Meski Seorang Tunanetra, Danny Heru Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Share this :

Di depan Hotel Majapahit Jalan Tunjungan, puluhan orang tampak berkelompok, mendengarkan pemandu acara menjelaskan seputar sejarah Jalan Tunjungan. Di antara puluhan peserta tampak seorang berkulit putih, yakni Mr. Anthony Clark, Consul & Deputy Head of post Australian Consulate – General. Mereka adalah para peserta acara Surabaya Walking Tour (SWT), Minggu (9/11/2022) pagi.

SWT, sebuah acara jalan-jalan menelusuri kawasan Surabaya, khususnya ke tempat-tempat yang meyimpan sejarah perkembangan Kota Surabaya. Dengan menggandeng komunitas Mata Hati, SWT menggelar acara berbeda dengan kegiatan sebelumnya, yakni acara dipandu oleh pemandu tur oleh disabilitas netra dari Mata Hati. Rute SWT dari Hotel Majapahit hingga Kantor PT PLN Area Surabaya Utara Jalan Gemblongan. Acara tersebut juga didukung oleh Roodebrug Soerabaia.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Danny Heru Dwi Hartanto dkk . saat mulai memandu acara Surabaya Walking Tour
Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Ady Setyawan membantu dengan menunjukkan foto lama kepada peserta

Danny Heru Dwi Hartanto, salah seorang dari Komunitas Mata Hati, dibantu dengan menggunakan pengeras suara, dia menjelaskan sejarah seputar Jalan Tunjungan, Hotel Majapahit, dan perobekan bendera Belanda bagian warna birunya. Meski tidak tahu lokasi tepatnya di mana, Dani cukup detail menceritakannya. Danny tidak datang sendiri, namun bersama ketiga rekannya juga tunanetra, yakni Prana Carenza, Fadhlakal Jamal Ghofiru Azwar, dan Rizal Kurniawan.

“Yang jelas di sebelah kanan saya. Sepurane, ya, masih belajar,” tutur pria Alumnus MKP Magister Kebijakan Publik, Fisip Unair, kepada peserta Exploring Tunjungan and Gemblongan.

Bersama Komunitas SWT, empat penyandang tunanetra yang tergabung di Komunitas Mata Hati, mereka belajar sejarah sekitar kawasan Tunjungan. Di samping juga belajar bagaimana cara menjadi pemandu wisata. Menunjukkan secara visual detail bangunan memang tidak mereka kuasai, apalagi menceritakan titik peristiwanya. Namun, jangan salah persepsi, mereka dapat bercerita dengan runtut.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Dengan suasana gembira, Danny dkk dipandu saat menyusuri Jalan Tunjungan
Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Dengan suasana gembira, Danny dkk dipandu saat menyusuri Jalan Tunjungan

“Kami merasa bangga bisa menjelaskan kepada pengunjung terkait sejarah Kota Surabaya, meski kami di komunitas penyandang tunanetra. Merasa bangga, karena kami menjadi bagian dari kota ini, siapapun kami, apapun latar belakangnya. Jadi, kami telah diberi kesempatan,” pungkas pria yang juga lihai memainkan gitar.

Sementara itu, Ady Setyawan, pendiri Surabaya Walking Tour, yang juga pendiri Roodebrug Soerabia, menuturkan bahwa pertemuan dengan Komunitas Mata Hati sudah dilakukan dua kali. Saat pertemuan itu, mereka dibekali materi sejarah tentang kawasan Tunjungan hingga Gemblongan. Setelah itu, baru praktik memandu peserta Exploring Tunjungan and Gemblongan.

“Danny dan rekan-rekannya telah dibekali materi dan dilatih menjadi pemandu wisata. Memang tidak mudah, semuanya butuh waktu,” tutur Ady Setyawan.

