“Maklum, Kan Dia Masih Anak-Anak!”

“Maklum, Kan Dia Masih Anak-Anak!”
Share this :

Sebuah Kalimat yang Perlu Dikaji Ulang oleh Para Orangtua
demi Perkembangan Mental dan Pembentukan Karakter Anak

Memasuki usia dua hingga tujuh tahun, atau hingga awal masa sekolah dasar, anak-anak mulai menunjukkan perkembangan perilaku tentang berbagai emosi, termasuk di dalamnya ledakan emosi atau tantrum. Dalam situasi seperti ini, reaksi orangtua menjadi kunci penting dalam perkembangan mental dan pembentukan karakter anak.

Namun, tak jarang kita mendengar kalimat, “Maklum, kan dia masih anak-anak!”, sebuah ungkapan bernada pembiaran, yang seolah membenarkan perilaku kurang tepat dari anak tanpa memberikan arahan yang membangun. Padahal, cara pandang ini, jika terus dipelihara, dapat berdampak negatif dalam jangka panjang terhadap pembentukan sikap dan tanggung jawab anak.

Sebagian orangtua, baik ibu maupun ayah, masih menganggap wajar ketika anak menunjukkan perilaku yang tidak tepat, seperti tantrum maupun melakukan kesalahan lain, dan memilih untuk membiarkannya. Kalimat “Maklum, kan dia masih anak-anak!” seakan menjadi pembelaan, tanpa memikirkan dampaknya terhadap proses belajar anak dalam mengenal benar dan salah. Ini, sama halnya membela anak tanpa membelajarkan tanggung jawab.

Memberikan kelonggaran secara terus-menerus bisa membuat anak tidak terbiasa untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Anak-anak memang belum memiliki kemampuan berpikir dan mengontrol emosi secara utuh, ini bukan berarti mereka tidak bisa belajar. Justru, masa kanak-kanak adalah masa paling penting untuk menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan, seperti empati, tanggung jawab, dan kemampuan menyelesaikan masalah.

Sebuah Sharing: Mengelola Tantrum dengan Bijak

Mengutip sebuah sharing menarik di akun facebook yang dibagikan oleh Andhika Pramudya, mantan murid saya di SMP Negeri 23 Surabaya yang saat ini tinggal dan bekerja di Jepang. Saat liburan akhir tahun, istri dan putrinya yang berusia tiga tahun, pulang ke Surabaya. Di tengah momen liburan, putrinya tiba-tiba tantrum karena permintaannya untuk dibelikan ‘nori bentuk Anpanman’ tidak langsung dipenuhi.

Ketika sang mama menelepon Andhika untuk meminta persetujuan soal pembelian ‘nori bentuk Anpanman’ tersebut, Andhika memutuskan untuk menunda permintaan itu. Ia ingin mengajarkan bahwa tidak semua keinginan harus langsung dituruti, apalagi tanpa alasan yang mendesak. Putrinya pun menangis hebat, berteriak-teriak selama sekitar 40 menit.

Namun, Andhika memilih untuk tetap tenang. Ia membiarkan putrinya mengeluarkan emosinya sampai tenang, sambil tetap mendampingi dari jauh via telepon. Bagi Andhika, ini adalah momen penting untuk menunjukkan bahwa menangis bukanlah alat untuk memaksakan keinginan agar orangtua selalu menuruti keinginan atau permintannya.

Keputusan ini tentu tidak mudah, justru memberikan pesan yang kuat bahwa emosi boleh diekspresikan, namun bukan untuk memanipulasi atau menghindari proses belajar. Ini adalah bentuk pengasuhan penuh kesabaran, cinta, dan ketegasan. Anak diajak untuk mengenali perasaannya. Dengan begitu, dia belajar bahwa cinta dari orangtua tidak selalu berarti menuruti keinginannya, namun membentuknya menjadi pribadi yang bertumbuh positif dan tangguh.

Ajarkan Pahami Kesalahan bukan Berarti Menghukum

Sebagaimana Piaget, Jean (1952) dalam bukunya The Origins of Intelligence in Children, secara garis besar Piaget menjelaskan bahwa anak-anak pada usia pra-operasional (sekitar usia 2–7 tahun) masih berada dalam tahap egosentris dan belum mampu memahami perspektif orang lain secara menyeluruh. Namun, justru pada tahap ini penting untuk memperkenalkan batasan dan konsekuensi agar mereka belajar memahami struktur sosial.

Anak-anak pada usia tersebut, mereka berada pada tahap di mana mereka mulai mengembangkan imajinasi, tetapi belum mampu berpikir logis secara penuh. Ini menjelaskan mengapa anak sering tantrum karena keterbatasan dalam mengelola emosi dan logika. Mereka cenderung melihat dunia dari sudut pandang mereka sendiri, dan belum mampu memahami sudut pandang orang lain.

Misalnya, ketika mereka menginginkan sesuatu seperti mainan, makanan, atau perhatian, tak langsung mendapatkannya akan merasa kecewa. Mengapa? Mereka belum memahami konsep penundaan, kompromi, atau prioritas. Tantrum menjadi ekspresi emosional karena mereka belum memiliki kemampuan verbal dan regulasi diri untuk mengungkapkan perasaan mereka secara benar.

Oleh karena itu, peran orangtua sangat penting untuk menjadi penenang dan penuntun emosi anak, bukan sekadar pemenuh keinginan. Kesabaran dan konsistensi dalam memberikan batasan serta pengertian yang sesuai dengan usia mereka akan membantu anak belajar mengenali, memahami, dan mengelola emosinya dengan lebih baik seiring bertambahnya usia.

Mengajarkan anak untuk memahami kesalahan bukan berarti menghukum secara keras atau menuntut secara berlebihan. Yang diperlukan adalah ketegasan yang dibalut dengan kasih sayang. Ketika anak melakukan kesalahan, orangtua bisa membimbingnya dengan cara menjelaskan dampak dari perbuatannya, mengajaknya meminta maaf jika menyakiti orang lain.

Di samping itu, penting pula orangtua menunjukkan bagaimana cara memperbaiki kesalahan tersebut. Anak yang dibiasakan untuk memahami konsekuensi dari tindakannya akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih tangguh, bertanggung jawab, dan mampu berempati. Mereka belajar bahwa setiap tindakan memiliki dampak, dan bahwa memperbaiki kesalahan adalah hal yang mesti dilakukan setiap orang.

Prinsip dalam kalimat “Maklum, kan dia masih anak-anak!” sebaiknya tidak dijadikan pembenaran untuk setiap perilaku negatif anak. Alih-alih menjadi bentuk kasih sayang, sikap ini justru bisa menghambat perkembangan karakter dan kedewasaan emosional mereka. Padahal membangun karakter anak sejak usia dini itu sangat penting sebagai fondasi perilaku.

Sebaliknya, orangtua perlu menjadi pemandu yang sabar dan konsisten dalam mengarahkan anak. Dengan cara ini, anak akan belajar bahwa menjadi lebih baik dan bertanggung jawab adalah proses yang dimulai sejak dini. Pun, bahwa cinta dari orangtua bukan berarti menuruti semua keinginan, melainkan membentuk mereka menjadi pribadi yang kuat, berempati, dan mandiri.

Featured Image by: Monica – AI

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *