Cerita Diangkat dari Kisah Nyata di Suatu Pagi
Ketika seseorang panik, otaknya lebih banyak dikendalikan oleh emosi ketimbang logika. Dalam kondisi ini, kemampuan berpikir jernih dan rasional berkurang, sehingga sulit untuk menganalisis situasi dengan tepat. Akibatnya, seseorang cenderung membuat keputusan yang kurang bijaksana atau bahkan fatal.
Pun, kepanikan acapkali mendorong seseorang untuk bertindak tanpa mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan tersebut. Ini karena dalam kondisi panik, seseorang cenderung bereaksi secara instingtif tanpa berpikir panjang. Meski terkadang reaksi spontan bisa menyelamatkan, dalam banyak kasus, tindakan tersebut justru dapat memperburuk keadaan.
“Boy, tuh foto-foto tracking di Mangrove Wonorejo sudah aku kirim ke handphone kamu!” seru Man saat Boy keluar kamar setelah selesai mandi di rumah karibnya itu.
Mereka bertemu tanpa sengaja di Mangrove Gunung Anyar pagi tadi. Boy memanfaatkan waktu sebelum kembali ke kantor siang nanti hanya untuk presensi, sementara Man gowes mengitari kawasan itu lantaran pagi tadi hujan, sehingga ia tak bisa jogging seperti biasanya.
Boy yang baru mengenakan kaus ganti, meraih tasnya dengan santai. Ia mengambil botol parfum, menyemprotkannya ke kaus, lalu merogoh tas untuk mencari sesuatu. Sejurus kemudian, ekspresi si Boy berubah. Ia mengeluarkan semua isi tasnya ke atas meja, memeriksa dengan saksama.
“Astaghfirullah…! Handphone-ku hilang! Mungkin jatuh!” ucapnya dengan nada panik. “Tadi aku terakhir pakai waktu Man berhenti buat matikan Strava, terus ganti mode dari ‘walk’ ke ‘ride’. Itu di jalan dekat sekumpulan monyet, di kawasan Mangrove Gunung Anyar!” tambahnya.
Man segera mengecek pesan yang ia kirim tadi. “Waduh, foto terkirim, tapi cuma centang (v) satu. Mungkin ponselnya sudah di-off-kan. Rasanya barangnya sudah di tangan orang lain,” kata Man dengan nada cemas, tentu menambah kepanikan Boy.
Tanpa berpikir panjang, mereka berdua bergegas keluar, menyusuri kembali jalan yang tadi mereka lewati, dari rumah Man hingga ke kawasan mangrove. Pikiran Boy dipenuhi berbagai praduga. Bagaimana jika seseorang menemukannya dan tidak mengembalikan? Bagaimana jika data-data penting di dalamnya disalahgunakan?

Sampai di kawasan mangrove, mereka bertemu petugas parkir yang ditemani cewek cantik, mungkin pacarnya, mungkin bekas pacarnya yang sekarang jadi istri. Ketika Boy dan Man ambil sepeda, si cantik itu belum ada. Dengan harapan tipis, Boy menitipkan pesan, barangkali ada orang baik yang menemukan dan menyerahkan ponselnya.
Namun, setelah menyusuri jalan pulang dan menelusuri setiap kemungkinan, Boy mulai pasrah. Ia menghela napas panjang. “Yasudahlah, mungkin ini bagian dari ujian di bulan Ramadan. Aku ikhlaskan saja sebagai sedekah bila tidak ketemu,” ucap dalam benak Boy.
Man menepuk pundaknya. “Yang tabah, Boy,” hibur Man kepada Boy. Mereka pun kembali ke rumah Man, kali ini tanpa tergesa-gesa seperti saat berangkat.
“Boy, sebelum ini, pernah kehilangan handphone juga?” tanya Man saat mereka sudah duduk santai di ruang tamu setengah siang itu..
“Pernah,” Boy mengangguk. “Waktu itu aku ikut komunitas yang bikin film pendek tentang sejarah dr. Soetomo, di Kompleks GNI Surabaya. Handphone-ku aku charge di salah satu colokan, terus aku tinggal sebentar. Pas balik, sudah raib.”
Sambil berbicara, ia tanpa sadar memperagakan bagaimana ia dulu menaruh ponselnya di suatu colokan dengan tetap duduk di sofa, menggeser tubuh, dan menarik tangannya ke atas. Mendadak, dan gerakannya terhenti. Mata Boy membelalak.
“Lhooo…!” Ia menoleh ruang lain, ke arah meja kerja Man. “Handphone-ku tadi kan aku charge di colokan sisi kiri bawah meja kerja sebelum aku mandi!” sambil beranjak berdiri.
Tanpa menunggu jawaban, ia melompat kegirangan dan meraih perangkat kesayangannya. “Alhamdulillah, ternyata nggak hilang!” Sementara Man menatapnya dengan wajah datar. “Serius, Boy! Luh, iya. Kan tadi kamu izin minta nge-charge handphone kamu. Mengapa aku juga ikut lupa!” celetuk Man ikut kegirangan.
Sambil membawa handphone kembali ke ruang tamu, Boy hanya nyengir saja. Rasa malu sekaligus girang tak kepalang menyeruak di wajahnya. Kepanikan yang tadi menguasainya ternyata sia-sia belaka. “Alhamdulillah,” berkali-kali Boy ucapkan sebagai tanda syukurnya.

*
Di era digital seperti sekarang, ponsel bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga menjadi pusat penyimpanan berbagai data penting. Mulai dari nomor kontak, dokumen pekerjaan, foto penting, akses mBanking, hingga berbagai aplikasi yang mendukung aktivitas sehari-hari, semuanya tersimpan dalam perangkat pintar tersebut.
Tak heran jika kehilangan atau mengalami kerusakan pada ponsel bisa terasa seperti kehilangan sebagian besar aspek kehidupan, mengingat hampir setiap kebutuhan dan cerita hidup kini terhubung erat dengan piranti ini. Namun, panik bukanlah solusi. Bersikap menenangkan diri sejenak itu penting. Kadang, kehilangan hanya baru ada dalam pikiran kita seperti yang dialami Boy.