(Bersambung dari Cerpen: “Di Batas Keraguan, Ada Benih Yang Mulai Tumbuh”) #8
Senja menuju petang di kota itu berwarna kelabu, diselimuti hujan deras. Suasana senja seolah menambah pekat gelombang emosi yang bergemuruh di dalam hati Prasodjo (baca: Prasojo). Café di sudut jalan itu menjadi tempat pelariannya dari hujan yang turun semakin deras Jumat sore, namun tak mampu meredakan kegalauan yang bersarang di dadanya. Ia berjanji bertemu Karina.
Prasodjo memilih duduk di dekat jendela besar. Menatap aliran air hujan yang jatuh berlarian dan saling mengejar. Menggenangi trotoar yang lubang pematusannya tersumbat berbagai sampah akibat orang membuangnya di sembarangan tempat. Tetiba dalam benaknya, segala percakapan dengan Karina dan Gendhis berputar cepat seperti kincir angin yang tak bisa dihentikan.
Suara derit engsel pintu café terbuka, memecah suasana sepi. Karina melangkah masuk, tubuhnya sedikit basah meski telah berpayung saat turun dari mobilnya. Dengan langkah pasti, ia menghampiri meja di mana Prasodjo duduk. Wajahnya tampak berbinar-binar, tetapi Prasodjo bisa merasakan ada badai yang bersembunyi di balik senyuman tipis Karina.
“Kamu datang juga,” ucap Prasodjo, suaranya berat, sedikit serak setelah lama terdiam. “Tentu sajalah,” jawab Karina ringan sambil melepaskan jaketnya yang sedikit basah akibat tampias dari payungnya, lalu menaruhnya di sandaran kursi. “Kamu yang meminta aku ke sini, kan?” jawab Karina dengan senyu tipis bernada manja sembari menyeret kursi di depan Prasodjo.
Prasodjo hanya mengangguk, menatap secangkir kopi hitam yang mulai mendingin di depannya. Ia sudah menghabiskan hampir satu jam setelah pulang dari kantor, menunggu Karina. Sembari memikirkan kata-kata apa yang hendak ia rangkai menjadi kalimat yang akan ucapkan. Namun, sekarang, di hadapan Karina, semua kata itu terasa seperti menguap, hilang tanpa jejak.
Karina duduk, menyilangkan kakinya, sambil menulis pesanan lemon tea, memanggil pramu saji, lalu melirik Prasodjo dengan mata tajam yang tak bisa disembunyikan. “Jadi, kenapa kamu tiba-tiba memintaku bertemu di sini, Jo? Ada yang mau kamu bicarakan tentang kita?” ucapnya tegas memecah suasana kekakuan.
Suara ‘kita’ itu menggema di kepala Prasodjo. Karina mengucapkannya dengan gestur tubuh menandai percaya diri. Seolah-olah mereka masih terikat dengan masa lalu yang mungkin pernah ada, namun tidak lebih dari persahabatan yang Karina selalu salah tafsirkan. Prasodjo menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang perlu ia katakan.
“Karina, aku ingin kita bicara, tapi mungkin bukan soal ‘kita’ seperti yang kamu pikirkan,” ucap Prasodjo sambil mengangkat cangkir kopi. Karina mengangkat alisnya, “Oh? Lalu tentang apa? Gendhis?” Nama itu terlontar dari bibir Karina dengan nada sinis. Prasodjo menunduk, mengaduk-aduk kopinya yang sudah terlalu dingin untuk diminum.
Suasana café yang tadinya nyaman kini terasa memanas, hanya denting alat makan di meja lain dan alunan musik pelan yang menjadi latar suasana senja itu. Hujan masih turun deras di luar, tampak samar-samar di balik dinding kaca. “Gendhis. Ya, ada hubungannya,” Prasodjo menjawab, meski ragu. “Tapi lebih dari itu, ini tentang keputusan yang harus aku ambil, Karina.”
Karina menyandarkan tubuhnya ke kursi, mencoba menenangkan diri sambil menyruput lemon tea, lalu memandang Prasodjo tanpa berkedip. Tatapannya menyelidik, berusaha membaca pikiran Prasodjo. “Keputusan?” tanya Karina, nada suaranya lebih serius dan meninggi. “Jadi, kamu ingin memutuskan sesuatu? Antara aku atau Gendhis?” pertanyaan Karina dengan emosi.
Prasodjo mengangguk, meski di dalam hati ia tahu bahwa ini lebih rumit dari sekadar memilih satu orang. Karina, dengan segala kelebihannya, adalah wanita yang telah mapan, kuat, dan selalu ada sejak masa SMA. Tapi Gendhis, gadis muda yang baru menapaki dunia profesional, telah membuat Prasodjo merasa hidup kembali setelah kehilangan tunangannya beberapa tahun lalu.
“Karina,” Prasodjo mulai berbicara lebih tegas, “Aku tahu hubungan kita pernah dekat di masa lalu, tapi itu tak pernah seperti yang kamu impikan selama hingga kini,” ucapnya mantap. “Kita berteman baik, ya, tapi tidak lebih dari itu. Dan sekarang, aku harus jujur. Aku…, aku akan serius menumbuhkan hatiku untuk mencinta Gendhis,” lanjutnya.
Karina terdiam. Sesaat suasanan beku, tak ada sepatah kata pun yang terlontar di antara mulut mereka. Prasodjo melihat perubahan sontak di wajah Karina, tatapannya berubah dingin, rahangnya mengeras. “Jadi,” kata Karina akhirnya, suaranya lebih rendah, hampir berbisik, “kamu lebih memilih gadis yang bahkan tidak bisa menjamin masa depannya, Jo? ucapnya mengiba.
“Apa yang bisa ia berikan padamu, Jo? Ia baru mulai magang. Sementara aku…, aku bisa memberikan kamu segalanya. Karir, kemapanan, masa depan yang jelas.” Ucap Karina tegas. Prasodjo menatap Karina dengan lembut, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa kata-kata ini akan menimbulkan luka.
“Ini bukan soal siapa bisa memberikan lebih banyak. Aku tidak butuh kemapanan yang kamu maksud, Karina, potong Prasodjo. “Aku butuh seseorang yang bisa memahami aku, bisa berjalan bersamaku, bukan di depanku, bukan di belakangku, lanjutnya. “Gendhis belum apa-apa, tapi aku tahu ia tulus, memberiku perasaan yang belum pernah kurasakan lagi sejak lama,” tambahnya.
Suasana semakin tegang. Mata Karina bak kilat tajam menyambar wajah Prasodjo, wajahnya merah padam. “Kamu bodoh, Jo. Kamu tidak tahu apa yang kamu pertaruhkan. Gendhis nggak akan bisa memberikan kamu kebahagiaan yang aku bisa berikan kepadamu. Kamu akan menyesal kelak lantaran memilihnya,” suara Karina bergetar.
Prasodjo merasa hatinya berat, tapi ia tahu, ia harus tetap tegas. “Mungkin aku akan menyesal, mungkin juga tidak, Karina. Tapi aku lebih baik menjalani hidup dengan risiko itu, daripada aku terus menyesatkan dirimu dan diriku sendiri yang menganggapmu teman, tak lebih dari itu sejak dulu,” ucapnya tegas. “Aku nggak bisa lagi berpura-pura, Karina,” suara lirih Prasodjo.
Karina menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya menatap Prasodjo dengan penuh kemarahan. “Jadi, kamu benar-benar memilih Gendhis?” ucap ketus Karina. Prasodjo mengangguk, tanpa sedikit pun ragu. “Aku memilih Gendhis. Dan aku ingin kamu berhenti mengusik kami. Ini pasti menyakitkanmu, aku tahu. Biarkan jalani jalan kita masing-masing,” balas Prasodjo.
Kembali suasana menjadi beku, hanya suara hujan yang menambah suasana mencekam. Karina menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Ia tahu, ini akhir dari semua yang pernah ia impikan. “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan,” Karina berucap dengan suara bergetar. “Tapi ingat, jangan pernah menyesali keputusanmu,” tegasnya.
Karina bangkit dari kursi, menyeret jaketnya di sandaran, lalu menatap tajam Prasodjo untuk terakhir kalinya. “Kamu laki-laki nggak mau diuntung. Bodoh kamu, Jo!” ucapnya sembari melangkah menuju pintu, tanpa menoleh, pun tanpa menunggu jawaban apa dari mulut Prasodjo. Sementara Prasodjo masih duduk terpaku, hanya melihat dengan tatapan kosong punggung Karina.
Hujan masih turun deras di luar, seperti sengaja hendak menyamarkan jejak kepergiannya. Saat pintu café berderit terbuka, suara derai hujan menyambut Karina. Ia berhenti sejenak di ambang pintu, menengadah, merasakan dinginnya tetesan air yang jatuh di wajahnya. Karina merasa, harapan yang selama ini ia dambakan telah hancur, seperti bunga yang gugur sebelum sempat mekar.
Langkah Karina ke tempat parkir di bawah derasnya hujan terasa berat, seolah membawa semua beban perasaan yang selama ini ia pikul. Impiannya sirna kini, seperti daun kering yang jatuh terseret arus air hujan, hanyut tanpa jejak. Prasodjo telah memilih Gendhis. “Persetan. Sebelum janur kuning melengkung, toh aku masih bisa merebutmu, Jo! sembari membanting tasnya di jok mobil.
Dalam café, Prasodjo memandang sosok Karina memasuki mobil, samar-samar semakin menjauh dari pandangannya, tenggelam dalam kabut hujan. Ia telah tentukan pilihan. Meski jalan menuju rumah hati Gendhis masih ada kerikil-kerikil tantangan yang mesti ia singkirkan. Tetiba dari balik kaca jendela perlahan bayangan Gendhis hadir di mata Prasodjo, menari-nari di antara derai hujan petang itu.
Featured image by:
neuralwriter.com/id/image-generator-tool/
Disclaimer:
Cerita pendek (cerpen) ini hanya sebuah karya berdasarkan fiksi, jika ada nama tokoh, tempat, dan kejadian yang sama itu hanya kebetulan belaka.
Bersambung