Roode Brug Soerabaia bekerja sama dengan Disbudporapar Kota Surabaya menggelar drama teatrikal bertajuk “Revolusi Surabaya: Perobekan Bendera Belanda” di Area Monumen Tugu Pahlawan Surabaya. Aksi drama teatrikal didukung oleh komunitas CAK Kedung Klinter dan tujuh siswa SMA Negeri 22 Surabaya, Minggu (15/9/2024).
Satrio Sudarso, Ketua Roode Brug Soerabaia, sekaligus sutradara aksi teatrikal, menuturkan bahwa pada tanggal 19 September 1945, tiba di Kota Surabaya para konsul dari negara-negara Sekutu untuk meninjau keadaan Kota Surabaya. Mereka berkumpul di Yamato Hotel, dulu Oranje Hotel, di sebelah gedung Palang Merah Belanda di Jalan Tunjungan.
“Rupa-rupanya karena kedatangan wakil-wakil dari negara Sekutu, Belanda merasa makin menjadi kuat, atau mempunyai kekebalan di Indonesia ini lagi, seperti halnya para diplomat dari negeri asing lainnya,” tutur Satrio Sudarso usai pertunjukan drama teatrikal “Insiden Perobekan Bendera” di Area Monumen Tugu Pahlawan Surabaya.
Padahal, lanjutnya, telah diumumkan lewat Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia tentang larangan pengibaran bendera asing, namun mereka menaikkan juga bendara mereka, bendera berwarna Merah-Putih-Biru di Hotel Yamato pada hari itu. Tindakan mereka itu berarti perkosaan terhadap kedaulatan Republik Indonesia, yang telah merdeka pada 17 Agustus 1945.
Orang-orang yang lalu lalang di depan Hotel Yamato merasa tercengang, melihat bendera tiga warna yang telah tidak pernah dilihatnya selama tiga setengah tahun ini. Mereka berkumpul, dan makin lama makin banyak orang berdatangan. Mereka protes agar bendera Belanda diturunkan, namun sayang mereka tidak merespons, dan justru seolah sengaja memancing perselisihan, lanjut Satrio Sudarso.
“Lantaran tidak tidak ada respons tersebut, terjadilah “Insiden Perobekan Bendera”, yakni peristiwa perobekan bagian warna Biru dari bendera Belanda oleh Arek-Arek Suroboyo, sehingga tinggal warna Merah dan Putih yang berkibar. Saat itu, Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees: Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran).” tambahnya.
Peristiwa marahnya para pemuda Surabaya baru bisa diredam lantaran kehadiran rombongan Sudirman, Residen daerah Surabaya, Pemerintah Republik Indonesia. Peristiwa tersebut memakan korban, yakni terbunuhnya Victor Willem Charles Ploegman dari pihak Belanda, dan sejumlah pemuda Surabaya, di antaranya Kusno,” pungkas Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Pada kesempatan yang sama, Cantika Chairani Sutrisna, siswi Kelas XII-5 SMA Negeri 22 Surabaya, menceritakan pengalamannya sebagai salah satu pemeran drama teatrikal. Menurutnya, bermain peran adalah pengalaman yang tidak bisa dilupakan, salah satunya adalah menjadi bagian dari drama teatrikal yang mengangkat kisah ikonik perjuangan Arek-Arek Suroboyo.
Drama teatrikal “Perobekan Bendera Belanda” ini, lanjutnya, memberikannya inspirasi. Ia seperti merasakan suasana peperangan zaman dahulu, seperti masuk ke dalam dimensi ruang dan waktu. Ketika asap mulai menyapu medan pertempuran, porak-poranda rakyat, pejuang tergeletak bersimbah darah saat perang terjadi, di situlah darah terasa berdesir.
“Merasakan atmosfer perjuangan Arek-Arek Suroboyo, semangat membara dan kemarahan mereka sangat menyentuh hati. Melihat para pejuang yang tergeletak membuat hati makin teriris-iris, membayangkan bilamana aku benar-benar berada di tengah peperangan saat itu. Jujur, aku sampai menangis,” pungkasnya.
Biarkan Foto Bicara
Drama Teatrikal Revolusi Surabaya: Perobekan Bendera Belanda
Serba-Serbi