Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang, Awal Usahanya Tahun 1915 hingga Kini Masih Bertahan

Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Share this :

Kegiatan dalam Rangka #BlusukanEdan PSL (Pernak Pernik Surabaya Lama) Goes to Semarang

“Cuma segelas kopi yang bercerita kepadaku bahwa yang hitam tak selalu kotor dan yang pahit tak selalu menyedihkan.”

Salah satu cuplikan dialog di film Filosofi Kopi (2015), film besutan sutradara Angga Dwimas Sasongko. Filosofi Kopi adalah film nasional hasil kompilasi dari kumpulan cerita pendek dan prosa karya Dewi Lestari Simangunsong, atau dikenal nama penanya dengan sebutan Dee, yang diluncurkan pada tahun 2006.

Kopi acap kali dianggap lebih dari sekadar minuman, dia adalah simbol dan medium untuk merenung, merasakan, dan mengartikan berbagai aspek kehidupan. Filosofi kopi muncul dari hubungan yang mendalam antara rasa kopi yang khas seperti pahit, manis, atau kombinasi keduanya dengan pengalaman hidup seseorang.

Setiap kali tegukan kopi adalah sebuah cerita, setiap rasa adalah sebuah pengalaman, dan setiap cangkir adalah sebuah dunia kecil yang menyimpan filosofi yang kaya akan makna. Jadi, filosofi kopi adalah tentang bagaimana seseorang menghubungkan rasa dan pengalaman hidup mereka dengan minuman ini, menciptakan refleksi diri yang mendalam tentang suka, duka, dan harapan.

Ya, jauh-jauh dari Surabaya ke Semarang saya membersamai PSL (Pernak-Pernik Surabaya Lama) dalam #blusukanedan bertajuk “PSL Goes to Semarang” dan bernarasi “Mengulik Jejak Arsitektur Kuno, Menghidupkan Sejarah” berkunjung di Margo Redjo, tempat penyangraian kopi (coffee roastery) di Jalan Wotgandul Barat 14, Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa tengah, Sabtu (24/8/2024).

Bukan ingin mengulas filosofi kopi di sini, sembari mencicipi kopi rombongan PSL ingin mengulik sejarah coffee roastery Margo Redjo yang awal usahanya pada 1916 dengan mendirikan pabrik penyangraian kopi Eerste Bandoengsche Electrische Koffiebranderij “Margo-Redjo” di Cimahi, Bandung. Kemudian Tan Tion Ie, pendiri, pulang ke Semarang pada 1925, melanjutkan Margo Redjo di Semarang.

Hingga kini, 2024, usaha penyangraian kopi diteruskan oleh generasi ke-3, Widayat Basuki Dharmowiyono (Tan Tjoan Pie, 79). Di sini, tak hanya tentang penyangraian kopi, namun Margo Redjo juga bertempat di kompleks rumah dengan arsitektur peninggalan zaman kolonial Belanda. Itu salah satu daya tarik yang menyedot para pemerhati arsitektur kuno selain mencicipi kopinya, termasuk PSL.

Berkat hubungan baik Sylvi Mutiara dengan sang empunya Margo Redjo, Widayat Basuki Dharmowiyono atau lebih dikenal dengan panggilan Basuki, rombongan PSL diterima dan langsung diajak keliling untuk melihat mesin-mesin coffee roastery , baik mesin tua yang masih manual, mesin yang lebih modern di zamannya, maupun mesin yang digunakan saat ini.

Usai keliling di rumah mesin coffee roastery , sembari menikmati kopi sore di halaman depan rumah, rombongan PSL mendapatkan cerita panjang lebar seputar silsilah keluarga, pasang surut usaha coffee roastery Margo Redjo, dan arsitektur rumah warisan leluhur. Hadir turut membersamai Basuki, sejumlah pakar sejarah dan arsitektur bangunan kuno Kota Semarang, yakni Tjahjono Rahardjo, Krisprantono, Liang-Thay Siek, dan Pippo Agosto.

