‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil

‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
Share this :

Mudik tak hanya sebatas kebiasaan sebagai tradisi bagi para perantau ingin kembali pulang, namun juga bagi orang-orang yang sudah bertahun-tahun mukim di tempat lain, entah di suatu kota, daerah bahkan di negara lain. Beragam makna historis dan kultural dalam peristiwa mudik. berbagai suasana dan hal-hal berbau spesifik yang tidak didapati di kota atau di tempat lain.

Hampir dua tahun berjalan, semenjak pandemi Covid-19 melanda saya tidak berani mudik, atau saya gunakan istilah ‘sambang’ atau berkunjung ke kampung. Selain ada kekhawatiran tertular Covid-19, juga mengikuti anjuran protokol kesehatan, terutama kurangi perjalanan jauh. Sambang baru terwujud karena keinginan yang kuat untuk ziarah ke makam orangtua, sambil silaturrahim ke sanak famili, Sabtu Minggu (20-21/2/2021).

Tidak hanya saya, Anda pun kini yang hidup di suatu kota atau tempat lain tentu kampung halaman tetap hadir begitu kuat dalam ikatan emosi. Kembali pulang, bernostalgia dengan masa kecil di pedesaan dengan keragaman dan kekhasan di dalamnya membuat orang rindu. Sawah terhampar, perbukitan berbaris, embun di atas bulir padi dan rumput, gemericik sungai, kokok ayam, makanan khas dan bermain dengan teman sebaya.

‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
Perahu tambangan, penghubung antara Dukuh Kiringan Ds. Mojorejo Kec. Ngraho -Bojonegoro dengan Ds Jimbung Kec. Kedungtuban-Blora. Jika tidak naik perahu, pengendara harus memutar lewat Cepu, Padangan Ngraho, atau sebaliknya sejauh 40 km.

Mengenang dan bernostalgia. Apa yang pernah dialami ketika masa kecil memang menyenangkan untuk dikenang. Berbagai hal bisa dirindukan, mulai masakan kesukaan, jajanan masa kecil, mainan atau hal-hal sepele yang membuat seseorang kembali ingin bernostalgia pada masa mereka mengalaminya dulu. Menemukan secuil kenangan masa kecil bagi beberapa orang mampu menjadikan suasana hati mereka lebih baik.

Serpihan-serpihan peristiwa masa kecil yang dialami seseorang tak akan terlupakan, akan mengendap lama karena ikatan kekerabatan, dan budaya setempat. Warna-warni kenangan hari-hari masa kecil yang pernah kita lewati menghadirkan kebahagiaan yang lain. Di samping juga menguatkan kembali semangat bersyukur atas masih diberikan kesempatan oleh-NYA untuk kembali menikmati sisa-sisa suasana masa kecil.

Kembali sambang ke sebuah pedukuhan di pinggiran Bengawan Solo, bagi saya sebuah kesempatan jadi pendengar yang baik ketika sanak famili ada yang cerita tentang keluh kesah mengolah sawah. Kini tak lagi ada jasa ‘ngluku’ dan ‘nggaru’ dengan sepasang sapi, tetapi traktor telah bekerja menggantikannya. Juga tak ada buruh ’derep’ ketika panen padi, sudah digantikan tenaga mereka dengan mesin combine.

‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
Nostalgia naik perahu tambangan, kebetulan permukaan air Bengawan Solo cukup tinggi. Hehehe, naik perahunya ‘Joko Tingkir’

“Sekarang yang jadi buruh tani adalah orang-orang kaya, para pemilik traktor, pemilik mesin combine. Bahkan kebutuhan bibit dan jasa ‘tandur’ hingga pupuk pun mereka siapkan. Bertani saat ini rasanya berat diongkos,” keluh Lipri, salah seorang famili.

Di lapangan seberang makam kampung tak tampak lagi anak-anak menggembalakan sapi atau kambing sambil ‘ngumbulno’ atau menerbangkan layang-layang. Dulu, setiap sore dipenuhi anak-anak, ada yang gembalakan piaraan ternak, main layang-layang, atau yang sudah remaja bermain sepak bola. Bola sepak beneran yang digunakan meski di pedukuhan pinggiran Bengawan Solo, zaman itu belum ada bola plastik seperti yang dipakai anak-anak kota saat ini.

