Sebuah Puskesmas di kawasan pinggiran kota kecil, tampak sederhana dengan bangunan tua bercat putih yang mulai kusam. Di dalam ruang tunggu, deretan kursi plastik biru berjejer rapi di atas lantai keramik yang sudah mulai retak. Sebuah kipas angin tua berderit pelan saat berputar di sudut ruangan, hanya cukup untuk mengusir panas yang mulai terasa membakar di September.
Pun di dinding ruangan dihiasi dengan poster-poster kesehatan yang warnanya mulai memudar seperti bahaya hipertensi, gangguan lambung, asma, tips ibu sehat, dan lain-lain. Di sebelah ruang tunggu, terdapat jendela besar yang tertutup tirai setengah terbuka, memperlihatkan halaman Puskesmas dengan pepohonan kering dan lapisan debu di mana-mana.
Hari itu Senin, di jelang pertengahan bulan September, jam dinding bulat merk Seiko sedikit berdebu di atas kusen cendela menunjukkan di angka 09.16. Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya masuk melalui celah-celah tirai, menciptakan garis-garis cahaya di lantai. Udara terasa lembap dan gerah, pertanda hari akan semakin panas.
Di luar, suara kendaraan yang lewat terdengar jelas, sesekali diiringi suara klakson memekakkan telinga. Menambah kesibukan dan kebisingan di sekitar Puskesmas. Hari itu adalah hari pasar di kampung sebelah, orang kebanyakan menyebut Pasaran Legi, kebetulan hari itu Senin Legi. Sepasar atau sepekan menurut penanggalan Jawa ada lima hari yakni Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Setiap jeda 5-10 menit suara panggilan petugas memecah keheningan ruang tunggu Puskesmas. Suasana di ruang tunggu penuh dengan wajah-wajah rasa cemas dan raut muka tak sabar. Orang-orang yang duduk di kursi tampak gelisah, sebagian terus menatap ke arah pintu ruang pemeriksaan, berharap nama mereka segera dipanggil.
Ada yang duduk dengan wajah murung, ada yang mengeluh pelan kepada keluarga yang mendampinginya, dan ada pula yang hanya diam memandangi lantai dengan tatapan kosong. Sesekali terdengar suara anak kecil menangis kesakitan, sementara ibunya mengayun-ayun digendongannya agar anaknya diam. Menambah ketegangan di ruang tunggu.
Tarmijan, lelaki tinggi 160 cm-an dengan tubuh kurus dan kulit gelap bak kopi hitam, duduk di kursi plastik biru di sudut ruang tunggu. Usianya sudah 61 tahun, dan tubuhnya mulai ringkih, meski matanya masih memancarkan keteguhan seorang lelaki yang sudah banyak mengenyam pahit getir kehidupan. Ia datang ke Puskesmas pagi ini untuk meminta rujukan pergi ke rumah sakit besar di kotanya.
Akhir-akhir ini Tarmijan merasakan sekujur tubuhnya terasa sekali sakit mendera, penyakit yang ia derita semakin hari semakin menekan. Namun, seperti biasa, antrean panjang membuatnya harus menunggu dengan sabar. Sudah dua jam ia duduk di kursinya, selama itu sudah berapa orang silih berganti duduk di kursi sebelahnya, Tarmijan tak menghitungnya
Setiap kali seseorang duduk di kursi sebelahnya, sebuah cerita baru terbuka, mengalir seperti sungai kecil yang tenang. Seolah-olah, setiap orang yang duduk di samping Tarmijan merasa terdorong untuk menceritakan sesuatu, seolah-olah Tarmijan adalah tempat menumpahkan semua beban yang mereka bawa.
Adalah seorang ibu muda dengan rambut tak begitu rapi, dan mata sembab duduk di sampingnya sambil merapikan gendongan. Tangannya sibuk menimang bayi yang terlelap di pangkuannya. Ia mulai berbicara dengan suara rendah, hampir berbisik, tentang suaminya yang pergi meninggalkan rumah tanpa kabar.
“Sudah tiga bulan setengah, Pak. Saya nggak tahu harus gimana. Anak saya ini masih kecil, sakit, tentu butuh bapaknya,” ujarnya dengan suara gemetar. Mata Tarmijan hanya menatap lurus ke bayi itu, sembari telinganya mendengarkan bicara perempuan di sampingnya, dan perhatiannya menampung semua kesedihan perempuan itu.
Ketika ibu muda itu dipanggil masuk ke ruang dokter, kursi di sebelah Tarmijan datang seorang lelaki tua dengan tubuh lebih kurus darinya, mengenakan baju lusuh yang sudah pudar warnanya. Suaranya berat, dipenuhi dengan getir hidup.
“Dulu, saya ini petinju, Pak. Kuat sekali. Tapi sekarang, Parkinson ini yang menang. Lihat tangan saya, nggak bisa diam,” katanya sambil menunjukkan tangan yang terus bergetar. Kali ini, Tarmijan menoleh dan menatap lelaki itu, memberikan senyum simpati yang tulus. Tak seberapa lama orang itu pergi ke toilet di antar istrinya.
Tak ada kata bahwa bangku tunggu akan kosong lama, satu pantat meninggalkannya pantat lain pun akan datang mendudukinya. Selanjutnya, seorang remaja 27 tahun-an duduk di samping Tarmijan, mengenakan kaos T shirt yang sudah mulai ganti warna, memudar. Wajahnya pucat dan matanya berkantung hitam.
“Pak, saya ini masih bujang, tapi rasanya hidup saya sudah habis. Dada saya ini sesak terus, nggak tahu kenapa,” ujarnya sambil memegangi dadanya yang terasa nyeri. Tarmijan mengangguk pelan, mencoba memberikan sedikit semangat dengan kehadirannya, meski tanpa kata-kata.
“Aku ini tak ubahnya seperti tong sampah, menampung segala buangan,” Tarmijan merasa dirinya seperti bak sampah, menampung semua cerita yang dilemparkan kepadanya. Aneh juga, tak ada satu pun yang duduk di sebelah bertanya tentang sedang sakit apa kepada Tarjiman.
Namun, bukannya merasa terbebani, ia malah merasa bersyukur. Setiap cerita yang didengarnya mengingatkan bahwa sakit yang ia alami mungkin tak seberapa dibandingkan dengan apa yang orang lain rasakan. Pikirannya melayang, memikirkan semua beban yang dipikul oleh mereka yang duduk di sebelahnya. Di tengah semua itu, ia menemukan ketenangan.
“Tidak apa-apa. Masih lebih berat derita mereka daripada aku,” bisiknya dalam hati. Dalam antrean yang panjang itu, Tarmijan menemukan kekuatan baru untuk menerima apa yang ia alami, dengan syukur dan kesabaran yang semakin mendalam.
“Nomor antrean 93, Bapak Tarmijan,” suara petugas dari pintu ruang pemeriksaan yang terbuka, tiba-tiba memecah lamunan Tarmijan. Nama Tarmijan dipanggil.
Dengan langkah pelan namun pasti, Tarmijan bangkit dari kursinya. Sambil berjalan menuju pintu ia merasakan beban di pundaknya terasa lebih ringan. Hari ini, di ruang tunggu Puskesmas penuh cerita, Tarmijan menemukan bahwa kekuatan sejati datang dari menerima dan memahami, bukan hanya apa yang terjadi pada dirinya, tetapi juga apa yang dirasakan orang lain.
Featured image : https://www.istockphoto.com/id/vektor/