Bahkan Basuki mengajak rombongan masuk ke dalam rumah utama, menunjukkan gaya dan ragam arsitektur bangunan, dan berbagai koleksi leluhur yang masih ada hingga saat ini. Namun ada catatan, tidak boleh memotret saat di dalam rumah. Basuki tak sembarang bisa mengajak tamu masuk di rumah mesin coffee roastery, apalagi di rumah utama. Agar dapat detail tentang Margo Redjo, dia menyilakan saya untuk membaca tulisan Silvia Galikano.

“Jika ingin tahu secara detail tentang Margo Redjo ada di tulisan Silvia Galikano, silakan dicari!” tutur Basuki kepada saya dan Agris Riski, yang terakhir keluar dari dalam rumah utama, Sabtu (24/8/2024) petang.

Lewat berselancar di https://silviagalikano.wordpress.com/2017/11/26/rumah-kopi-semarang/, saya menyimpulkan tulisan Silvia Galikano ada tiga hal yang disampaikan, yakni tentang silsilah keluarga, sejarah Margo Redjo tempat coffee roastery , dan arsitektur bangunan Rumah Kopi Semarang. Berkat membaca tulisan tersebut, saya merangkumnya agar lebih runtut sebagai berikut:

Silsilah Keluarga

Silsilah adalah sebuah catatan atau daftar yang menunjukkan garis keturunan atau asal-usul sebuah keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Catatan tersebut biasanya disusun dalam bentuk pohon keluarga atau diagram yang menghubungkan anggota keluarga dari nenek moyang hingga keturunan yang paling muda. Silsilah keluarga Widayat Basuki Dharmowiyono sebagai berikut:

Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Sumber: Silvia Galikano

Leluhur Basuki yang pertama datang ke Nusantara adalah Tan Bing atau Juragan Bing, dari Hokkian/Fujian di Tiongkok pada 1790-an. Sedangkan keturunan Tan Bing yang pertama menghuni rumah ini adalah Tan Ing Tjong (1837 – 1899, cicit Tan Bing), seorang pemegang pacht garam dan opium pada akhir abad ke-19.

Sebelum dimiliki Tan Ing Tjong, rumah ini milik kerabat Tan Ing Tjong, juga pemilik pacht garam namun merugi sehingga menjual rumahnya. Generasi kedua yang mendiami rumah ini adalah Tan Tjien Gwan, dan diteruskan Tan Tiong Ie, juga pemegang pacht garam. Nahas, Tan Tiong Ie, yang tak lain kakek Basuki, merugi besar hingga keuangannya morat-marit dan terjerat utang.

Alexander Claver dalam Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java: Colonial Relationships in Trade and Finance, 1800-1942 (2014), merupakan disertasinya di Vrije Universiteit, Belanda, menuliskan, setelah berhasil membayar kembali utang-utang berkat bantuan teman-teman dan kerabat, Tan Tiong Ie memboyong keluarganya ke Cimahi.

Margo Redjo Awal hingga Bangkit

Keluarga ini menorehkan takdir barunya pada 1915 ketika memutuskan mencoba peruntungan di bidang kopi dengan mendirikan pabrik penyangraian kopi Eerste Bandoengsche Electrische Koffiebranderij “Margo-Redjo” di Cimahi. Margo Redjo, bahasa Jawa yang berarti “Jalan Kemakmuran”, menjual bubuk kopi ke pedagang grosir dan eceran.

Cimahi, kota di sebelah barat Kota Bandung, Tan Tiong Ie memulai hidup baru. Awalnya dia membuka toko roti kecil, sebagaimana hobi istrinya membuat roti, dan berbisnis kayu. Berkat kedua usaha tersebut, yang membuatnya bisa bernapas longgar walau bukan sukses besar.

Tan Tong Ie pulang ke Semarang pada 1925 sewaktu perusahaan belum lama berjalan, namun dia melanjutkan Margo Redjo di Semarang. Alat-alat produksi yang saat itu masih sederhana, dibawa pindah ke Semarang, termasuk alat sangrai besar model pertama yang berbentuk bulat berbahan bakar kayu (versi lebih modern pada 1930-an menggunakan bahan bakar gas).