Selain menambah wawasan mereka, lanjut Ady Setyawan, kegiatan tersebut sekaligus menambah opsi profesi baru bagi para penyandang tunanetra. Jadi, bukan tidak mungkin Danny dan ketiga temannya menjadi pemandu wisata sejarah Kota Surabaya. Untuk bisa sampai kategori mahir menguasai materi, tentunya masih butuh pendampingan dari pihak lain, selain butuh pendampingan saat berjalan menuju objek.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Para peserta mengamati detail foto lama dari objek bangunan lama bersejarah
Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Para peserta mengamati detail foto lama dari objek bangunan lama bersejarah

SWT di Jalan Tunjungan dan Gemblongan yang dipandu Komunitas Mata Hati ini merupakan yang pertama kali. Jadi, dari Jalan Tunjungan sampai Gemblongan, tiap gedung ada kisah apa, sejarahnya apa, ada peristiwa apa, terutama kaitanya dengan revolusi, itu tadi dijelaskan sama teman-teman. Tidak hanya memberi penjelasan secara verbal, mereka juga memberi gambaran visual tempo dulu dengan membawa foto-foto lama, lanjutnya.

“Foto-foto lama yang menceritakan peristiwa perjuangan di Jalan Tunjungan dan Gemblongan kami bawa. Foto-foto besar tersebut menggambarkan waktu perang Surabaya. Ada tank yang hancur di sini, kenapa ada monumen di sini, itu kami ceritakan kisah-kisah di baliknya,” tambahnya.

Di sela-sela saat istirahat setelah berjalan mengunjungi beberapa tempat bersejarah, Danny Heru Dwi Hartanto dan rekan-rekannya menghibur peserta dengan beberapa lagu. Matahari di atas Kota Surabaya cukup mebuat badan para peserta Surabaya walking Tour berpeluh. Petikan gitar Danny dan alat musik lain yang mereka dimainkan cukup membuat suasana menjadi rileks.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Danny dkk menghibur peserta dengan beberapa lagu saat beristirahat
Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Peserta mengapresiasi sajian lagu dari Danny dkk.

Allah tak pernah salah atau keliru menciptakan makhluknya, termasuk penciptaan manusia. Salah atau keliru hanyalah persepsi manusia. Terlahir dengan penyandang tunanetra pun kesempurnaan dari Allah. Manusia lahir membawa kelebihan masing-masing. Danny Heru Dwi Hartanto, Prana Carenza, Fadhlakal Jamal Ghofiru Azwar, dan Rizal Kurniawan adalah warrior masa kini, kata Ady Setyawan.

Di masa lalu kita mendengarkan cerita atau bahkan telah menonton film Si Buta dari Goa Hantu. Jika warrior zaman sekarang, si buta tidak lagi ditemani oleh monyet, tetapi oleh handphone dan laptop dengan semua kecanggihan teknologinya. Berbekal piranti tersebut, Danny dan rekan-rekannya berusaha menyesuaikan diri, pungkas pria pehobi bersepeda dan lari.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Sebagian peserta Surabaya Walking Tour

Tempat Bersejarah di Kasawan Tunjungan hingga Gemblongan

Jalan Tunjungan

Jalan Tunjungan menjadi jantung kota sekaligus ikon Surabaya. Jalan yang membentang arah utara selatan itu memang sarat sejarah. Dulunya, Tunjungan adalah koridor penghubung antara Kota Lama (Kota Indisch, 1870 – 1900) dan Kota Baru (Kota Gemeente, 1905 – 1940). Jalan tersebut tumbuh dan berkembang sebagai shopping street dengan shopping arcade (pusat perbelanjaan).

Jalan Tunjungan menjadi kawasan komersial sejak kawasan perumahan pertama kali dibangun di Surabaya. Yakni pada tahun 1899 di daerah Simpang (saat ini kawasan Bambu Runcing, Jalan Panglima Sudirman). Jalan Tunjungan menjadi pusat perdagangan sejak tahun 1888 karena dilalui jalur lintasan trem, yakni rute Krian – Wonokromo – Jembatan Merah.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Jalan Tunjungan tempo dulu (foto KIT LV/Surabaya Tempo Dulu)

Hotel Majapahit

Dilansir dari Wikipedia, Hotel Majapahit adalah sebuah hotel mewah bersejarah di Jalan Tunjungan, Surabaya. Dulunya, bernama LMS, lalu Hotel Oranje dan kemudian Hotel Yamato, dan juga Hotel Hoteru. Saat ini, Hotel Majapahit yang dibangun pada tahun 1910 oleh Sarkies Bersaudara dari Armenia tersebut sudah berubah menjadi hotel mewah bintang lima dengan total 143 kamar di lantai satu dan dua.

Salah satu momen yang paling dikenal di hotel ini adalah peristiwa perobekan bagian warna bitu bendera Belanda pada tanggal 19 September 1945, yaitu Insiden Bendera. Peristiwa bermula ketika sekelompok orang Belanda yang dipimpin Mr. Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah Putih Biru) di puncak sebelah kanan hotel.

Para pejuang dan pemuda Surabaya naik ke menara tempat bendera dikibarkan, dan merobek warna biru pada bendera Belanda, yang berwarna merah, putih dan biru. Dengan demikian, bendera itu menjadi merah putih yaitu bendera Republik Indonesia. Insiden bendera itu mengakibatkan terbunuhnya Mr. Ploegman, beberapa pejuan Surabaya.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Kahar Salamun, General Manager Hotel Majapahit (tengan) menjelaskan sebagian detail hotel kepada Mr. Anthony Clark dan Sylvi Mutiara
Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Salamun Kahar menunjukkan kamar yang dulu dihuni Mr. Ploegman

F.J. Fuchs

F.J. Fuchs adalah bisnis perlengkapan harnes, sadel, buggy, horse, carriage, ban dan mobil yang berkantor pusat di Batavia, Hindia Belanda, dengan toko dan bengkel di berbagai kota di Jawa dan di Medan, Sumatera. Perusahaan ini kemudian dikenal sebagai Fuchs en Rens. Fuchs & Rens adalah pemasok utama mobil dan ban meninggalkan warisan bangunan di berbagai kota di Indonesia, sebagaimana dilansir dari Wikipedia.

Pada tahun 1911 dibuka kantor cabang di Soerabaia (Surabaya), dekat Hotel Oranje dan mempekerjakan 200 orang. Pada tahun 1915, D.D. Rens, cabang Booheen Fuchs di Medan, Surabaya, Jakarta dan Semarang merupakan dealer Hudson Automobiles. Bengkel Fuchs en Rens (Fuchs and Rens) dan dealer mobil termasuk satu di Surabaya di atas tanah yang dibeli pada tahun 1910 seluas 3951 m2 di Jalan Tunjungan, dan selesai pada tahun 1913.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Gedung Fuchs & Rens di Jalan Tunjungan
Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Fuchs & Rens (foto KIT LV/Surabaya Tempo Dulu)

Gedung Ruang Pamer Dinas Perdagangan Gementee Soerabaia

Sejak awal abad XIX Surabaya sudah menjadi kota modern, Surabaya lebih bagus dan lebih hidup daripada Batavia. Di dalam kota terdapat banyak gedung-gedung kantor dagang maupun pasar. Surabaya berkembang tidak hanya sebagai kota dagang, tetapi juga sebagai kota industri maupun kerajinan. Hal ini terlihat dari banyaknya pabrik- pabrik maupun sentra kerajinan di Surabaya.

Awal abad XX kota-kota besar di Jawa sebagian besar menjalankan fungsinya sebagai pusat-pusat administratif dan komersial. Kota-kota pelabuhan utama di Jawa menjadi pusat komersial karena memiliki fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi yang dimaksud adalah memproduksi hasil bumi untuk perdagangan seperti gula, kopi, dan teh yang dijual untuk pasar internasional.

Gedung tersebut berfungsi untuk mengadakan pameran permanen mesin, bahan bangunan, perkakas, dan barang-barang teknis terkait. Calon pembeli akan menemukan di sini gambaran yang jelas tentang apa yang dapat diperoleh. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada antusiasme untuk menyewa stan. Apalagi untuk usaha yang tidak terletak di jalan besar, ini kesempatan yang bagus untuk mendapatkan showroom dengan harga terjangkau di salah satu stand terbaik surabaya.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Gedung ruang pamer Dinas Perdagangan Gementee Soerabaia

Gedung Siola

Gedung Siola bermula pada 1877, yaitu ketika investor berkebangsaan Inggris bernama Robert Laidlaw membangun gedung tersebut untuk dijadikan tempat bisnisnya. Saat itu, ia menamakan pusat perkulakan di gedung itu Het Engelsche Warenhuis. Ia bahkan sempat menjadi pengusaha tekstil terbesar saat itu dan memiliki usaha bernama Whiteaway Laidlaw, sebagaimana dilansir dari Surabaya.liputan6.com.

Setelah pemiliknya meninggal, kejayaan keluarga Laidlaw berakhir di sektor perdagangan pada 1935. Setelah Jepang masuk, gedung tersebut dibeli oleh pengusaha asal Jepang. Pengusaha itu mengubah nama gedung menjadi ’Toko Chiyoda’. Di toko itu, banyak yang dijual aneka tas dan juga koper. Saat itu, tas dan koper populer sehingga mendorong orang-orang untuk menjual barang tersebut.

Setelah Sekutu datang ke tanah Surabaya, Jepang tunduk kalah kepada Sekutu, lantas gedung menjadi kosong tak berpenghuni. Pada 1945, bangunan ini menjadi gedung pertahanan masyarakat Surabaya untuk menghindari serangan Sekutu yang datang dari utara, sehingga pantas disebut gedung perjuangan pemuda Surabaya.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Gedung Siola
Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Danny dkk mencoba membaca prasasti di salah satu dinding Gedung Siola

Kantor PLN Area Pelayanan Jaringan (APJ) Area Surabaya Utara

Bangunan kuno berlantai tiga, dan didominasi oleh lengkungan-lengkungan pada fasadnya, bangunan tersebut adalah PLN APJ Area Surabaya Utara saja. PLN ini terletak di Jalan Gemblongan No. 64 Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Gedung ini dulunya merupakan gedung N.V. Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteis Maatschappij (ANIEM), sebagaimana dilansir dari kekunaan.blogspot.com.

ANIEM merupakan perusahaan yang berada di bawah N.V. Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz & Co. Perusahaan ini berkedudukan di Amsterdam dan masuk pertama kali ke Kota Surabaya pada akhir abad ke-19 dengan mendirikan perusahaan gas yang bernama Nederlandsche Indische Gas Maatschappij (NIGM). ANIEM berdiri pada tahun 1909, perusahaan ini diberi hak untuk membangun beberapa pembangkit tenaga listrik berikut sistem distribusinya di kota-kota besar di Jawa.

Pada masa Pertempuran Surabaya 1945 gedung ini pun mempunyai peran penting, mengingat lokasinya berdekatan dengan Alun-Alun Contong. Pada masa revolusi kemerdekaan 1945 sekitar Alun-Alun Contong berkobar pertempuran di Kota Surabaya, dan pemboman pihak musuh (Inggris, Gurkha, dan Nica) yang dilancarkan dari darat, laut dan udara sehingga Surabaya menjadi lautan api. Gedung ini pula pernah menjadi Sekolah Radio, salah satu muridnya adalah Pramoedya Ananta Toer.

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Gedung PLN Area Surabaya Utara di Jalan Gemblongan

*** *** ***

Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Sebagian peserta foto bersama berlatar belakang mural karya “C4KM4D” Rachmad Priyandoko
Meski Seorang Tunanetra, Danny Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour”
Danny dkk menghibur peserta sebelum acara selesai

You may also like

3 thoughts on “Meski Seorang Tunanetra, Danny Heru Dwi Hartanto Lancar Pandu Acara “Surabaya Walking Tour””

  1. Avatar
    Endang Sulistijorini

    Mata hatinya luar biasa,toh pendengarannya bagus jadi masih bisa komunikatif…
    Tunjungan makin cantik dan memikat…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *