“Menarik mengkaji tentang pemaknaan diksi ini. Betapa banyak persoalan akhirnya bermunculan karena persepsi yang berbeda ketika memaknai sebuah diksi,” komentar Mbak Tya Roosinda pada postingan WA saya di WA grup Himpunan Pembina Bahasa (HPBI) Jawa Timur, Rabu (3/4/2024). Mbak Tya, biasa saya memanggilnya, seorang doktor lulusan terbaik, dosen, muda, dan cantik.
Energik pula. Sehingga segala sesuatu inginnya dilakukan dengan sat set. Beres. Tak suka klemar-klemer, kata orang Jawa. “Lho, sampeyan koq tahu?” barangkali ada yang bertanya demikian. Ya, tahu. Kebetulan kami sama-sama di kepengurusan HPBI Jawa Timur, tak lama organisasi yang secara vertikal di bawah naungan Badan Bahasa itu lahir, hingga kepengurusan 2024-2027.
Saya menggarisbawahi pernyataan Mbak Tya tersebut bahwa sangat penting memahami secara mendalam terhadap pemilihan diksi dalam komunikasi dengan siapapun. Ketika sebuah diksi digunakan dalam konteks komunikasi secara lisan atau tulis, mungkin bisa muncul persepsi yang berbeda terhadap makna, sehingga dapat menyebabkan kebingungan, memunculkan kontroversi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu, seperti yang diharapkan. Dalam hal ini, antara komunikator dan komunikan akan lebih mudah dalam menangkap atau memahami gagasan atau pesan yang disampaikan.
Sedangkan Gorys Keraf mendefinisikan bahwa diksi sebagai sebuah kemampuan untuk membedakan secara tepat nuansa makna dari gagasan yang disampaikan. Selain itu, diksi juga dapat berupa kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan nilai, situasi yang dimiliki oleh kelompok pendengar, pembaca dan masyarakat.
Dalam istilah komunikasi, orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator, dan orang yang menerima pesan disebut komunikan, sedangkan istilah pernyataan yang disampaikan disebut pesan. Untuk mencapai tujuan dari penggunaan diksi ini, maka komunikator harus mampu memilih diksi yang tepat dan lazim. Diksi yang tidak tepat dapat menyebabkan perbedaan persepsi.
Ketepatan pemilihan diksi dapat dipengaruhi oleh kemampuan pengguna bahasa yang berkaitan dengan kemampuan untuk menguasai, memahami, mengetahui dan menggunakan sejumlah kosakata. Maka, dalam hal ini diksi berfungsi sebagai bentuk ekspresi yang hadir dalam gagasan komunikator yang dituangkan dalam penuturan langsung dengan lisan maupun melalui tulisan.
Ekspresi merujuk pada sesuatu untuk memperlihatkan perasaan seseorang. Mengekspresikan perasaan, tidak hanya dapat ditunjukkan melalui mimik wajah saja, namun juga melalui kata-kata atau tulisan. Penggunaan diksi yang selaras dan tepat dapat membantu membangun imajinasi dari para pendengar dan atau pembaca ketika mendengarkan atau membaca pesan yang disampaikan.
Penggunaan Diksi dalam Kebijakan Pemerintah
Lebih-lebih jika diksi tersebut disampaikan oleh pemerintah dalam rangka menyampaikan keputusan atau kebijakan baru sehingga tak menimbulkan kegaduhan atau kontroversi. Jangan jika sudah terjadi kegaduhan publik baru muncul retorika dengan diksi-diksi yang diperhalus untuk membuat counter attack sebagai pembelaan diri.
Dalam menyampaikan “pesan” dalam hal ini kebijakan atau peraturan baru, pemerintah perlu memilih diksi atau pilihan kata yang tepat agar tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Di antaranya, perlu memilih kata-kata yang jelas maknanya dan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Misalnya menggunakan istilah-istilah dasar yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Untuk itu, seperti di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memiliki lembaga di tingkat pusat, yaitu Badan Bahasa, di tingkat provinsi ada Balai Bahasa, maupun organisasi Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI). Lembaga maupun organisasi tersebut bisa diajak bersinergi, khususnya tentang telaah diksi kebahasaan produk kebijakan sebelum ditetapkan atau diundangkan kepada publik.
Di samping itu, pemerintah perlu menjelaskan secara rinci tujuan dan manfaat yang diharapkan dari suatu kebijakan. Hal ini penting agar masyarakat paham dan mendukung kebijakan tersebut. Jika kebijakan yang berdampak luas, dapat mengatur waktu pelaksanaannya secara bertahap, misalnya melakukan uji coba terlebih dahulu di beberapa daerah sebelum dilaksanakan secara nasional.
Penting juga, pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara masif kepada masyarakat mengenai kebijakan baru tersebut. Sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai saluran seperti media massa, media sosial, dan penyuluhan langsung. Tujuannya agar masyarakat memahami secara utuh mengenai kebijakan tersebut sebelum diberlakukan sehingga tak terjadi respons yang pro maupun kontra, seperti yang terjadi pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024.
Tiga Kriteria Pemilihan Diksi
Dilansir dari Wikipedia, pemakaian bahasa yang dapat mengungkapkan gagasan, pendapat, pikiran, atau pengalaman secara tepat, harus memperhatikan kriteria pemilihan kata atau diksi. Tiga kriteria dalam pemilihan diksi yaitu ketepatan, kecermatan, dan keserasian.
Ketepatan
Ketepatan diksi, yakni mengomunikasikan gagasan berdasarkan pilihan kata yang tepat dan sesuai berdasarkan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pilihan diksi menghasilkan penafsiran atau pemaknaan yang tepat, tidak ambigu, dan tidak menyebabkan salah paham. Juga, menghasilkan respons komunikan sesuai harapan komunikator, serta menghasilkan target komunikasi yang diharapkan.
Kecermatan
Kecermatan dalam pemilihan kata berhubungan dengan penggunaan kata yang diperlukan untuk mengungkapkan gagasan tertentu. Pemakai bahasa harus mampu menggunakan bahasa yang singkat sehingga menghemat penggunaan kata. Penggunaan diksi yang cermat akan mengurangi jumlah kata, tidak boros, sehingga tulisan menjadi ringkas dan tidak ada kata yang bersifat mubazir.
Keserasian
Keserasian dalam diksi berkaitan dengan kesesuaian penggunaan kata-kata yang sesuai dengan konteks pemakaiannya, berkaitan dengan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan yakni kesesuaian kata dengan konteks kalimat dan penggunaan bentuk gramatikal, penggunaan idiom dan kata yang lazim. Sedangkan faktor nonkebahasaan yang berkaitan dengan diksi yaitu situasi pembicaraan, mitra bicara, sarana, kelayakan tempat, waktu dan suasana.
*
Pada ujungnya, jika kriteria pemilihan diksi tersebut dipenuhi ketika menyampaikan pesan, maka akan kecil sekali kemungkinan pesan yang disampaikan komunikator, entah itu individu, lembaga maupun pemerintah kepada komunikan yakni pendengar, pembaca, atau masyarakat akan menimbulkan kegaduhan. Maka, pemilihan diksi yang tepat, cermat, dan serasi itu menentukan efektivitas dan kualitas dalam berkomunikasi lantaran ketepatan pemaknaan diksi oleh komunikan.