‘Brain Rot’: Gerogoti Fokus dan Produktivitas Anak-Anak dan Remaja. PR bagi Orangtua

‘Brain Rot’: Gerogoti Fokus dan Produktivitas Anak-Anak dan Remaja. PR bagi Orangtua
Share this :

Tak Sebatas Anak-Anak dan Remaja, Jangan-Jangan yang Tua-Tua telah Terjangkit ‘Brain Rot’ Juga

Di sela-sela jeda menunggu jadwal mata kuliah berikutnya, di salah satu kantin kampus ternama di kota ini, Mona dan Clarissa terlibat dalam obrolan ringan sambil menikmati mie ayam dan es teh. Di kota yang udaranya lagi pengap, lagi cukup terik dan membuat ‘gerah’ siang itu, es teh salah satu minuman yang paling banyak dipesan mahasiswa.

Mona: ” Clarissa, pernah nggak sih kamu merasa tiba-tiba sadar udah tengah malam, tapi mata masih terpaku di layar gadget?”, tanya Mona sambil menyedot es teh di gelas jumbo.

Clarissa: “Sering banget, Mon! Apalagi kalau udah keasyikan scroll media sosial atau nonton teori konspirasi yang nggak ada habisnya, dan nge-game. Rasanya kayak masuk ke dunia lain,” jawab Clarissa sambil mengulur-ulur mie ayam dengan garpu agar dingin.

Mona: “Nah, itu dia! Kadang aku juga nggak sadar kalau waktu berlalu begitu saja. Ngak pagi, siang atau hingga larut malam. Tugas-tugas terbengkalai, ngobrol sama orang di dunia nyata pun jadi hambar,” potong Mona sembari meletakkan gelas di meja.

Clarissa: “Iya, aku juga ngerasain itu. Kayaknya otak kita jadi terlalu fokus pada satu hal terus-menerus tanpa hiraukan lingkungan lagi ada apa, atau siapa. Ini normal nggak sih?” sahut Clarissa sambil menggulung mie dengan garpu sebelum disuapkan di mulutnya.

Kondisi yang sedang dialami Mona dan Clarissa merupakan contoh kecil dari jutaan anak, dan remaja saat ini. Dalam waktu keseharian, mereka lebih banyak berkutat dengan gadget daripada melakukan aktivitas yang lebih bermanfat, seperti belajar, menekuni profesi atau menjalani hobi mereka.

Parahnya, sebenarnya kondisi tersebut tak hanya terjangkit di kalangan mereka yang masih kategori anak-anak atau remaja saja. Jangan-jangan kita, yang sudah tua-tua, pun telah terjangkit kondisi seperti Mona dan Clarissa, yakni kondisi telah terjangkit ‘brain rot’, namun tak menyadarinya!

Gerogoti Fokus dan Produktivitas

Istilah ‘brain rot’ belakangan ini menjadi populer di kalangan Gen Z dan para pengguna aktif media sosial seperti TikTok, Twitter (X), dan Reddit. Meski terdengar seperti istilah medis, sebenarnya ‘brain rot’ hanyalah slang atau istilah gaul yang menggambarkan kondisi mental tertentu akibat konsumsi konten digital yang receh, remeh dan tak berbobot secara berlebihan dengan tak pandang waktu.

Meski bagi sebagian orang browsing media sosial sebagai media untuk menambah wawasan dan relaksasi pikiran di tengah padatnya rutinitas, pun tidak sedikit pula yang menganggapnya sebagai distraksi. Yaitu, pengalihan perhatian yang menyebabkan seseorang tergerogotinya fokus dari tugas atau kegiatan utama yang sedang dilakukan sehingga menurunkan produktivitas. Bagi anak-anak dan remaja, ini akan merugikan perkembangan mentalnya.

Akibatnya, terlalu sering menonton konten remeh dan receh di internet dapat menurunkan konsentrasi dan memberikan dampak negatif, terutama secara psikologis. ‘Brain rot’ menjadi istilah populer untuk menggambarkan kondisi tersebut, lantaran tak sedikit yang mengalaminya. Istilah ‘brain rot’, banyak digunakan sepanjang tahun 2024 dan terpilih sebagai Oxford Word of the Year di tahun itu oleh Oxford University Press.

Dilansir dari Oxford University Press (2024), “Brain rot named Oxford Word of the Year 2024” bahwa ‘brain rot’ merujuk pada berkurangnya kemampuan otak akibat keseringan menonton konten daring berkualitas rendah. Dampaknya, seseorang akan menjadi tidak bersemangat setiap selesai browsing di internet sehingga merusak kemampuan untuk berinteraksi di dunia nyata.

Secara harfiah, ‘brain rot’ berarti ‘pembusukan otak’. Namun, dalam konteks internet, istilah ini lebih merujuk pada perasaan ketika seseorang merasa otaknya seperti ‘rusak’ atau ‘tumpul’ karena terlalu banyak menyerap konten dangkal atau kurang bermutu dengan berulang-ulang,. Akibatnya, seseorang bisa merasa kehilangan fokus, tidak produktif, bahkan merasa ‘bego sendiri’, di samping kemampuan bersosial rendah sekali.

Fenomena ini sangat mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, seseorang bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk menonton video TikTok tanpa sadar waktu sudah lewat, hingga tugas atau pekerjaan pun terbengkalai. Contoh lainnya adalah mengulang-ulang satu meme atau video absurd yang viral, sampai menjadi obsesi pribadi.

Tidak sedikit pula anak-anak dan remaja yang kecanduan mengikuti drama online, konten fandom, atau postingan tak penting lainnya yang tidak memberi manfaat signifikan, namun tetap dinikmati tanpa henti, bahkan hingga larut malam. Bahkan, bermain game nonstop bukan lagi sebagai sarana hiburan, namun sudah menjadi pelarian yang membuat otak terasa mati rasa.

