Seiring Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengembangkan destinasi wisata Kota Lama Surabaya, khususnya Zona Eropa, adalah kawasan yang merekam sejarah panjang perkembangan Kota Surabaya sejak abad ke-17 hingga ke-20. Terkait itu, PSL ajak blusukan di Zona Eropa tersebut bagi anggota maupun pemerhati bangunan peninggalan, Senin (17/6/2024) petang.
PSL (Pernak-Pernik Surabaya Lama), komunitas tempat berkumpulnya orang-orang yang bukan saja mencintai Surabaya dengan literatur dan pernak-pernik bangunan bersejarah peninggalan zaman kolonial Belanda, namun dikenal pula sebagai tempat berkumpulnya orang-orang sebagai pecinta #BlusukanEdan. Blusukan sambil pepotoan demi turut mengabadikan bangunan cagar budaya.
Ketua PSL Chrisyandi Tri Kartika menuturkan babwa kegiatan dengan tagline #blusukanedan ini bertujuan melihat dari dekat untuk menawarkan pengalaman baru bagi para anggota maupun pemerhati bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda, khususnya di Zona Eropa. Saat itu, kawasan tersebut tak hanya sebagai pusat kota, pun sebagai pelabuhan, industri, dan perdagangan yang dihuni berbagai etnik.
“Berdasarkan karakteristiknya, Kota Lama Surabaya saat itu terbagi menjadi tiga kawasan atau zona yakni zona Eropa, Pecinan, Arab dan Melayu,” tuturnya.
Acara #blusukanedan sambil pepotoan komunitas PSL diawali dari Monumen Mobil Brigadier A.W.S. Mallaby, kemudian bergeser ke Jalan Rajawali, Jalan Glatik, Jalan Mliwis, Jalan Merpati, Jembatan Merah (Roode Brug), Jalan Karet, Jalan Coklat, Jalan Slompretan, dan Jalan Kembang Jepun, pungkas Chrisyandi Tri Kartika, Staf Perpustakaan Universitas Ciputra Surabaya.
Sekilas tentang Pemukiman Kawasan Kota Lama Surabaya
Berdasar buku karya Handinoto yang berjudul “Komunitas Cina dan Perkembangan Kota Surabaya” bahwa meskipun Undang-Undang Wijkenstelsel berlaku pada tahun 1836, masih banyak orang Cina yang dengan leluasa menjalankan semua usahanya sampai di luar daerah Pecinan. Wienstchel adalah undang-undang yang dikeluarkan tahun 1835 (dimuat dalam Staatsblad van Nederlansch Indie No.37, selanjut Shootshind 1866 No. 57).
Undang-Undang Wijkenstelsel mengharuskan orang Cina dan orang Timur Asing lainnya berdiam di wilayah yang ditentukan (bagi orang Cina disebut orang Fecinan). Bagi mereka yang melanggar dan tinggal di luar Pesan akan dikenakan sangsi penjara atau denda sebesar 25-100 Gulden Undang-undang tersebut secara resmi dihapuskan pada tahun 1924.
Pola pembangunan perumahan permanen orang-orang Eropa yang hanya dilakukan di sepanjang jalan utama, menyisakan persoalan tersendiri karena di balik pemukiman orang-orang Eropa yang megah ternyata terdapat perkampungan milik masyarakat pribuma yang ujudnya sangat kontras, menjudi anak tiri dari proses perkembangan dan pembangunan kota

Pola ini masih membekas dan menjadi ciri kota Surabaya sampai saat ini. Ada satu ungkapan sindiran yang menarik yang diucapkan oleh orang-orang Belanda untuk menggambarkan kondisi Kota Surabaya, Soerabaia van buiten blink, van binen sting. Maksudnya ialah Surabaya hanya terlihat indah dari luar pada jalan utamanya saja, padahal di balik bangunan tersebut terletak lingkungan kampung kumuh.
Dengan hak istimewa untuk mengatur kehidupan mereka, maka bangsa Eropa di Kota Surabaya juga memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur kota. Dengan hak mutlak tersebut mereka bisa memilih di mana mereka akan tinggal, dan dengan tempat seperti apa mereka akan tinggal. Pilihan-pilihan mereka tentu saja akan jatuh pada tempat yang paling strategis, yaitu kawasan sepanjang tepi sungai, di mulai dari kawasan sekitar Jembatan Merah menuju ke selatan.

Ketika mereka memilih kawasan tersebut, mereka mungkin membayangkan bahwa Kota Surabaya akan dikembangkan seperti kota-kota di negeri Belanda, karena hampir semua bangunan dibangun menghadap ke kanal. Ketika kawasan Jembatan Merah, sebagai kawasan pertama Eropa, dirasakan tidak memadai lagi untuk permukiman dan perkantoran, maka dengan kekuasaan yang dimiliki, mereka merencanakan untuk melakukan pengembangan ke arah selatan.
Kawasan pertama yang direncanakan untuk lokasi permukiman adalah daerah Keputran. Tanah yang dialokasikan untuk daerah perumahan tersebut luasnya satu juta meter persegi, dibatasi oleh Jalan Simpang, Jalan Kayoon, Keputran, dan Kalasin. Pada 1838 tanah partikelir tersebut dikuasai oleh perusahaan Bouwmaatschappij Keputran. Perusahaan ini kemudian membangun rumah-rumah dengan tujuan untuk disewakan di sepanjang Palmenlaan, tetapi usaha tersebut kurang begitu lancar sehingga perusahaan tersebut kurang begitu lancar.
Tangkapan Mata Lensa
PSL Ajak Blusukan Explore “European Zone in Surabaya” Tempo Dulu




























