Perjumpaan dengan Anak Rohani Pram dan Ingatan Tentang Kawan

  • EDUKASI
Perjumpaan dengan Anak Rohani Pram dan Ingatan Tentang Kawan
Share this :

Tanggal 6 Februari merupakan tanggal kelahiran sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Penulis Roman Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) tersebut lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Pram, begitu ia disapa, meninggal di Jakarta pada 30 April 2006 silam.

Kelahiran Pram pernah dirayakan Google dengan menjadikannya logo khusus Google Doodle pada tahun 2017 atau saat ulang tahun ke-92. Ketika itu, muncul ilustrasi bergerak lelaki tua berkaos sedang mengetik menggunakan mesin ketik manual. Melompat ke tahun 2020, tanggal kelahiran Pram sempat ramai di lini masa Twitter.

Memasuki awal bulan Februari 2021, tiba-tiba saya teringat soal kelahiran Pram. Setidaknya, karya-karya Pram, terutama Roman Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), turut andil dalam mengentaskan saya dari perguruan tinggi belasan tahun yang lalu.

Ingatan saya kemudian menggelinding untuk menemukan kapan dan di mana mulai bersentuhan pertama kali dengan anak-anak rohani Pram. Ya, dalam beberapa kesempatan, Pram menegaskan bahwa karya-karyanya merupakan anak rohani. “Karya-karya sendiri ini bagi saya sama dengan anak-anak saya sendiri. Begitu tercetak turun dari mesin, dia akan menempuh hidupnya sendiri. Ini anak-anak rohani saya, menempuh hidupnya sendiri dalam masyarakat sosial budaya. Mungkin ada yang umurnya pendek, mungkin ada yang panjang, mungkin ada yang bak abadi, itu adalah nasib mereka masing-masing,” kata Pram dalam sebuah video yang diproduksi Yayasan Lontar.

Kerja ingatan menemukan seseorang kakak kelas yang telah meninggal dunia pada 2019 lalu. Namanya Agus Salim, orang Mojoagung, Jombang. Namun saya tidak sempat mengadiri pemakamannya. Darinya saya berkesempatan membaca Bumi Manusia.

Bila tidak keliru, sekitar tahun 2007 entah bulan apa, ketika mampir ke kontrakannya, saya menemukan Bumi Manusia tergeletak di kamarnya. Sepertinya ia baru beli buku tersebut karena masih bau toko. Terbitan Lentera Dipantara dengan sampul berwarna kuning dengan kombinasi hijau dan ada empat orang mengendari dokar, dua laki-laki di depan dan dua perempuan duduk bersampingan di belakang.

Membuka lembaran pertama langsung terasa entakannya. Pram, merupakan penulis yang hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara. 3 tahun di masa kolonial, 1 tahun pada masa orde lama, dan 14 tahun yang melelahkan pada orde baru. Namun, beberapa karyanya justru lahir dari penjara ke penjara ini. Salah satunya buku yang sedang saya pegang. Lembar demi lembar saya baca, habis tidak sampai dua malam.

Belakangan saya tahu, si kakak kelas akan menelitinya untuk diajukan dalam sidang proposal untuk kemudian menjadi skripsi. Selang beberapa minggu kemudian (kalau tidak salah ingat), kakak kelas membeli buku Anak Semua Bangsa. Buku ini juga saya baca, namun sepertinya agak lama menyelesaikannya. Sejak saat itu, saya juga menginginkan untuk meneliti karya-karya Pram. Apalagi, saya juga sempat bersentuhan dengan bukunya A. Teeuw yang berjudul Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Kakak kelas mendapat pinjaman buku ini dari dosen pembimbingnya.

Periode tahun-tahun itu adalah masa jayanya warung internet (warnet). Ponsel paling canggih pun untuk menggunakan data internet masih terbilang cukup mahal, tidak seperti sekarang. Alhasil, kebanyakan mahasiswa, termasuk saya, lebih sering ke warnet malam-malam ketika ada paket potongan harga. Beberapa jam saya gunakan habis untuk browsing berbagai data tentang Pram. Benar-benar jalan setapaknya sangat panjang untuk diikuti, namun kekaguman saya makin menguat.

Singkat cerita, dalam pengajuan proposal penelitian, saya menyodorkan sastra bandingan. Berupaya membandingkan Bumi Manusia karya Pram dengan Ibunda karya Maxim Gorky. Kenapa? Pram sendiri pernah menerjemahkan buku ini. Meskipun belum saya baca, entah mengapa saat itu ada kecurigaan munculnya intertekstualitas antara Bumi Manusia dengan Ibunda. Apalagi Pram juga menyebut terpengaruh gaya Maxim Gorky.

Judul proposal ditolak. Kemudian mencari teori lain. Jatuh kepada teori postkolonial. Proposal tidak ditolak, namun dijelaskan oleh dosen pembimbing saya bahwa penelitian tentang teori itu sudah banyak terhadapa karya Pram, terutama Bumi Manusia. Dosen pembimbing kemudian mengarahkan untuk meneliti Tetralogi Buru sekaligus.

Antara tahun 2008-2009 menjadi berat karena saya mengiyakan saja arahan dosen pembimbing untuk meneliti Tetralogi Buru. Alhasil, banyak waktu saya habiskan untuk menjadi homo ludens, makhluk bermain. Bermain dari gunung satu ke gunung lain, serta dari kampung halaman teman ke kampung halaman teman lain.

Bahkan, ketika ada ajakan teman sekelas bernama Ahmad Khoiron untuk ikut ke Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah, pada bulan April 2009, langsung saya iyakan. Namun dengan syarat, setelah dari Sragen, saya minta untuk ke Blora terlebih dahulu sebelum kembali ke Surabaya. Tujuan saya jelas, mengunjungi rumah masa kecil Pram. Kami sepakat.

(Ahmad Khoiron sendiri memiliki takdir yang sama dengan kakak kelas, meninggal dunia pada usia muda, tepatnya pada tahun 2017 lalu. Saya sempat menghadiri pemakamannya langsung di Kabupaten Gresik.)

Sewaktu menempuh pendidikan sarjana, Khoiron meneliti Novel Ritual Gunung Kemukus karya F. Rahardi dengan kajian Antropologi Sastra. Ia membutuhkan data tambahan dengan mewawancari warga sekitar. Seingat saya, ia berangkat terlebih dahulu bersama kawan lain yang bernama Kukuh Prabowo pada pagi hari. Saya menyusulnya saat siang hari. Kami bertemu di sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Gunung Kemukus. Pemisah desa ini dengan Gunung Kemukus adalah air danau yang sedang penuh. Bila dilihat dari desa ini, Gunung Kemukus tampak menjulang di tengah danau.

Kami bertiga dua malam di sana. Semalam di desa dengan tidur di musala, dan semalam lagi di sekitaran Gunung Kemukus. Begadang. Saat fajar perlahan terbit, kami kembali ke musala desa dan mempersiapkan diri untuk langsung menuju Blora. Kami naik bus. Saya lupa berapa lama perjalanan. Setelah naik bus, kami harus oper menggunakan ojek menuju rumah masa kecil Pram.

Saat kami tiba di rumah Pram, suasanya tampak sepi. Tidak banyak orang. Kami ditemui adik kandung Pram Soesilo Toer. Kala itu, kami lebih banyak mendengar Soesilo Toer bercerita. Mulai dari prinsip orang Samin, tentang Pram, serta kebiasannya memungut barang bekas pada malam hari. Barang pungutannya sempat ditunjukkan kepada kami. (Saya lupa, pada masa ini saya sudah memiliki kamera pocket digital. Jadi, ketika menulis perjalanan ini, saya panggil kembali ingatan melalui beberapa dokumentasi foto.)

Soesilo Toer sangat hangat dan ramah. Bahkan, ketika kami pamit akan kembali ke Surabaya karena hari menjelang sore, Soesilo Toer mengantar kami sampai keluar pintu halaman rumahnya. Perawakannya, mengingatkan saya pada Pram dan skripsi yang tertunda.

Kini, ketika perayaan tanggal kelahiran Pram yang ke-96, saya mengingat kembali kedua kawan tersebut. Seorang-seorang mereka datang dan pergi. Terima kasih, Agus Salim dan Ahmad Khoiron.

Suluh D.P.
Pembaca Tetralogi Buru
Sidoarjo, 06/02/2021

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *