Otak Berdialog: Mengapa Baca Buku Tak Tergantikan oleh TikTok dan Film?

Otak Berdialog: Mengapa Baca Buku Tak Tergantikan oleh TikTok dan Film?
Share this :

Petang, jelang Magrib tadi (11/4), saya dapat kiriman via whatsapp dari Pak Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaja Tempo Dulu, Gresik Tempo Doeloe, Malang Tempo Doeloe, Sang Penari, dan lain-lain, sebuah poster yang isinya quote inspiratif tentang membaca buku dari Karlina Leksono Supelli atau lebih dikenal Karlina Supelli, seorang filsuf dan astronom perempuan pertama dari Indonesia.

Lantaran waktu salat Maghrib tiba, saya baca sekilas lalu bergegas menunaikan salat Maghrib dahulu. Usai salat Maghrib saya koq ‘kepo’ dengan poster tadi, lantas saya baca ulang dan cermati kalimatnya. Ternyata sangat inspiratif. Lantas saya balas whatsapp Pak Dukut Imam Widodo, sembari minta izin untuk mencoba menginterpretasi dan mengembangkan dari kutipan Karlina Supelli tersebut menjadi sebuah tulisan.

*

Otak Berdialog: Mengapa Baca Buku Tak Tergantikan Oleh TikTok Dan Film?
Kiriman via whatsapp dari Pak Dukut Imam Widodo

Di era digital yang serba instan ini, kita dibanjiri oleh konten cepat dan mudah dicerna: video pendek TikTok, film, podcast, infografis, meme hingga serial yang bisa ditonton secara maraton. Semua terasa serba cepat, padat, dan menyenangkan. Namun di tengah arus deras tersebut, filsuf dan astronom Karlina Supelli memberi pernyataan yang menggelitik kesadaran kita:

“Baca buku itu tidak bisa digantikan dengan TikTok dan nonton film. Karena kerja otak hanya bisa dilatih tajam kalau otak berdialog (yaitu dengan baca buku),” Karlina Supelli .

Pernyataan ini bukan sekadar nostalgia akan budaya membaca buku di masa lalu sebagai sumber utama untuk memperoleh pengetahuan, informasi, dan hiburan, namun suatu peringatan bijak tentang bagaimana cara kerja otak kita, bagaimana kita seharusnya merawatnya, dan apa yang akan hilang jika kita meninggalkan membaca buku?

Latihan Terbaik untuk Otak

Ketika membaca buku, kita tidak hanya menerima informasi secara pasif. Otak kita justru diajak berdialog. Setiap paragraf yang kita baca memicu pertanyaan, membentuk pemahaman, memicu imajinasi, dan sering kali menggugah emosi. Proses inilah barangkali yang dimaksud Karlina Supelli sebagai dialog internal, yaitu proses berpikir kritis dan reflektif yang membuat otak kita semakin tajam.

Sebaliknya, saat menonton video TikTok atau film, umumnya adalah proses pasif, lantaran informasi disajikan dalam bentuk visual dan audio yang sudah diproses. Tak banyak ruang bagi imajinasi untuk dilibatkan, otak kita lebih banyak menerima daripada mengolah. Meski menyenangkan, namun kiranya tak cukup untuk mempertajam daya pikir secara mendalam.

Bukan Sekadar Sarana Informasi

Video pendek dan film bisa memberikan pengetahuan, bahkan inspirasi, tetapi acapkali bersifat dangkal dan cepat dilupakan. Namun, membaca buku memberikan lebih dari itu, yakni kedalaman berpikir dan bernalar. Membaca buku mendorong kita untuk merenung, menelusuri argumen, mempertimbangkan sudut pandang, dan memahami wawasan maupun pengetahuan dengan lebih utuh.

Misalnya, membaca novel yang ditulis dengan gaya naratif kompleks membuat kita belajar memahami perasaan, motivasi, dan konflik manusia. Membaca buku agama mengajak kita menembus batas pemikiran sehari-hari dan menuntun cara pandang kita terhadap ketuhanan. Ini semua tidak bisa diperoleh secara instan, namun semua itu bagian dari kerja otak yang sehat dan terasah.

Sebuah Keberanian di Era Serba Cepat

Di tengah arus budaya serba instan dan cepat, meluangkan waktu untuk membaca buku adalah keberanian dan tindakan yang kontra-arus. Membaca buku membutuhkan kemauan, konsentrasi, ketekunan, dan kesabaran. Namun justru itulah yang dibutuhkan saat ini, yakni manusia yang tidak sekadar bereaksi, tetapi mampu merenung dan menganalisis.

Membaca adalah bentuk latihan olah pikir dan mental yang tak tergantikan. Ia membuat otak kita aktif, kritis, dan tajam. Seperti tubuh yang perlu olahraga agar tetap bugar dan sehat, otak pun butuh nutrisi dan tantangan intelektual untuk tetap tajam, dan membaca adalah salah satu bentuk latihan terbaiknya.

Mulai Kembali Kebiasaan Membaca

Mulailah dari hal kecil, seperti 10 menit membaca setiap hari. Pilih buku yang sesuai minat kita, mngkin buku fiksi, sejarah, biografi, agama, atau filsafat. Biarkan otak kita berdialog. Rasakan hasilnya setelah seminggu, sebulan, hingga setahun. Bukan hanya dalam cara berpikir, namun juga dalam ketenangan jiwa, kejernihan logika, dan keluasan wawasan.

Kiranya Karlina Supelli tidak sedang menyalahkan kemajuan zaman. Ia hanya mengingatkan kita, jangan sampai kecanggihan teknologi menggerus salah satu aktivitas paling mendasar dan paling penting dalam peradaban manusia yang tergolong aktivitas ‘purba’, yakni membaca buku. Buku tak sekadar tumpukan kata. Ia adalah medan latihan untuk menjadi insan yang berpikir tajam dan bijak.

Tingkat Literasi Memprihatinkan

Dikutip dari https://www.rri.co.id/daerah/649261/unesco-sebut-minat-baca-orang-indonesia-masih-rendah, minat membaca buku di Indonesia dinilai masih sangat rendah. Faktanya UNESCO menyebut indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka 0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam laman resminya juga pernah merilis hasil Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara tentang minat membaca, berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Sementara itu, pada tahun 2022 PISA (Programme for International Student Assessment) menilai kualitas sistem pendidikan dengan mengukur hasil belajar yang esensial untuk berhasil di Abad ke-21 terkait literasi membaca, menunjukkan peringkat Indonesia naik lima posisi dibandingkan tahun 2018. Namun, score menunjukkan penurunan. Indonesia menduduki 11 peringkat terbawah dari 81 Negara yang didata.

Buku masih sangat relevan menjadi sumber belajar. Isi muatannya lebih terpercaya lantaran melewati beberapa tahap seleksi, editing, dan validasi, pun menyajikan akurasi data dan informasi secara komprehensif. Buku tak lagi hanya berupa buku cetak, ada juga buku elektronik atau e-book maupun jurnal hasil riset yang tersedia di berbagai platform.

*

Pada akhirnya, menumbuhkan minat membaca bukan soal banyaknya waktu luang atau panjangnya daftar buku. Ia bermula dari kesadaran yang tumbuh pelan-pelan bahwa membaca bukan sekadar kegiatan, melainkan kebutuhan merawat jiwa, menajamkan logika, dan berjalan lebih jauh dari batas dunia yang terlihat. Sebab, hanya dengan membuka halaman demi halaman, sesungguhnya kita sedang membuka diri pada cakrawala kehidupan yang lebih luas.

Featured image by: ChatGPT – OpenAI

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *