Agaknya dunia pendidikan gerah. Pramuka telah dihapus atau tak diberlakukan sebagai salah satu bagian dari kegiatan ekstrakurikuler wajib diikuti siswa dalam Kurikulum Merdeka. Isu ini ramai diperbincangkan di berbagai media sosial. Banyak pihak yang menyayangkan mengapa kebijakan diambil Mendikbudristek, padahal semua pihak tak menutup mata akan sumbangsih pramuka terhadap pembentukan karakter siswa.
Narasi-narasi tanggapan mencuat dari para pemerhati maupun para pakar pendidikan di media sosial, media online maupun media cetak setelah Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah tersebut yang telah ditetapkan di Jakarta pada 25 Maret 2024.
Yakni, terkait dengan bunyi pasal 34 Bab V disebutkan bahwa sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah dicabut, dan dinyatakan tidak berlaku.
Keputusan ini telah menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak. Beberapa mendukung keputusan tersebut karena dianggap memberikan kebebasan siswa mengeksplorasi minatnya. Sementara yang lain mengkhawatirkan dampak terhadap pengembangan karakter dan keterampilan siswa di luar akademis. Menurutnya, kepramukaan dapat membentuk kepribadian, kecakapan hidup, dan akhlak mulia melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kepramukaan.
âPermendikbudristek 12/2024 tidak mengubah ketentuan bahwa Pramuka adalah ekstrakurikuler yang wajib disediakan sekolah. Sekolah tetap wajib menyediakan setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler, yaitu Pramuka,â kata Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Anindito Aditomo, di Jakarta, Senin (1/4/2024).
Singkatnya, masih menurut Anindito Aditomo, nasib pramuka di sekolah tetap akan eksis seperti sebelum pemberlakukan dalam Kurikulum 2013, di mana setiap satuan pendidikan wajib memiliki ekstrakurikuler pramuka. Namun, murid di setiap satuan sekolah tidak diwajibkan untuk mengikuti ekstrakurikuler pramuka alias bersifat sukarela.
Penghapusan ekstrakurikuler pramuka dengan tidak mewajibkan siswa mengikuti ekstrakurikuler tersebut lantaran sifatnya sukarela. Hal ini memberikan peluang bagi siswa menjadi generasi bermanja-manja diri, ogah menerima dan atau menghadapi tantangan. Jangankan di masa depan, saat ini pun mereka sudah menghadapi berbagai tantangan maupun persaingan baik secara lokal, regional, nasional, maupun global.
Jadi, jika siswa tidak diwajibkan dan sifatnya hanya sukarela, berarti sama dengan garis miring (/) bisa tidak ada. Agaknya retorika yang diperhalus bahasanya saja. Bolehlah saya berandai-andai, bagaimana jika dalam suatu sekolah, atau sekolah-sekolah dalam suatu kecamatan, satu kabupaten/kota, satu provinsi bahkan se Indonesia siswanya tidak mau ikut berkegiatan pramuka karena tidak suka? Lantas, buat apa disediakan “kandang” jika tak ada yang mau menghuni?
Muncul pula, penghapusan ekstrakurikuler pramuka tentu menimbulkan perdebatan terkait relevansi dan implikasinya. Salah satu implikasi yang signifikan terkait dengan para pelatih pramuka. Penghapusan tersebut dapat berdampak secara finansial bagi para pelatih pramuka, tentu dapat mengurangi atau menghilangkan sumber penghasilan yang terkait dengan peran dan kegiatan mereka dalam pembinaan pramuka. Berapa jumlah pelatih pramuka? Kemendikbudristek tentu yang tahu.
Featured image : Upacara Api Unggun (dok. SMP Negeri 23 Surabaya)
pramuka salah satu media untuk membangun karakter bangsa, menyedihkan sekali
Sangat disayangkan dengan penghapusan aturan wajib ikut Pramuka.
Kiranya patut dipertanyakan, apakah ini merupakan strategi “perang proxy” dengan melemahkan karakter anak bangsa.