(Bersambung dari Cerpen: âDi Batas Keraguan, Ada Benih Yang Mulai Tumbuhâ) #4
Hari itu, suasana kantor terasa lebih lengang dari biasanya. Jam dinding menunjukkan jelang pukul lima sore, sebagian besar rekan kerja Gendhis sudah mulai berkemas untuk pulang. Kang Giman, salah satu office boy kantor, juga mulai matikan lampu di ruang-ruang yang sudah kosong. Di luar, cahaya jingga kekuningan mengiringi matahari menembus garis cakrawala.
Gendhis masih duduk di mejanya. Tampak matanya lelah, namun jemarinya tak berhenti menekan tuts keyboard, menyelesaikan draft akta notaris yang sudah mendekati tenggat waktu. Belakangan ini ia merasa lebih berat dari biasanya. Bukan lantaran volume tugas, karena perhatian yang mulai terpecah. Akhir-akhir ini ada sesuatu terasa ganjil antara dirinya dengan Prasodjo.
Sementara di sudut lain, Prasodjo duduk diam terpaku, sesekali curi-curi pandang, menatap ke arah Gendhis yang tampak masih sibuk. Di dalam hati, Prasodjo merasakan sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Keraguan yang ditanamkan oleh Karina beberapa minggu terakhir ini, dalam percakapan singkat di café suatu petang, terus menghantui pikirannya.
âGendhis itu nggak tulus sama kamu, Jo!,â ucapan Karina waktu itu begitu jelas teringat, melayang-layang di benaknya. âDia cuma mau manfaatin kamu. Dia tahu kamu karyawan senior yang dipercaya pimpinan, dan dia ingin dekat kamu supaya programnya magang sebagai calon notaris lancar. Dia itu tidak tulus!â ucapan miring tentang Gendhis ini menggangu kesehariannya.
Sebenarnya Prasodjo bukan tipe orang yang gampang percaya sebelum membuktikan sendiri, tetapi perkataan Karina seakan jadi bola panas yang membakar kegusarannya. Seiring waktu, melihat sikap Gendhis yang lebih sering tenggelam dalam pekerjaan, perhatian yang semakin berkurang kepadanya, semuanya membuat Prasodjo makin bertanya-tanya.
âApa benar ucapan Karina? Apa benar Gendhis hanya mendekati aku demi keuntungan pribadi? Apa benar ia tidak tulus?â pertanyaan-pertanyaan yang silih berganti, bersliweran di otaknya membuat keraguannya itu terus menggantung, dan semakin membesar seperti awan gelap yang sebentar lagi hendak menjadi hujan badai.
âGendhis, â suara Prasodjo akhirnya memecah keheningan, meski suaranya sedikit bergetar. Ia tahu, jika ia tidak menghadapinya sekarang, perasaan ini akan terus menggerus hati di hari-harinya. Gendhis menghentikan ketikannya, lalu menoleh ke arah Prasodjo dengan tatapan mata yang tampak lelah, âIya, Mas? Ada apa?âjawabnya pelan.
Prasodjo menatap Gendhis dengan sorot mata yang dalam, namun terbelit oleh berbagai emosi dan keraguan, âAku perhatiin, akhir-akhir ini kamu sibuk banget, ya? Kita jarang ada waktu sekadar buat ngobrol atau makan siang bareng di kantin bawah.â Gendhis tersenyum tipis, lalu melepas kacamatanya dan menyandarkan tubuhnya di kursi.
âIya, deadline-nya gila-gilaan. Kan, Mas tahu!â Itu yang menyita waktu, bahkan sering nggak sadar sudah hampir malam saat selesai. Aku jadi jarang punya waktu untuk hal-hal lain.â jawab Gendhis sembari mengemasi meja dan men- shut down laptopnya. Prasodjo merespons dengan anggukan pelan, âIya, aku ngerti. Cuma, aku merasa ada sesuatu yang berbeda belakangan ini.â
Sejenak Prasodjo memandang Gendhis, menimbang-nimbang kalimat apa yang akan keluar dari mulutnya, “Gimana kalau kita ngopi bareng waktu pulang? Udah lama kita nggak jalan bareng.” Gendhis terlihat sedikit terkejut, namun tidak ada upaya untuk menolak, “Boleh, aku juga butuh break sejenak dari kepenatan hari ini. Mau di cafĂ© yang biasa, kan?” Prasodjo mengangguk lega.
*
Langit senja telah merayap menuju gelap ketika mereka tiba di café langganan yang sering mereka datangi selepas kerja. Lampu-lampu gantung memberikan suasana hangat, membawakan kontras dengan udara dingin di luar berasal dari desiran angin. Aroma kopi, suara mesin espresso, dan alunan musik instrumental menjadikan latar suara menjadi melankolis.
Mereka duduk di sudut cafĂ©, tempat favorit mereka, dekat jendela yang menghadap ke jalan. Gendhis memesan cappuccino, sedangkan Prasodjo, seperti biasa, memilih espresso. “Sibuk banget ya akhir-akhir ini?” tanya Prasodjo membuka obrolan, mengulang kalimat yang diucapkan di kantor tadi. Gendhis mengangguk sambil menyeruput cappuccino-nya.
“Iya, ada beberapa kerjaan yang memang butuh perhatian lebih. Kadang sampai nggak terasa waktu berlalu begitu cepat,” jawaban Gendhis dengan ekspresi datar. Gendhis menatap Prasodjo dengan tatapan tampak gusar, “Oh, maaf, bukan maksudku menjauh atau gimana. Cuma ya, pekerjaanku benar-benar menyita waktu. Aku pikir kamu juga paham, Mas,” lanjutnya.
Prasodjo terdiam sejenak, menimbang setiap kata yang keluar dari mulutnya, “Aku ngerti koq. Cuma, aku merasa ada yang berubah akhir-akhir ini.” Gendhis mengerutkan keningnya, “Maksud kamu?” Prasodjo menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Beberapa waktu lalu, aku sempat ngobrol dengan Karina. Dia bilang sesuatu tentang kamu. Jujur, bikin aku ragu.”
Gendhis tampak bingung, “Apa yang dia bilang?” desak Gendhis. “Dia bilang, kamu cuma deketin aku karena ingin memanfaatin aku sebagai senior demi kelancaran magangmu,” Prasodjo akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini membebaninya, âAku nggak tahu harus percaya atau nggak, tetapi itu sempat bikin aku mikir berkepanjangan,” tegas Prasodjo.
Gendhis duduk lebih tegak, ekspresi di wajahnya berubah dari bingung menjadi marah, “Kamu serius, Mas? Kamu benar-benar mikir aku bisa melakukan seperti itu?” tanyanya, nadanya penuh kekecewaan. CafĂ© yang sebelumnya mereka pilih untuk bersantai, mengurai suasana akrab yang sempat terhenti, kini terasa seperti ruangan yang terlalu sempit, menghimpit mereka.
Suasana yang tadinya hangat dengan canda tawa kini berubah tegang. Ketegangan itu terasa menyebar ke seluruh ruangan, seolah-olah setiap napas yang mereka hembuskan semakin menyesakkan jarak di antara mereka. Prasodjo menunduk, merasa bersalah, namun ketidakpastian yang melingkupinya sejak mendengar ucapan Karina sulit diabaikan.
Wajah Gendhis berubah serius. Ia meletakkan cangkir cappuccino-nya dan menatap Prasodjo dengan pandangan tajam, “Mas, aku nggak tahu dari mana Karina berkata begitu, tapi kamu harus tahu, aku nggak pernah, dan nggak akan pernah melakukan tuduhan semacam itu.” Prasodjo menunduk, merasa bersalah karena meragukan ketulusan Gendhis.
“Aku tahu, aku seharusnya nggak langsung percaya, tetapi ucapan Karina bikin aku bimbang,” jawab Prasodjo. âKamu bener-bener nggak kenal aku ya, Mas? Kalau aku sibuk, itu karena aku punya tanggung jawab, bukan karena ada niat lain,â Gendhis bicara dengan nada suara yang lebih tegas. âKalau aku perhatian sama kamu, itu bukan karena posisimu. Kamu tahu itu,â sergahnya.
Prasodjo menelan ludah, merasakan rasa bersalah yang semakin besar, âAku tahu, tetapi aku cumaâŠ.â Saut Gendhis, âKamu cuma apa? Merasa nggak percaya? Atau kamu lebih percaya sama Karina daripada aku?â potong Gendhis, suaranya mulai meninggi, âAku kecewa, Mas. Aku nggak menyangka kamu bisa berpikir kayak gitu.â Sembari menggeser cangkirnya.
Perkataan Gendhis menghantam Prasodjo seperti tamparan keras. Ia menunduk, merasa tak mampu menatap wajah Gendhis yang memerah penuh dengan kekecewaan. Dalam diam, ia merasa segala ketidakpastian dan keraguannya mulai memudar, digantikan oleh penyesalan yang jauh lebih mendalam. Menyesal.
âKamu benar, Gendhis,â akhirnya Prasodjo berkata dengan suara serak. âAku terlalu mudah terpengaruh. Aku seharusnya percaya sama kamu, bukan sama orang lain. Karina.â Gendhis menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia memandang keluar jendela, ke arah jalanan yang masih padat lalu lalang kendaraan.
âAku paham kalau kamu ragu, Mas. Tetapi aku harap kamu bisa lebih kenal aku daripada sekadar mendengar omongan orang,â suara lirih Gendhis. Prasodjo mengangguk pelan, merasa hatinya semakin terkoyak, âMaaf, Gendhis. Aku nggak punya alasan buat ragu sama kamu. Aku cuma takut kehilangan kamu. Sesuatu yang penting bagi hidupku.â Prasodjo mengiba.
Gendhis memandang Prasodjo dengan tatapan tampak lebih dingin, meski rasa kecewa masih jelas terlihat di matanya, âAku harap kamu nggak terlambat menyadari apa yang penting buat kamu, Mas!â Suasana di antara mereka mendadak jadi hening. Suara mesin espresso, suara alunan musik, dan gelak tawa para pengunjung membekukan pembicaraan mereka.
Setelah beberapa saat kebekuan yang penuh dengan perasaan campur aduk itu cair, Gendhis berdiri dari kursinya, âKita udah ngomong banyak malam ini. Mungkin kita sama-sama butuh waktu buat mikir, Mas.â ucap Gendhis bernada marah. Prasodjo hanya bisa mengangguk, tak tahu harus berkata apa lagi. Gendhis berjalan menuju pintu, meninggalkan Prasodjo sendirian.
Di luar, di depan pintu pagar cafe tampak seorang abang Gojek sedang menunggu, diam-diam Gendhis telah memesannya di tengah berkecamuknya pembicaraan tadi. Detak jantung Prasodjo makin berdebar, seiring dengan langkah kaki Gendhis makin menjauh. Prasodjo menatap kosong cangkir kopinya yang sudah setengah kosong, tangan kanannya masih menggenggam erat gagangnya.
Pikiran Prasodjo berkelana, memutar kembali percakapan Gendhis. Tatapan tajam Gendhis, kata-katanya yang menusuk, semua terus bergema di setiap sisi ruang benaknya. Prasodjo tahu ia salah, tetapi kesalahan itu sudah terlanjur terucap. Dan sekarang, ia hanya bisa berharap, semoga tidak ada yang benar-benar hilang.
Malam semakin larut, pengunjung cafĂ© semakin berkurang, pun cafĂ© segera tutup. Pramusaji kini mulai sibuk merapikan meja-meja yang sudah ditinggal pelanggan. “Aku harap kamu nggak terlambat menyadari apa yang penting buat kamu, Mas!” Dengan langkah gontai, Prasodjo segera keluar dari cafĂ©, meski pikirannya terus melayang-layang teringat kata-kata Gendhis tadi.
Featured image by:
neuralwriter.com/id/image-generator-tool/
Disclaimer:
Cerita pendek (cerpen) ini hanya sebuah karya berdasarkan fiksi, jika ada nama tokoh, tempat, dan kejadian yang sama itu hanya kebetulan belaka.
Bersambung