Meski late post, tulisan ini sebagai rangkaian membersamai PSL (Pernak-Pernik Surabaya Lama) dalam acara bertajuk “PSL Goes to Sumenep”. “PSL Goes to ….” adalah agenda blusukan khas PSL bertagar #blusukanedan tak hanya di Kota Surabaya, pun di berbagai kota lain. “PSL Goes to Sumenep”, yakni jalan-jalan sambil blusukan explore sejarah bangunan kuno di Kota Sumenep dan sekitarnya, Sabtu (30/11/2024) hingga Minggu (1/12/2024).
Di Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, terdapat sebuah tradisi unik yang tak bisa ditemukan di tempat lain, masyarakat setempat dikenal sebagai “manusia pasir”. Julukan ini bukan tanpa alasan. Dalam kehidupan sehari-hari, pasir bukan hanya elemen alam yang biasa ditemui, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari ritme hidup mereka.
Disebut manusia pasir di sini bukan seperti tokoh manusia pasir atau Sandman si Flint Marko, seorang buron, secara tidak sengaja terperosok ke dalam area eksperimen ilmiah rahasia. Sebuah mesin molekular yang dirancang untuk memanipulasi partikel. Secara tidak sengaja mengubah tubuhnya menjadi pasir hidup dalam film “Spider-Man 3” (2007), bagian dari trilogi Spider-Man besutan sutradara Sam Raimi.
Flint Marko menjadi salah satu musuh Spider-Man, nasibnya mengalami tragis dari kejaran polisi lantaran melarikan diri dari penjara, sebenarnya ia berusaha menyelamatkan putrinya yang sakit parah. Ia pun muncul dalam film “Spider-Man: No Way Home” (2021), bagian dari Marvel Cinematic Universe (MCU), kembali diperankan oleh aktor yang sama, Thomas Haden Church.
Legung Timur dengan keyakinan masyarakat setempat, yang hidup di antara hamparan pasir pantai bahwa pasir ini mengandung energi alami yang mampu memberikan kenyamanan dan ketenangan. Pasir yang mereka gunakan bukan sembarang pasir, namun pasir ini diambil dari pantai tanah kelahiran sekitar desa mereka, yang terkenal dengan butiran halus dan bersih.
Saat malam tiba, waktunya untuk beristirahat, alih-alih mereka beristirahat di atas ranjang empuk, namun banyak dari mereka memilih untuk tidur di hamparan pasir, entah itu di halaman, emperan maupun dalam kamar dengan ruang berpasir. Mereka meyakini tidur di atas pasir memberikan kualitas istirahat jauh lebih baik, serasa tubuh dipeluk oleh bumi yang hangat.
Rhiyananta, local guide, menceritakan bahwa menurut kisah turun-temurun, tradisi ini sudah berlangsung selama beberapa generasi. Awalnya, kebiasaan ini dilakukan oleh para nelayan sepulang dari melaut. Mereka merasa lebih nyaman merebahkan diri di atas pasir pantai untuk menghangatkan tubuh setelah berjam-jam diterpa angin laut. Seiring waktu, kebiasaan ini menjadi tradisi yang diikuti oleh warga lain hingga kini menjadi identitas budaya.
Pasir berperan dalam banyak aspek kehidupan mereka. Saat beraktivitas di rumah, beberapa warga meletakkan pasir dalam wadah besar untuk dijadikan alas kaki atau tempat duduk. Pasir dianggap membantu melancarkan peredaran darah, memberikan efek relaksasi, dan menyembuhkan rasa penat. Pada acara-acara adat, pasir pantai acapkali digunakan sebagai simbol kemurnian dan perlindungan, tambahnya.
Fenomena ini juga menggambarkan hubungan mendalam antara manusia dan alam di Legung Timur. Masyarakat setempat memandang pasir bukan sekadar benda mati, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dihormati dan dijaga keberadaannya. Mereka percaya bahwa harmoni dengan pasir adalah cerminan dari keseimbangan mereka dengan lingkungan, pungkas Rhiyananta.
Bagi masyarakat luar, tradisi ini mungkin tampak aneh atau tidak lazim. Namun, bagi masyarakat Legung Timur dan desa sekitarnya, ini bentuk cinta mereka pada tanah kelahiran, pada elemen pasir yang mereka anggap sebagai anugerah dari Sang Pencipta. Justru berasal dari kedekatan mereka dengan alam, dan akar budaya sehingga membentuk identitas diri. Unik dan ikonik.
Jika suatu saat Anda berkunjung ke Sumenep, silakan singgah di Legung Timur, atau desa sekitarnya. Jarak sekitar 26 km dari pusat Kota Sumenep, waktu tempuh sekitar 1 jam berkendara roda dua maupun roda empat. Coba rasakan sensasi tidur di atas pasir. Siapa tahu, Anda pun akan merasakan relaksasi dan kehangatan yang selama ini hanya menjadi cerita dari tanah Madura.
*
Meski sangat nyaman, perlu dipertanyakan bagaimana dengan faktor kesehatan, mungkinkah berisiko terserang sejumlah penyakit, seperti diare, asma, kulit, hingga tuberkulosis? Mengingat mereka setiap hari melakukan aktivitas di atas pasir, sementara benda tersebut bisa termasuk sebagai sumber penyakit. Bakteri atau jamur yang tumbuh di dalamnya berkontribusi mendatangkan penyakit tertentu.
Acara #blusukanedan PSL diikuti oleh 12 anggota, yakni Chrisyandi Tri Kartika (founder PSL, yang juga sebagai pustakawan di Universitas Ciputra Surabaya), Stefanus Nuradhi, Nur Badriyah, Mak Ririe, B.G. Fabiola Natasya, Maya Winata Lim, Citra Rachman, Rimbun Vidi Rahman, Sakuntala Verlista, Tama Dinie, Devi Anggia, dan Ali Muchson.
Biarkan Foto Bicara
Manusia Pasir di Legung Timur, Sumenep: Simbol Tradisi dan Harmoni dengan Alam