Di era digital kini, rupanya ungkapan “Cogito ergo sum” atau “Aku berpikir, maka aku ada” yang diungkapkan oleh filsuf René Descartes dalam karyanya yang berjudul Meditationes de Prima Philosophia atau Meditasi Pertama (Meditations on First Philosophy), yang diterbitkan pada tahun 1641 telah mendapat saingan yang saya analogikan dengan “Aku Posting, maka aku ada”.
Dalam karya ini, Descartes berusaha membangun fondasi filosofi yang kokoh melalui keraguan metodis, hingga ia menemukan bahwa satu hal yang tidak dapat diragukan adalah keberadaan dirinya sebagai subjek yang berpikir. Descartes semula ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal di sekelilingnya. Ia bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Era digital telah membawa perubahan besar dalam cara kita berinteraksi, belajar, bekerja, dan menghabiskan waktu. Namun, di balik manfaat teknologi, ada tantangan besar yang mengintai setiap sosok individu, salah satunya adalah ketergantungan pada gadget dan media sosial. Fenomena ini boleh kita cermati dalam berbagai acara, baik secara formal maupun nonformal.
Di ruang rapat, misalnya, tidak jarang tampak peserta lebih sibuk mengecek notifikasi ponsel daripada fokus pada diskusi. Di acara keagamaan, beberapa jamaah sibuk mengambil foto untuk konten media sosial dibandingkan meresapi pesan spiritual. Dalam acara keluarga dan reunion acapkali terjadi phubbing, tak sedikit yang hadir asyik dengan gadget masing-masing di depan orang lain.
Phubbing adalah kata yang menggambarkan perilaku seseorang yang asyik dengan gadget ketika berhadapan dengan orang lain atau sedang berada di dalam pertemuan. Akibatnya, pelakunya mengabaikan orang lain di depannya, sehingga sikap ini dapat dikategorikan sebagai sikap anti sosial. Perilaku phubbing ini dianggap tak sopan, dan bisa merusak komunikasi dengan orang lain.
Fenomena di era digital saat ini mencerminkan pergeseran nilai, keberadaan seseorang acapkali diukur dari aktivitasnya di media sosial. Jika filsuf René Descartes pernah mengungkapkan, “Aku berpikir, maka aku ada.” sebagai penegasan eksistensi manusia yang didasarkan pada kemampuan berpikir rasional. Kini, banyak orang mengidentifikasi keberadaannya melalui aktivitas online.
Lantaran fenomena tersebut saya membuat analogi, “Aku posting, maka aku eksis.” Kiranya konteks ini sejalan dengan istilah Fear of Missing Out (FOMO), yaitu rasa cemas karena khawatir ketinggalan tren, informasi, momen atau even viral sedang berlangsung. Dorongan ini membuat orang terus-menerus memantau media sosial agar keberadaannya tetap mendapat pengakuan.
Keranjingan bermedia sosial tampak dari ketergantungan pada validasi eksternal, seperti mendapatkan sejumlah likes atau komentar dari friends maupun followers, yang membuat seseorang merasa ‘eksis’. Sayangnya, kebiasaan ini sering mengorbankan hal-hal penting, seperti pekerjaan, belajar, atau hubungan langsung, hanya demi mengejar perhatian online di media sosial.
Akibatnya, pola hidup menjadi tidak seimbang, mengapa? Waktu untuk media sosial melebihi aktivitas produktif lainnya. Dampak dari kebiasaan ini cukup serius, mulai dari meningkatnya kecemasan, depresi, hingga rasa rendah diri akibat perbandingan sosial yang tidak realistis. Interaksi tatap muka pun berkurang, dan produktivitas sering terganggu oleh kebiasaan ini.
Untuk mengatasi hal ini, penting bagi kita untuk menerapkan mindfulness digital dengan menyadari dan membatasi waktu yang dihabiskan untuk media sosial. Memprioritaskan aktivitas nyata yang lebih bermakna; seperti melakukan hobi, belajar, bekerja, atau membangun hubungan langsung dengan keluarga, sahabat maupun relasi atau kolega, pun bisa menjadi solusi penting.
Selain itu, media sosial sebaiknya digunakan dengan tujuan jelas, misalnya untuk media belajar, alat bantu bekerja, membangun koneksi positif, tak sekadar mencari validasi. Pergeseran dari “aku berpikir” ke “aku posting” memang cermin budaya modern. Namun kita tetap memilah dan memilih, teknologi digunakan untuk mendukung nilai hidup, bukan justru mendikte arah hidup.
*
Dunia digital memang menawarkan banyak peluang, tetapi jangan sampai kita kehilangan esensi kehidupan nyata. Saatnya kita kembali pada nilai-nilai kesadaran, menghargai kehadiran, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Sebab, hidup bukan tentang siapa yang paling sering muncul di layar ponsel, melainkan siapa yang benar-benar hadir dan bermakna bagi orang-orang di sekitar kita.
Source :
- https://www.antaranews.com/berita/4395074/media-sosial-pengertian-jenis-hingga-dampak-positif-dan-negatifnya?utm_source=chatgpt.com
- https://sidodadi-penarik.desa.id/artikel/2023/5/29/dampak-positif-dan-negatif-media-sosial-terhadap-kehidupan-remaja?utm_source=chatgpt.com
- https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/357/mengenal-phubbing#:~:text=Phubbing%20adalah%20kata%20yang%20menggambarkan,dikategorikan%20sebagai%20sikap%20anti%20sosial.
Featured image by: monica.im/id/image-tools