Jalanan sebagai Ruang Belajar dari Pak Zainal Abidin, Seorang Sopir Grab
Pagi itu, Minggu, 1 Juni 2025, Surabaya masih menyisakan hawa sejuk yang belakangan ini masih kerap turun hujan. Saya tengah mengantar seorang tamu ke Stasiun Gubeng, ia akan pulang ke Jakarta. Semalam ia menginap di rumah saya setelah menyelesaikan urusan dari Solo dan harus balik dulu ke Surabaya sebelum lanjut pulang ke Jakarta.
Ke Stasiun Gubeng, kami memesan Grab, dan ‘nyantol’ nama sopirnya Pak Zainal Abidin (63). Lantaran waktu sudah jelang jadwal pemberangkatan kereta api, maka hanya perlu menurunkan tamu di drop off area Stasiun Gubeng Baru. Saya pun pesan Pak Zainal untuk menunggu di di area parkir, karena saya butuh menemani jalan hingga gate masuk untuk penumpang, sambil sekadar ucapan salam pisah.
Sejenak saya tetap berdiri, sampai tamu menghilang dari pandangan di balik para penumpang yang sama-sama terburu waktu untuk berebut masuk ke dalam kereta. Sementara bel tanda kereta akan segera berangkat sudah berbunyi berulang-ulang, sehingga membuat sedikit panik bagi penumpang yang datang terlalu ‘mepet’ dengan jadwal pemberangkatan.
“Jika tak untung, bisa-bisa ditinggal kereta, maka lebih baik menunggu beberapa saat, daripada tertinggal,” pikir saya dalam benak.
Saya berbalik, dan berjalan menuju tempat parkir, dari kejauhan Pak Zainal sudah melambaikan tangan, menandai tempat ia menunggu. Saya pun bergegas ke arahnya. lalu naik ke dalam mobilnya yang cukup bersih, dan sedikit bau wewangian. Saya beruntung, tak harus pesan lewat aplikasi, Pak Zainal pun lebih beruntung, tak harus mencari “cantolan” pemesan dari aplikasi.
Obrolan Ringan yang Menggugah
Di tengah perjalanan pulang, di tengah jalanan MERR, (orang-orang menyebutnya begitu, padahal nama jalan ini adalah Jalan Dr. Ir. H. Soekarno), yang padat merambat, di tengah obrolan ia melontarkan pertanyaan, “Pak, belajar apa yang paling sulit selama hidup ini?” Saya diam sejenak. Pertanyaan itu sederhana, namun tak mudah bagi saya untuk menjawab.
Kebetulan saya tak memilih duduk di jok tengah seperti lazimnya penumpang grab atau taksi, namun duduk di sampingnya. Ini membuat kami lebih mudah berbincang, layaknya teman. Mencoba menggugah memori, belajar apa yang paling sulit saya kuasai? Apakah matematika, fisika, bahasa, atau bahkan belajar tentang menerima kenyataan hidup? Saya belum sempat menjawab, Pak Zainal menyambung kalimatnya.
“Kalau menurut saya, belajar yang paling sulit itu adalah belajar memahami diri sendiri,” katanya tenang, sambil tetap fokus pada setir mobil dan jalanan. Saya tak menyangka pertanyaan sederhana itu akan membawa saya pada percakapan yang mengubah cara saya memandang hidup.
Lalu ia menjelaskan, “Memahami orang lain itu relatif lebih mudah. Tapi memahami diri sendiri, itu paling lebih sulit. Kita sering tidak jujur pada diri sendiri. Sering berpura-pura, sering menyangkal apa yang sebenarnya kita rasakan atau inginkan. Bahkan, kadang kita tak tahu siapa kita sebenarnya.” Lantaran saya menjadi ‘kepo’, maka tetap diam, dan ingin hanya menjadi pendengar.
Saya terdiam. Kalimat itu menghantam seperti tamparan ke muka, namun tidak menyakitkan, melainkan menyadarkan. Pak Zainal, yang mengaku hanya lulusan SMP, dan kini menghidupi anak cucunya dari balik kemudi, baru saja memberi saya pelajaran hidup yang selama ini barangkali luput saya sadari.
Ia bukan filsuf besar, bukan pula motivator ternama, tak “banyak makan sekolahan”, namun ia mampu menyampaikan kearifan yang lahir dari pengalaman, bukan sekadar berteori. Pemahamannya tentang kejujuran pada diri sendiri, tentang betapa sulitnya bercermin pada diri, adalah pelajaran yang bahkan tak semua orang terpelajar mampu bercermin sedalam itu.
Memahami Diri Sendiri: Filosofi Jalanan dari Pak Zainal Abidin
Dalam dunia yang sibuk menilai dan menyoroti orang lain, kita sering lupa bercermin. Kita terbiasa memakai topeng sosial, menyesuaikan diri dengan harapan orang, menutupi luka dan kelemahan seolah semuanya baik-baik saja. Padahal, keberanian sejati adalah saat kita bisa berdiri di depan cermin, dan berkata: “Inilah aku. Dengan segala lebih dan kurangnya.”
Pak Zainal mengajarkan bahwa untuk menjadi pribadi yang utuh, kita harus belajar mengenali bayangan kita sendiri, berkontemplasi dengan diri sendiri. “Siapa aku?” Kita perlu berdamai dengan masa lalu, jujur pada perasaan, menerima kelemahan, dan mengenali nilai-nilai yang kita yakini tanpa terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain.
“Kalau kita bisa jujur sama diri sendiri, kita jadi tahu siapa kita, tahu batas kita. Jadi tahu kekuatan kita. Itu, kita baru bisa belajar mengerti orang lain,” katanya menutup obrolan kami dengan senyumnya ringan.
Dan saya percaya, di balik ucapan itu bukan sekadar hasil renungan sesaat. Itu adalah simpulan dari perjalanan hidup panjang Pak Zainal Abidin, dari diri seseorang yang hidup sederhana, namun hatinya lapang dan wawasan tentang kehidupan jauh lebih dalam dan bermakna.
Pagi itu saya sadar, belajar kehidupan tak mesti di sekolah, pondok pesantren, atau universitas ternama, yang terkadang di sana terjadi perundungan, kekerasan fisik maupun mental, bahkan pelecehan seksual. Sekolah kehidupan ada di mana-mana. Pun guru-gurunya bisa siapa saja, tak mesti bergelar: boleh si bapak tukang becak, penjaja sayur, pemulung, atau seorang sopir Grab yang menghabiskan hari-harinya menembus macet kota demi menghidupi keluarga.
Kita hanya perlu membuka hati dan telinga. Lantaran kadang, pelajaran paling bermakna datang di saat-saat paling tak kita duga. Hidup ini adalah perjalanan belajar tanpa ujian akhir. Dan seringkali, pelajaran terpenting justru datang dari arah yang tak kita rencanakan. Seperti pagi itu, dari balik kemudi, Pak Zainal mengajari saya untuk tak lelah memahami diri sendiri, bermula dari situlah semua pemahaman yang lain berawal.
“Terima kasih, Pak Zainal Abidin,” ucap saya sambil menyodorkan uang dan bersiap turun dari mobil. “Hari ini, Panjenengan tak sekadar mengantar saya pulang, namun juga telah mengantar saya pada perjalanan yang lebih penting, yakni perjalanan batin untuk belajar lebih memahami diri yang selama ini sering terabaikan. Memahami diri sendiri adalah kunci untuk memahami dunia,” ucap dalam benak saya di belakang mobilnya yang melaju pergi.