Ciri-Ciri dan Penyebabnya

Ada beberapa ciri yang bisa menunjukkan bahwa seseorang sedang mengalami ‘brain rot’. Di antaranya adalah kesulitan fokus dan berkonsentrasi, mudah terdistraksi, merasa jenuh atau hampa tetapi tetap aktif di media sosial, serta tertawa sendiri karena hal-hal konyol yang tidak jelas alasannya. Ironisnya, walau muncul rasa bersalah setelah menghabiskan waktu secara tidak produktif, namun kebiasaan itu tetap diulang-ulang.

Apa sebab hal itu begitu umum terjadi? Beberapa jawabannya adalah karena konten receh dan cepat mampu memberi sensasi dopamin instan, kesenangan yang cepat, dan mudah diakses. Ketika dunia nyata terasa penuh tekanan dan tanggung jawab, mengonsumsi konten semacam ini menjadi bentuk pelarian dari stres. Tak jarang pula, faktor FOMO (Fear of Missing Out) mendorong seseorang untuk terus mengikuti tren, meme, atau video viral yang ramai dibicarakan.

Namun, apakah ‘brain rot’ selalu berdampak buruk? Tidak selalu. Kadang-kadang, itu hanyalah bentuk istirahat sementara atau coping mechanism untuk meredakan pikiran. Tetapi jika kebiasaan ini mulai mengganggu fokus belajar, pekerjaan, dan menurunkan motivasi, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan untuk melakukan detoks digital. Lebih-lebih bagi anak-anak dan para remaja yang ststusnya masih sebagai pelajar dan mahasiswa.

Tips Cegah ‘Brain Rot’

Bagi anak-anak dan remaja di era digital seperti saat ini, otak bisa dengan mudah ‘lelah’ akibat paparan tanpa henti dari berbagai konten yang tak mengedukasi atau menginspirasi. Maka, peran orangtua tak cukup hanya melarang atau membatasi penggunaan gadget, namun juga meneladani dengan aksi membatasi penggunaan gadget itu sendiri. Orangtua adalah guru pertama dan utama dalam menanamkan pembiasaan dan pembentukan karakter bagi anak.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut cara sederhana namun efektif untuk mengurangi ‘brain rot’ dan mengembalikan kesegaran pikiran agar hidup terasa lebih terarah, di antaranya:

Buat Jadwal Harian

Untuk ‘menghidupkan otak’, sisihkan waktu setiap hari untuk aktivitas yang merangsang pikiran, seperti membaca buku (baik buku fiksi maupun nonfiksi), menulis, menonton film dokumenter, mendengarkan podcast informatif, atau memainkan puzzle dan menekuni hobi. Aktivitas ini tidak hanya menyenangkan, namun juga menjaga otak tetap aktif dan tajam.

Buat Aturan Main dengan Gadget

Upayakan mulai dengan membatasi waktu berselancar di media sosial, misalnya hanya 30 menit per hari untuk TikTok, Instagram, Facebook, atau googling. Gunakan fitur ‘Screen Time’ atau ‘Digital Wellbeing’ di ponsel untuk memantau kebiasaan penggunaan digital, dan coba pindahkan aplikasi media sosial ke halaman belakang layar utama agar tidak mudah diakses secara impulsif.

Latih Fokus dan Kesadaran Diri melalui Mindfulness

Coba praktikkan meditasi singkat selama lima menit sehari dengan bantuan aplikasi gratis seperti Headspace atau Medito. Bisa juga dengan journaling, menulis isi pikiran tiap pagi atau malam. Bahkan jalan kaki tanpa menggunakan ponsel, hanya menikmati suasana sekitar sebagai aktivitas olahraga rekreatif, bisa jadi latihan ‘mindfulness’ yang menyegarkan dan menyehatkan.

Tantang Diri Jalani 30 Hari Produktif

Buat target kecil setiap hari, seperti belajar satu kata baru, membaca lima halaman kitab suci, buku pengetahuan, 30 hari bercerita, atau menunda membuka media sosial sampai malam. Jika konsistensi ini berhasil tentu akan menumbuhkan motivasi dari dalam diri dan rasa bangga atas pencapaian.

Temukan Teman yang Memiliki Frekuensi Sama

Mempunyai support system dari teman yang memiliki frekuensi, misi dan hobi yang sama akan membuat upaya mengurangi ‘brain rot’ menjadi lebih seru. Misalnya, bergabung di komunitas fokus di bidang kesejarahan, fotografi, arsitektur kuno, running, bersepeda, dan lain-lain, maupun hingga menantang satu sama lain untuk menjalani ‘no-scroll day’.

*

Dengan upaya tersebut, seseorang, khususnya kalangan anak-anak dan remaja, bisa mulai mengembalikan kejernihan pikiran dan memperkuat arah hidup. Hidup akan lebih fokus dan terarah bukan hal mustahil asal kita mau mulai dari langkah-langkah kecil lebih dahulu. Lantaran saat pikiran segar, ide-ide cemerlang dan kreativitas pun akan lebih mudah mengalir.

Sebagai himbauan kepada para orangtua, mari upayakan mencegah otak anak-anak dan remaja kita dari ‘brain rot’ mulai saat ini dengan aktif mengotrol penggunaan gadget mereka. Dampingi mereka untuk membangun kebiasaan sehat secara digital, ajak berdiskusi, dan jadilah teladan dalam mengelola waktu serta memilih konten yang bermanfaat!

Sumber:
Oxford University Press, https://corp.oup.com/news/brain-rot-named-oxford-word-of-the-year-2024/

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *