Sebuah Renungan di Kala Santai sembari Menyruput Hangatnya Kopi
“Sementara banyak yang sibuk menumpuk milik yang bukan haknya, aku memilih menghirup udara bebas dan membiarkan alam mengisi jiwaku. Tenang itu bukan soal apa yang kita punya, tapi apa yang tak lagi kita kejar.” Jodilee Norma Warwick (@jodileewarwick), seorang Model, Presenter, Make Up Artist, juga Penyanyi.
Pernyataan cerdas Jodi, panggilan akrabnya, itu menggugah kesadaran kita akan makna hidup yang sejati. Di tengah dunia yang sibuk mengejar kekuasaan, harta, dan pengaruh, ada jiwa-jiwa yang justru menemukan kedamaian dalam keheningan kehidupan berbaur alam, dalam kesadaran bahwa hidup tak selalu tentang memiliki, melainkan tentang menghargai.
Saat sebagian manusia sibuk menimbun kekayaan hingga lupa batas, sebagian lain memilih bernafas selaras dengan alam, menyadari bahwa cukup itu lebih dari cukup. Padahal realitas akhir-akhir ini menunjukkan betapa banyak orang, terutama yang diberi kuasa, terjebak dalam hasrat tak bertepi, dan menepikan orang-orang yang tak semisi demi memperkaya diri.
Yakni, ada korupsi, tanah dirampas, alam dieksploitasi, dan hak hidup tumbuhan dan hewan dikebiri. Semua demi satu hal, yakni atas nama pertumbuhan ekonomi, padahal untuk kaya diri. Bumi ini rumah bersama makhluk lain, mereka lupa bahwa kita sejatinya hanyalah tamu di bumi ini, dan ibarat sekadar ‘mampir ngombe’. Maka, ini saatnya kita bertanya, sudahkah kita menjadi tamu yang tahu diri?
Keserakahan Tutup Kepuasan
Keserakahan manusia tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari rasa takut kekurangan, dorongan untuk eksistensi diri, superioritas, sehingga sosok dirinya menjadi orang sukses, berkuasa, dan yang menguasai. Di sinilah ada kesempatan luas, dan lahirlah budaya rakus dan serakah demi menimbun kekayaan, menghalalkan segala cara, memutarbalikkan fakta, kadang mengkriminal sesama.
Sayangnya, kerakusan itu tak datang sendirian. Ia membawa kerusakan, ketimpangan, dan penderitaan, tak hanya bagi manusia namun bagi makhluk hidup yang lain. Hutan dibabat, sungai tercemar, laut dipenuhi limbah, udara berpolutan. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin terpinggirkan. Pun hewan dan tumbuhan kehilangan ruang hidupnya. Mereka lupa, bumi tak hanya milik manusia semata.
Ada gambaran nyata saat ini, sampai-sampai sahabat saya, Aries Prasetya, turut mengomentari “a lonely tree” yang ikonik di lahan kosong selatan Gedung Universitas Terbuka Surabaya,samping timur MERR Pandugo: bahwa di balik semangat Idul Adha 1446 H., tersembunyi keserakahan para pedagang hewan qurban. Satu-satunya pohon yang tersisa di lokasi, telah berdiri puluhan tahun, kini tumbang ditebang, ujarnya.
“Pohon terakhir, yang menjaga estitika di lingkungannya kala matahari terbit, yang telah diabadikan puluhan pehobi foto, seolah menjadi simbol perlawanan terhadap keserakahan yang tidak peduli dengan keindahan alam dan hak hidup sebatang pohon. Demi perluasan lahan untuk berjualan mereka, “a lonely tree” akhirnya tumbang juga,” pungkas Pak Guru Mapel Sejarah di SMA Negeri 22 Surabaya, Rabu (14/5/2025) pagi.


Bumi Rumah Bersama
Alam, berupa bumi dengan seisinya ini adalah rumah bagi jutaan spesies, tempat hidup bersama dalam harmoni yang telah terjaga sejak zaman dahulu. Tapi manusia datang dengan segala ambisinya, menabrak keseimbangan itu demi kepentingan sendiri. Dengan dalih pembangunan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi, mereka tak ragu merusak ekosistem yang seharusnya dijaga.
Padahal, seandainya mereka mau sedikit menunduk dan merenung, mereka akan sadar bahwa alam selalu memberi tanpa pamrih. Udara, air, tanah, cahaya matahari, semua tersedia agar dikelola untuk kemakmuran bersama. Tapi saat manusia mulai serakah, semua itu berubah jadi komoditas. Diukur, dibatasi, dan dijual demi keuntungan untuk mereka sekelompok orang. Kaum tak mampu, entahlah nasibnya!
Hidup dengan Sikap Bijak
Ketamakan tumbuh dari keinginan hidup bermewah-mewah. Tak heran jika banyak yang memilih untuk menguasai lebih banyak lahan, mengambil lebih banyak hak, bahkan merebut bagian yang bukan untuknya. Sebaliknya, orang yang tidak lagi mengejar segalanya, adalah orang yang telah menemukan cukup dalam hidupnya. Ia tahu apa yang dibutuhkan, bukan mengumbar keinginan.
Mengambil secukupnya dari bumi, menjaga keseimbangan, serta berbagi ruang dengan makhluk lainnya bukan tanda kelemahan, tetapi wujud sikap bijak demi penghormatan terhadap kehidupan. Sayangnya, banyak yang merasa perlu menimbun, padahal semua yang ditimbun itu kelak takkan pernah dibawa di liang lahat. Sementara itu, kerusakan yang ditinggalkan bisa berlangsung lintas generasi.
Tamu yang Tahu Diri
Tak perlu menunggu menjadi pejabat, aktivis, atau pengusaha besar untuk menjaga bumi. Nyatanya tak sedikit dari mereka malah lupa diri. Maka. cukup mulai dari diri sendiri. Ambil secukupnya dari alam, manfaatkan seperlunya, dan kembalikan sisanya dengan hormat. Pilih gaya hidup yang ramah lingkungan, dukung produk lokal yang berkelanjutan, dan sebarkan kesadaran ini kepada sekitar.
Mari belajar menjadi tamu yang tahu diri. Yang datang dengan hormat, tinggal dengan tenang, dan pulang tanpa meninggalkan luka. Bumi bukan tempat untuk ditaklukkan, bukan rumah semena-mena tak dipelihara, sebaliknya adalah rumah yang harus dijaga agar lestari. Warisan ini bukan hanya untuk kita, pun untuk anak cucu yang kelak menjejakkan kaki di bumi yang sama.
Maka berhentilah mengeksploitasi kekayaan bumi ini sebanyak maumu, sejatinya kekayaan yang kamu keruk dari bumi ini, yang kamu ambil atas kekuasaanmu, tak menjamin kamu cukup tenang. Sebagaimana kata Jodi, “Tenang itu bukan soal apa yang kita punya, tapi apa yang tak lagi kita kejar.”
“Kita bukan pemilik bumi ini, kita hanya tamu. Maka bersikaplah sebagaimana tamu yang tahu diri. Ketika manusia sudah lupa diri, Tuhan melalui alam mengingatkan dengan cara-NYA sendiri, yang tak bisa kita tawar-tawar. Bencana! Naudzubillahi min dzalik.” (Ali Muchson)
