal “Proklamasi POLRI” mampu menghipnotis seluruh penonton di Taman Surya, Balai Kota Surabaya, Senin (1/7/2024) pagi.
Puisi “Surabaya”, karya sastra yang mengangkat semangat perlawanan dan keberanian dan semangat juang warga Surabaya dalam menghadapi invasi tentara Sekutu pada Pertempuran Surabaya 1945. Puisi ini menggambarkan keberanian dan semangat juang para pejuang Surabaya yang siap melawan kezaliman dan menjaga harga diri serta kemerdekaan.
Saat pendudukan Jepang di Indonesia 1942, Polisi Istimewa adalah kesatuan khusus yang dibentuk oleh tentara Jepang. Saat pendudukan tersebut, Gedung SMAK St. Louis 1 Surabaya, semula bernama Broederschool, berada di Jalan Coen Boulevard No. 7 Soerabaia, direbut Jepang kemudian dijadikan markas Polisi Istimewa.
Gedung selain merupakan markas Tokubetsu Kaisatsu Tai atau Polisi Istimewa, Broederschool juga difungsikan sebagai asrama Keibodan sekaligus Sekolah Polisi Jepang Futsuka. Gedung SMAK St. Louis 1 Surabaya terkait perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia mempunyai peran penting. Yakni, di gedung ini pula untuk pertama kalinya Bendera Merah Putih berkibar di Surabaya.
Satrio Sudarso, Ketua Roode Brug Soerabaia sekaligus sutradara teatrikal, menuturkan bahwa saat Indonesia merdeka, informasi proklamasi sangat terbatas lantaran Jepang menyensor ketat siaran radio yang ada. Namun, M Jasin berhasil memperoleh berita tersebut melalui anak buahnya, Nainggolan, pada tanggal 18 Agustus 1945. Saat itu M.Jasin adalah Inspektur Tk.I serta pelatih kestuan militer Jepang lainnya.
“Arus informasi pada masa itu tak semudah seperti saat ini. Jepang saat itu sangat ketat menyegel radio-radio yang menyiarkan berita tentang kemerdekaan Republik Indonesia,” tutur Satrio Sudarso usai pentas teatrikal, Senin (1/7/2024).
Nainggolan dan rekannya Sugito, lanjut Satrio Sudarso, nekat mengibarkan bendera Merah Putih setelah mendengar berita tentang kemerdekaan. Pengibaran bendera mereka lakukan pada tanggal 19 Agustus 1945. Pihak Jepang mengetahui pengibaran bendera tersebut, seketika itu juga pimpinan pasukan Jepang murka dan langsung menempeleng dan memaki-maki Nainggolan dan Sugito.
“Dengan nada geram, pimpinan Jepang langsung memerintahkan menaikkan lagi bendera Jepang di balkon markas Tokubetsu Kaisatsu Tai tersebut,” lanjut Satrio Sudarso.
Masih menurut Satrio Sudarso, Nainggolan dan Sugito marah, merasa harga dirinya direndahkan. Mereka lantas menggerakkan sesama temannya, pasukan Polisi Istimewa yang berkebangsaan Indonesia, untuk merununkan kembali bendera Jepang. Beramai-ramai sambil mengacungkan senjata dan menggotong tangga, Nainggolan dan Sugito dibantu dua orang temannya naik tangga ke balkon, kemudian mengganti bendera Jepang dengan bendera Merah Putih kembali.
“Bersamaan itu, para pemuda kampung Dinoyo pun menjaga sekitar tiang bendera. Melihat aksi ini, pihak Jepang tak berkutik dan hanya membiarkan aksi para pemuda tersebut. Saat itu Jepang sudah kalah perang, sudah menyerah, secara moral telah runtuh. Akhirnya bendera Merah Putih tetap berkibar di tempatnya,” tambahnya.
Lebih lanjut Satrio Sudarso menambahkan, usai peristiwa tersebut pemuda Dinoyo mengirim utusan untuk menghadap kepada M Jasin. Tujuannya agar Tokubetsu Keisatsu Tai menolak untuk dilucuti seperti yang terjadi pada PETA (Pasukan Pembela Tanah Air) dan kesatuan militer lainnya. Kemudian saat itu Inspektur Polisi Tk I M Jasin lantas mengundang beberapa anggotanya.