Ada kemungkinan dia dipanggil pulang ibunya, lantaran kala itu ibunda Tan Tong Ie, Goei Joe Nio, masih hidup dan tinggal di Semarang. Di Semarang, Tan Tiong Ie sempat membuka pabrik es juga, tetapi karena tak memberi banyak keuntungan, dia berfokus pada penyangraian kopi Margo Redjo.

Ruang belakang, rumah Jalan Wotgandul Barat, menjadi tempat produksi baru kopi Margo Redjo. Karyawannya terus bertambah sampai-sampai perlu sirine sebagai penanda dimulai dan berakhirnya waktu istirahat. Bangunan di tenggara rumah utama menjadi kantor dan rumah tinggal Tan Liang Hoo, putera sulung Tan Tiong Ie, yang juga aktif mengelola Margo Redjo.

Meski dimulai dari awal lagi, tak sulit bagi Margo Redjo merebut pasar kopi mengingat belum adanya saingan di segmentasi yang sama. Claver menuliskan bahwa kunci sukses perusahaan itu adalah strategi pemasaran yang cerdas, yang dikendalikan dengan keras oleh Tan Liang Hoo sehingga segera mendapat sambutan pasar.

Tan Liang Hoo, dia punya ketertarikan besar pada produksi dan teknik pemasaran serta selalu mengikuti informasi mutakhir dunia dengan membeli majalah serta buku-buku terkait dengan perkopian. Dia juga punya ide kreatif dan original untuk pemasaran dan kampanye kehumasan.

Strategi itu di antaranya Margo Redjo memproduksi beragam kualitas kopi dengan merek dan harga berbeda-beda. Tjap Grobak Idjo adalah yang paling murah, sementara Tjap Margo Redjo yang paling mahal. Di antara keduanya ada Tjap Pisau, Tjap Orang-Matjoel, Koffie Sentoso, Koffie Mirama, dan Koffie Sari Roso.

Margo Redjo juga membedakan kemasan untuk pedagang grosir dan untuk pelanggan perorangan. Pedagang eceran juga bisa memesan label khusus dengan merek mereka sendiri, model dan strategi pemasaran tersebut yang saat itu belum umum dipraktikkan oleh berbagai kalangan pengusaha.

Lantaran itu, jaringan distribusi makin berkembang. Selain hingga daerah-daerah terpencil di Jawa, juga sampai di Lampung, Makasar, dan Singapura. Margo Redjo juga gencar mengiklankan produknya di koran-koran, ikut pameran, memberi bonus, dan mengadakan lomba berhadiah. Tan Liang Hoo sendiri sebagai copy writer sekaligus desainer untuk iklan, flyer, dan poster Margo Redjo.

Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Duduk depan Tan Tiong Ie dan istri, Kwee Sik Yang. Belakang adalah anak-anak mereka (ki-ka) Tan Liang Hoo, Tan Liang Tjay, dan Tan Sioe Nio. (Dok. Widjajanti Dharmowijono). Sumber: Silvia Galikano

Tan Tiong Ie masuk dalam kategori Orang-orang Tionghoa (tahun 1935) yang memuat daftar orang Tionghoa terkaya di Pulau Jawa. Dia disebut sebagai pengusaha Tionghoa pertama yang mengekspor kopi ke negara lain dengan jumlah ekspor mencapai satu juta kilogram kopi setiap tahun.

Margo Redjo menjadi perusahaan sangrai kopi atau coffee roastery yang terbesar di Pulau Jawa, yang mempekerjakan puluhan pekerja. Sehingga Tan Tiong Ie mampu mengirim Tan Liang Hoo, anaknya, kuliah hukum di Leiden, di salah satu universitas paling bergengsi di Belanda.

Ketika perang usai dan Indonesia merdeka, Margo Redjo kesulitan mengembalikan posisinya ke keadaan semula. Suasana yang tak tenang ini juga menyebabkan tak setiap hari karyawan Margo Redjo bisa datang, yang berakibat perusahaan tak bisa setiap hari berproduksi. Usaha kopi Margo Redjo pun mulai turun. Pesaing sudah menggantikan posisi lowong yang dulu ditinggalkan.

Widayat Basuki Dharmowiyono melanjutkan Margo Rejo, sekaligus Rumah Kopi warisan ayahnya, setelah dia lulus kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1975. Dia belajar sendiri teknik sangrai, bukan dari ayahnya. Saat itu ayahnya banyak mengarahkan Basuki untuk kuliah di jurusan hukum, bukan mengarahkan belajar tentang perkopian.

Hingga awal abad ke-20 Margo Rejo belum bisa kembali ke masa kejayaannya. Lantaran memiliki ketertarikan emosional dengan Margo Redjo, Basuki tidak mungkin akan menutup usahan ini. Malahan sejak 1990-an Basuki rela ‘nombok’ tiap bulan agar produksi berjalan terus. Menurutnya, bersyukur sekarang ini trennya naik. Selain coffee roastery, juga coffee cupping ada di sini, @dharmaboutiqueroastery

Ruang produksi lama sekarang jadi gudang. Ruang produksi sekaligus penjualan biji kopi sekarang ada di bangunan sayap barat. Di sini, biji kopi mentah dari berbagai daerah di Indonesia diolah dan dipanggang untuk kemudian dipasarkan dalam bentuk biji. Kafe-kafe yang kini menjamur di Semarang tak sedikit mendapat pasokan biji kopi dari Margo Rejo.

Mulai 2017 Basuki hanya menjual biji kopi, dengan alasan usia biji kopi lebih panjang dibanding bubuk kopi. Bubuk kopi hanya tahan delapan jam setelah digiling, setelah itu aromanya menurun tajam, dan sehari kemudian rasanya sudah berbeda. Sedangkan biji kopi tahan delapan hari setelah disangrai, setelah itu aromanya menurun, namun landai.

Rupanya Basuki pun mengikuti tren zaman, kini pengetahuan tentang kopi sudah dipunyai masyarakat yang lebih luas dibanding dahulu. Kedai kopi yang menjamur hingga kota-kota kecil, umumnya dikelola anak muda, pengunjungnya juga anak muda, dan mereka umumnya tahu bagaimana kopi berkualitas.

Dia tegaskan, paradigma Margo Rejo bukan lagi perusahaan yang menjual kopi bubuk, melainkan perusahaan sangrai kopi yang menjual biji kopi. Berbeda dengan ayah dan kakeknya dahulu, mereka menjual bubuk kopi dengan berbagai jenis kopi dan berbagai merk dagangnya.

Arsitektur Rumah Kopi Semarang

Rumah utama Margo Redjo terdiri atas dua lantai, bercat putih, berlanggam Indis, berdiri di tengah lahan seluas 2000 meter persegi, dikelilingi pohon tua dan tanaman perdu yang asri. Kolom-kolom art deco di lantai bawah menopang balkon yang kolomnya bergaya Tuscan dengan baluster besi, fascia kayu, dan verge board (papan berukir di ujung pertemuan dua atap).

Rumahtersebut beralamat di Jalan Wotgandul Barat 12-14, Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa tengah. Sekarang masuk kawasan Pecinan. Namun pada awal abad ke-20, saat pembatasan wilayah diterapkan ketat, rumah ini berada di luar Pecinan, berjarak tak sampai 100 meter di luar batas. Tak diketahui siapa pendiri dan kapan didirikannya, namun dari langgamnya dan ketika diurutkan silsilah ke atas, diperkirakan tahun 1850-an.

Penghuni sekarang adalah Widayat Basuki Dharmowiyono (Tan Tjoan Pie, 79), dia yang mewarisi dari sang ayah, Tan Liang Tjay (1907 – 1981). Basuki mengelola penyangraian kopi ( coffee roastery ) bernama Margo Rejo, usaha keluarga sejak kakeknya, Tan Tiong Ie (1883 – 1949). Itu sebab rumah ini dikenal masyarakat dengan sebutan Rumah Kopi.

Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Ruang tamu rumah utama. Sumber: Silvia Galikano

Basuki pun menciptakan budaya baru yang dia sebut “Budaya Basuki”, menjadikan pintu tengah, dari tiga pintu, sebagai pintu upacara (ceremonial door). Pintu tengah ini hanya dilewati anggota keluarga untuk pertama kali memasuki rumah dan untuk keluar rumah terakhir kalinya.

“Anggota keluarga baru, misalnya setelah menikah atau bayi yang baru lahir di klinik bersalin, begitu pertama kali dibawa pulang, lewatnya pintu ini. Lalu nanti keluarnya peti jenazah, lewat sini juga,” tutur Basuki kepada rombongan PSL saat di dalam rumah utama.

Seperangkat kursi yang ada di tengah ruang tamu masih kursi tamu yang ada di foto lama hitam putih, hanya kain pelapisnya yang sudah diganti. Di ruang tamu itu ada perabot yang menyita perhatian, berada di pojok kiri dari pintu utama, yakni lemari altar.

Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Kong Po atau Almari Altar, bergaya art deco (Foto: Silvia Galikano). Sumber: Silvia Galikano

Ada hal menarik, bukannya dengan ukiran khas Tionghoa, lemari altar ini bergaya art deco dan minim ukiran. Selain sebagai tempat mengenang dan menghormati leluhur, altar ini juga difungsikan sebagai tempat menyimpan sinci (papan arwah) tiga generasi ke atas, hingga Tan Tjien Gwan (1861 – 1914), kakek buyut Basuki.

Pembuat lemari altar art deco ini tidak main-main, adalah J. Th. van Oyen (1893-1944), arsitek Belanda ternama yang membangun Gereja Gereformeerd (1918) di Semarang, Gereja Santa Theresia (pembangunan 1933-1934) di Jakarta, dan Gereja Katedral Randusari di Semarang (pembangunan 1936-1937).

Di tengah-tengah lemari altar diukir karakter Mandarin yang berarti “Dapat mengikuti jejak leluhur”. Di kanan dan kiri altar dipasang papan bertuliskan karakter Mandarin, yang jika diartikan, “Walau lumut berukuran kecil, bermanfaat pula” dan “Sebaik-baiknya punya anak berkecukupan, lebih baik lagi kalau anak itu pandai.”

Di tengah masa jaya inilah, pada 1927, rumah mengalami renovasi, antara lain penambahan luas teras dari 10×2 meter menjadi 10×4 meter. Empat kolom di lantai bawah, yang sebelumnya sejajar dengan kolom di lantai atas, dimajukan. Bentuk kolom teras bawah pun diubah sesuai zaman, dari bergaya Tuscan menjadi art deco.

Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Dua pasang pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah. (Foto: Silvia Galikano). Sumber: Silvia Galikano

Renovasi yang juga mencakup ruang produksi di belakang dipercayakan kepada arsitek terkenal masa itu, Liem Bwan Tjie (LBT, 1891-1966), arsitek modern pertama yang berpendidikan Belanda dari kalangan Tionghoa-Indonesia. Liem Bwan Tjie banyak mengerjakan rumah mewah masyarakat Tionghoa di Semarang.

Dari kwitansi berangka tahun 1927, sebetulnya J. Th. van Oyen juga terlibat dalam renovasi rumah dan pabrik Margo Rejo, namun tidak diketahui apa lagi yang dikerjakan Van Oyen selain membuat lemari altar. Serta apakah J. Th. van Oyen dan Liem Bwan Tjie bekerja pada waktu bersamaan ataukah berselang beberapa tahun.

Kondisi keamanan tak stabil adanya perang, Tan Tiong Ie mengganti daun jendela yang sebelumnya adalah kaca patri, menjadi kayu. Daun pintu yang dari kaca patri pun ditambah daun pintu kayu sebagai pelindung. Tiap pintu ada dua pasang daun pintu, yang satu membukanya ke luar, sedangkan yang satu lagi membukaya ke dalam.

“Daun pintu dari kaca patri dan dari kayu itu sekarang masih terpasang di tempatnya, sedangkan keberadaan daun jendela kaca patri tak diketahui,” pungkas Widayat Basuki Dharmowiyono

Tangkapan Mata Lensa
BlusukanEdan di Margo Redjo, Penyangraian Kopi (Coffee Roastery)
Rumah Kopi Semarang

Bincang-Bincang tentang Margo Redjo dan Arsitektur Bangunan Kuno

Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang

Pelaratan untuk Proses Coffee Roastery

Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang
Margo Redjo, “Coffee Roastery” Rumah Kopi Semarang

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *