Dalam Rangka Gelar Upacara Peringati Hari Juang Polri untuk Pertama Kalinya di Monumen Pejuangan Polri di Kota Surabaya
“Oentoek bersatu dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia. Soerabaja, 21 Agoestoes 1945. Atas nama seloeroeh warga polisi, Moehamad Jasin, Inspektoer Polisi Kelas I,” demikian isi teks Prokalamasi Polisi yang dibacakan oleh Moehammad Jasin pada 21 Agustus 1945 sebagai roh dari drama kolosal dalam rangka Peringatan Hari Juang Polri 2024.
Peristiwa tersebut merupakan momentum penting yang memicu semangat anggota polisi untuk mendukung dan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara melakukan perlawanan terhadap kedatangan tentara Sekutu pimpinan Inggris sampai dengan terjadi peristiwa Pertempuran 10 November 1945. Nilai perjuangan inilah yang patut dipertahankan dalam membangun bangsa dan negara Indonesia
Heri Prasetyo, sutradara drama kolosal “Polisi Juang Indonesia”, menuturkan bahwa drama kolosal menggambarkan lahirnya Polisi Republik Indonesia hingga menjadi tulang punggung dalam mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa Penjajahan Jepang, Polisi Istimewa, yang sebelumnya bernama Tokubetsu Keisatsutai, dibentuk untuk menjaga dan mengamankan kedudukan tentara Jepang dan menertibkan rakyat.
Namun sejak tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan, lanjutnya, salah satu Agen Polisi III yang bernama Nainggolan mendapatkan kabar dari kantor berita Dumai tentang Proklamsai Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 dalam bahasa Madura, lantas bersama Soegito, Polisi Istimiwa lainya, pada tanggal 19 Agustus 1945 memberanikan diri menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan bendera Merah Putih pertama kali di Jawa Timur.
“Setelah mengibarkan bendera lantas mengikat tiang bendera dengan kawat berduri, agar pihak Jepang tidak menurukan bendera Dwi Warna tersebut. Pada tanggal 21 Agustus 1945, Pasukan Polisi Istimewa berinisiatif melakukan apel pagi, dengan dukungan Laskar rakyat Dinoyo kemudian dibacakan Proklamasi Polisi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Moehammad Yasin,” tuturnya.
Sehabis membacakan, semua pasukan polisi memasang tanda Merah Putih pada topi dan pada baju seragam polisi ditulis Polisi Indonesia (PRI). Setelah apel semua pasukan bergerak dan berkonvoai ke arah selatan dan utara bersama kendaraan dan persenjataan hasil merampas pasukan Jepang dengan memasang pamflet-pamlet Polisi Republik Indonesia di sepanjang jalan yang dilalui, tambahnya.
“Proklamasi Polisi itu merupakan suatu tekad anggota Polisi untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, walaupun sudah menyerah. Proklamasi itu juga bertujuan untuk meyakinkan rakyat bahwa Polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik Indonesia yang berjuang bersama rakyat dan bukanlah alat penjajah,” imbuh sosok yang lebih dikenal dengan panggilan Herry Lentho.
Masih menurut Herry Lentho, sejak Proklamasi Polisi Republik Indoneseia, jiwa rakyat Surabaya semakin berkobar dan semakin pemberani karena polisi telah bersama mereka, dan saat itu berhasil merebut persenjataan di Gudang Senjata terbesar di Don Bosco serta di Gedung Kompetai yang hasil rampasan tersebut juga dikirimkan ke seluruh pasukan pembela tanah air baik di Jawa maupun di Bali.
Ketika terjadi Insiden Bendera pada tanggal 19 september 1945, Polisi Pimpinan Moehammad Jasin bergerak cepat mereka menyatu dengan rakyat. Salah satunya yang bernama Hariyono ajudan Residen Sudirman yang berinisiatif menaiki gedung dan merobek bendera itu, nampak dengan jelas Hariyono berpakain polisi, seperti pada foto dokumentasi sejarah, jelasnya.
“Nampak Bendera Belanda berkibar, Laskar Arek Suroboyo marah dan meminta para interneran Belanda yang dipimpin Mr Ploegman, untuk segera menurunkan bendera mereka. Lantas terjadi keributan,” tambahnya.
Saat itu, lanjutnya, datang Residen Sudirman yang dikawal oleh ajudan Hariyono, berpakaian Polisi, dan Sidik yang berpakaian hitam hitam yang berasal dari pasukan Berani Mati didikan Jepang. Saat itu pula terjadi perkelahian antara Sidik dengan Mr Ploegman, Hariyono menyelamatkan Residen Sudirman, kemudian ia menaiki gedung di Hotel Yamato lantas merobek bendera Belanda bagian warna birunya. Mr Ploegman terbunuh dan beberapa polisi dan pejuang gugur.
Pada puncak Pertempuran 10 November 1945, saat pasukan dan rakayat Indonesia terdesak ke arah Sidoarjo, Barisan Pasukan Polisi yang berhadap-hadapan dengan tentara Sekutu di serang dan dibombardir dari darat dan udara. Pertempuran ini menyebabkan banyaknya pasukan polisi yang gugur, dan tumpahan darahnya mengalir sampai menetes di antara roda kendaraannya yang dijadikan benteng perlawanannya, imbuhnya.
“Moehammad Yasin berinisiatif menandai jasa dan pengorbanannya dengan mewarnai merah pada peleg roda polisi. Yang saat ini kendaraan di satuan kepolisian BRIMOB pepeg roda diwaranai merah,” pungkas seniman yang namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa koreografi.
Drama Kolosal “Polisi Juang Indonesia” didukung oleh Surabaya Juang, Roode Brug Soerabaia, Higayun Singers, Pritta Kartika, ZR Dancing, kelompok Reog Ponorogo, Baya Runcing, kelompok Teater, Ludruk, dan kesatuan Brimob.
Tangkapan Mata Lensa
Drama Kolosal “Polisi Juang Indonesia” Bangkitkan Memori Proklamasi Polisi
19 Agustus 1945, 79 Tahun Silam
Serba-Serbi Seputar Persiapan Drama Kolosal