Adapun mereka yang diundang, yakni Pembantu Inspektur Polisi Tk I Soetarjo, Komandan Polisi Surip, Komandan Polisi Abidin, dan Komandan Polisi Musa. Mereka memutuskan untuk menahan petinggi Jepang Sindokan Takata dan Fuku Sindokan Nishimoto. Tak hanya itu, gudang senjata hingga kendaraan tempur milik Jepang juga dikuasai, tambahnya.
Tanggal 21 Agustus 1945 apel dilaksanakan, tambahnya, dan dihadiri tak kurang dari 250 pasukan. Saat itu Nainggolan kembali mengibarkan Bendera Merah Putih. Waktu itu, M. Jasin langsung membacakan Proklamasi Polisi, yang notabene sebagai lahirnya pasukan baru bernama Polisi Republik Indonesia (Polri). Lalu, sejumlah pasukan Polri itu melakukan unjuk kekuatan dengan cara konvoi di Jalan Tunjungan.
“Untuk menggugah memori kolektif masyarakat tentang perjuangan kesatuan pimpinan M. Jasin, nama jalan Jalan Coen Boulevard No. 7 Soerabaia diubah menjadi Jalan M. Jasin Polisi Istimewa,” pungkas dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Drama treatikal “Proklamasi POLRI” sebagai acara tambahan yang disuguhkan oleh Roode Brug Soerabaia didukung pula oleh komunitas CAK Karang Taruna Kedung Klinter Surabaya, Karang Taruna Karang Tembok Surabaya, Violinis Arul Lamandau, dan Tyok, pembaca puisi “Surabaya” karya Mustofa Bisri, yang dikenal dengan Gus Mus, serta tampilan apik oleh Sanggar Tari Pandu Siwi sebagai closing teatrikal.
Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-78 Bhayangkara Tahun 2024, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dengan mengusung tema “Polri Presisi Mendukung Percepatan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas.” Upacara Hari Bhayangkara dipimpin oleh Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Pasma Royce, dan digelar di Taman Surya, Balai Kota Surabaya.
Peserta upacara HUT Ke-78 Bhayangkara terdiri atas jajaran anggota Kepolisian dan TNI, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), dan jajaran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, serta berbagai elemen masyarakat, dan para tamu undangan.
Kombes Pol Pasma Royce dalam kesempatan tersebut membacakan amanat Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Imam Sugianto. Dalam amanatnya, ia menyampaikan bahwa Polri sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, memiliki peran strategis untuk mendukung percepatan ekonomi berkelanjutan.
Tanggal 1 Juli ditetapkan sebagai HUT Bhayangkara karena bertepatan dengan penerbitan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 Nomor 11/S.D. Tentang Polisi dan Djawatan Kepolisian. Penetapan pemerintah itu memiliki kaitan erat dengan sejarah POLRI.
Pada awalnya, Kepolisian berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara. Saat itu, tugas Polri hanya meliputi masalah administrasi, sedangkan untuk operasional menjadi tanggung jawab Jaksa Agung.
Kemudian, Presiden RI saat itu, Ir. Soekarno, dan Mendagri Dr. Soedarsono mengeluarkan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 Nomor 11/S.D. Penetapan Pemerintah tersebut terbit pada 25 Juni 1946 dan diberlakukan mulai 1 Juli 1946.
Setelah pemberlakuan Penetapan Pemerintah tersebut POLRI terpisah dari Kemendagri RI sehingga bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Sejak saat itu, tanggal 1 Juli ditetapkan sebagai HUT Polri atau HUT Bhayangkara.
Teatrikal “Proklamasi POLRI”
Dalam Rangkaian Tangkapan Mata Lensa




























































Tarian Merdeka
Diperagakan oleh Sanggar Tari Pandu Siwi Surabaya

















Foto Bersama
Jajaran Forkopimda Surabaya dan Foto Per Grup Talent