Jika musim kemarau debit air sangat kecil sehingga dangkal, hamparan luas pasir Bengawan Solo tempat bermain kala sore hari, tempat warga menanam ketela rambat. Mandi di bengawan adalah bagian dari kebiasaan masyarakat pinggiran bengawan. Air jernih sekali. Kini pemandangan itu tak tampak lagi, bertahun-tahun pasir ditambang habis-habisan dengan mesin diesel. Akibatnya, tepian bengawan banyak longsor, lingkungan rusak. Anehnya, tak ada aparat yang menertibkan.

‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
Ketemu adik sepermaianan, Sugiono. Sedang senam ala warok diirngi musik ndangdutan. Seru juga.
‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
Nasi pecel plus sambel ‘ces’, lauk tempe mendoan

Sambang Momen Kulineran

“Lek, sudah ‘ngandhok’ nasi pecel, serabi dan ngopi pagi ini di pangkalan tambangan? tanya Rochim, salah seorang keponakan. ‘Lek’, maksudnya ‘paklik’ atau paman.

Tiap kali sambang, saya tak melupakan kuliner wajib, yakni sarapan pagi nasi pecel plus sambel ‘ces’ dan tempe mendoan, kue serabi, dan minum kopi kothok. Mengapa disebut sambal ‘ces’? Umumnya, di daerah lain sambal urapan kelapa parutnya yang sudah dicapur bumbu dikukus, tetapi sambel ‘ces’ tidak. Dulu orang memasak di pawon atau tungku dengan api kayu bakar. ‘Kereweng’ yakni pecahan genteng atau tembikar diletakkan di pawon di sela-sela api kayu bakar sampai membara.

‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
Memasak masih dengan cara tradisional, di atas pawon atau tungku dengan api kayu bakar. Tapi taste masakan tak kalah dengan cara kekinian

Setelah kereweng membara lalu diletakkan dicobek yang sudah ada kelapa parut yang dibumbu. Ketika kereweng membara kemudian ditimbuni atau ditutup seluruhnya dengan kelapa parut dalam cobek tersebut ada bunyi ces…, ces…, ces. Lantas ditutup beberapa waktu, setelah tutup diangkat aroma gurih kelapa dan bumbu semerbak, bangkitkan selera sarapan. Itu cikal bakal nama sambel ces.

Tak ketinggalan menyantap jajanan masa kecil, kue serabi. Serabi disajikan bisa pilih dengan toping taburan kelapa parut, atau pilih yang dikuah dengan santan. Tak lengkap jika belum sambil nyeruput kopi kothok. Minuman ini dibuat dengan cara air dididihkan lebih dahulu, setelah mendidih kopi dan gula dimasukkan ke dalam air mendidih. Diaduk-aduk, dan beberapa saat baru diangkat. Paduan kopi dan gula yang pas, taste kopinya enak. Rasanya buat orang jadi ketagihan.

‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
Foto atas bagian bawah kanan adalah cobek sambel ces, tampak kerewengnya. Foto bawah, nasi pecel plus kopi kothok. Menu kuliner ndeso yang sulit dilupakan

*

Ya, memang selayaknya tanah kelahiran atau kampung halaman tetap ada dalam memori kita. Ia harus hadir menemani kita untuk melakukan refleksi diri. Menghapus kampung halaman dari ingatan sama halnya mengubur sejarah diri sendiri. Begitu banyak ikatan dan kenangan yang terjalin di kampung halaman, yang sulit untuk ditemukan di tempat lain. Kesamaannya.

Sambang, sebuah perjalanan bernostalgia yang cenderung mengingat sesuatu yang melibatkan orang lain, baik ingatan yang membahagiakan atau sebaliknya karena nostalgia tak selalu menyenangkan. Tentunya kita tidak bisa mengubah masa lalu, namun kita bisa mengubah cara pandang terhadap masa lalu untuk menatap ke depan dan menebalkan rasa syukur. Ini merupakan hal penting ketika kita sedang sambang.

‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
‘Sambang’ ke Tanah Kelahiran Suatu Jalan Mengaduk-aduk Kenangan Masa Kecil
Kue serabi, jajanan masa kecil

Catatan :

sambang : berkunjung, bertandang

ngluku : membajak sawah, mengolah tanah dengan tenaga sepasang sapi atau kerbau agar tanah bertukar posisi dan berganti sirkulasi udara atau sinar matahari

nggaru : meratakan tanah dengan menggunakan garu, rentang kayu bergerigi seperti sisir, gunanya untuk meratakan tanah sehingga semua permukaan tanah rata, ditarik sepasang sapi atau kerbau

tandur : menanam benih padi di lahan yang sudah digaru dan diluku

derep : memanen padi dengan ani-ani atau ketam, yaitu pisau kecil untuk memotong tangkai bulir padi satu per satu

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *