Kebaikan atau Keburukan akan Kembali ke Muaranya

  • EDUKASI
Kebaikan atau Keburukan akan Kembali ke Muaranya
Share this :

Sebuah Renungan pada Hari Jumat

Dalam setiap interaksi kita sehari-hari, baik di rumah, tempat kerja, atau bahkan di tempat umum, kita selalu dihadapkan pada pilihan untuk bersikap baik atau sebaliknya. Bersikap baik kepada orang lain, termasuk kepada orang ‘asing’ yang baru kita temui, bukan hanya mencerminkan karakter yang baik, namun juga membawa manfaat yang mendalam bagi kehidupan kita.

Ketika kita memilih untuk menunjukkan kebaikan, sebenarnya kita sedang menanam benih kebaikan yang suatu saat akan berbuah menjadi kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup. Filosofi ini bukan hanya mengajarkan tentang moral, namun juga tentang bagaimana membangun interaksi positif sehingga kelak dapat memperkaya kehidupan secara emosional dan sosial.

Dalai Lama dan Howard C. Cutler dalam bukunya berjudul “The Art of Happiness” yang diterbitkan oleh Riverhead Books (1998), membahas pentingnya sikap mental yang positif, empati, dan kasih sayang dalam menciptakan kebahagiaan yang tahan lama atau langgeng.

Dalai Lama menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kesenangan yang bersifat material, melainkan dari kedamaian batin yang dicapai melalui pemahaman diri dan pengembangan empati terhadap orang lain. Kebahagiaan bukan sesuatu yang datang dari luar, namun dari dalam diri sendiri melalui latihan mental, pengembangan sikap positif, dan empati.

Sedangkan Howard C. Cutler, sebagai seorang psikiater, ia menambahkan tentang dimensi psikologis dengan menggali bagaimana kebiasaan berpikir dan sikap mental kita dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional. Kebiasaan berpikir, bersikap, dan bertindak positif perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kebahagiaan dan mengatasi penderitaan.

Kebaikan atau Keburukan akan Kembali ke Muaranya
Generated image by AI

Kembali ke Muaranya

Sebagaimana dalam Surah Al-Zalzalah: 7 – 8 bahwa barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. Dalam kamus bahasa Arab, kata dzarrah ialah sebuah kiasan tentang sesuat yang sangat kecil wujudnya.

Dalam pepatah “Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai,” sebuah ungkapan ini merujuk pada konsep karma atau hukum timbal balik. Bahwa tindakan kita yang baik atau buruk, pada akhirnya akan kembali kepada kita. Meski konsep ini sering dikaitkan dengan ajaran spiritual dan agama tertentu, pada dasarnya, ini juga mencerminkan hukum alam yang sederhana, sebab dan akibat.

Ketika berbuat baik kepada orang lain, acapkali kita akan menerima kebaikan kembali, meski mungkin tak selalu dari orang yang sama atau dalam bentuk yang sama. Misalnya, ketika tanpa pamrih menolong seseorang yang membutuhkan, mungkin kita akan menerima bantuan ketika kita berada dalam kesulitan. Kebaikan menciptakan energi positif yang tersebar di sekitar kita.

Pun tindakan kebaikan dapat memperkuat hubungan sosial. Dengan menunjukkan empati dan pengertian dalam hubungan pribadi atau profesional, kita membangun kepercayaan dan rasa hormat kepada orang lain. Mungkin di rumah tangga, lingkungan kerja, komunitas, atau lingkungan yang lain. Hubungan yang didasarkan pada kebaikan cenderung lebih langgeng.

Kebaikan tidak hanya menguntungkan orang lain namun juga diri sendiri. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa berbuat baik dapat meningkatkan kebahagiaan, mengurangi stres, dan meningkatkan kesehatan fisik. Bahagia tak hanya membuat hidup lebih menyenangkan, pun mendorong untuk terus berbuat baik, dan menciptakan siklus positif yang terus berlanjut.

Sebaliknya, tindakan keburukan seperti berbohong, bertindak tidak adil, sewenang-wenang, atau menyakiti orang lain, acapkali membawa dampak negatif tak hanya pada orang lain namun juga pada diri sendiri. Satu kebohongan berhasil, akan terus berbohong dan berlajut kebohongan lain. Keburukan ini bisa merusak reputasi, relasi dan hubungan, membuat orang lain tidak percaya.

Seperti kebaikan menarik kebaikan, keburukan pun menarik keburukan. Ketika bertindak dengan niat buruk, orang lain mungkin merespons dengan cara yang sama. Misalnya, seorang pemimpin yang bertindak nepotism, otoriter, tidak adil, sewenang-wenang, akan dihadapkan pada ketidakpuasan, dan perlawanan dari bawahan atau rakyatnya, yang menciptakan lingkungan negatif dan penuh konflik.

Keburukan tidak hanya merusak hubungan dengan orang lain namun juga merusak kedamaian batin kita. Perasaan bersalah, penyesalan, dan stres acapkali mengikuti tindakan buruk. Ini bisa mengganggu kesehatan mental dan emosional, membuat kita merasa tidak tenang. Seiring waktu, dampak ini dapat berkontribusi pada masalah kesehatan yang lebih serius, baik fisik maupun psikologis.

Pada akhirnya, kebaikan maupun keburukan memiliki konsekuensi yang tak terelakkan dalam kehidupan kita. Apa yang kita lakukan kepada orang lain, cepat atau lambat, akan kembali kepada kita dalam berbagai cara dan bentuk. Ini pengingat agar selalu berusaha melakukan kebaikan dan menghindari tindakan buruk, yang bukan saja merugikan orang lain, sejatinya diri sendiri juga.

Dengan memahami bahwa setiap tindakan kita memiliki dampak, alangkah mulianya jika kita dapat memilih untuk menanam benih-benih kebaikan meski hanya sebesar dzarrah, sebuah kiasan tentang sesuatu yang sangat kecil bentuknya. Yang akan kembali kepada kita sebagai buah dari benih kebaikan yang kita tanam berupa ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian hidup.

Featured image: Generated image by AI

You may also like

1 thought on “Kebaikan atau Keburukan akan Kembali ke Muaranya”

  1. Bagus pak,
    Kalau saya juga mempunyai senjata untuk kesadaran untuk peduli lingkungan yaitu ada di QS Al Isro ayat 7. Yang artinya jika kamu berbuat baik berarti kamu berbuat baik kepada dirimu, sendiri, dan jika berbuat jahat maka kejahatan itu juga untuk dirimu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *