Di tengah semarak Ramadan 1446 Hijriyah, komunitas kesejarahan Roode Brug Soerabaia menggelar acara bertajuk ‘Ampel Historical Track’. Kegiatan ini bukan sekadar jalan-jalan biasa, namun juga merupakan perjalanan menelusuri sejarah kawasan Ampel, salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa Timur, Minggu (23/3/2025).
Dalam suasana bulan suci yang penuh keberkahan, para peserta diajak untuk mengulik jejak para ulama, tokoh-tokoh Islam, serta warisan budaya yang masih terjaga hingga kini di kawasan tersebut. Acara ini dipandu oleh Hamzah Bahanan dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kawasan Ampel, yang dikenal memiliki pemahaman mendalam mengenai sejarah dan budaya setempat.
Satrio Sudarso, Ketua Roode Brug Soerabaia, menuturkan bahwa ‘Ampel Historical Track’ bukan hanya sekadar kegiatan wisata sejarah, pun juga sebuah perjalanan spiritual yang mengajak peserta untuk mengenang jejak para pendahulu yang berkontribusi dalam membangun peradaban Islam maupun pemerintahan se zamannya di Indonesia, khususnya di Surabaya masa lampau.
“Di samping itu, acara ini menjadi bukti bahwa sejarah bukan hanya untuk diingat, namun juga untuk dipahami dan dijadikan inspirasi dalam kehidupan modern. Dengan kegiatan seperti ini, diharapkan masyarakat, khususnya kaum muda, semakin menyadari pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya serta nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendahulu,” pungkas salah satu dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Perjalanan susur kawasan Ampel dimulai dari titik kumpul di depan Toko Duta Salma, berlokasi di Jalan Nyamplungan 119 Surabaya, tepat di sebelah kanan Gerbang Ampel Menara. Dari sini, peserta diajak jalan-jalan menyusuri gang-gang sempit khas kawasan Ampel dengan beberapa arsitektur kuno yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban Islam di Surabaya.
Tidak hanya bangunan, namun juga cerita mengenai para tokoh yang berjasa dalam penyebaran Islam dan perjuangan kemerdekaan turut menjadi bagian dari acara ini. Obyek pertama dalam kegiatan ini menuju Makam K.H. Mansyur, seorang pahlawan nasional yang memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sekaligus dalam pengembangan ajaran Islam di Surabaya.
Setelah itu, peserta diajak mengunjungi Makam K.H. Hasan Gipo, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pertama, yang memiliki kontribusi besar dalam membesarkan organisasi Islam terbesar di Indonesia. Perjalanan berlanjut menuju makam Mbah Soleh, seorang tokoh yang dikenal karena dedikasinya dalam menjaga kebersihan Masjid Ampel.
Selain mengunjungi makam-makam tokoh Islam yang berpengaruh, peserta juga diajak berhenti sejenak di salah satu gapura. Gapura Sunan Ampel, sebuah gerbang bersejarah yang menjadi ikon kawasan religius ini. Gapura-gapura yang dijuluki ‘Gapuro Limo’ ini memiliki ornamen relief dan ukuran yang berbeda-beda.
Hamzah Bahanan menjelaskan, yang pertama Gapuro Munggah (naik) yang ada di Jalan Sasak. Gapura ini merupakan salah satu gapura pintu masuk menuju makam Sunan Ampel. Lalu ada Gapuro Poso (puasa) di dekat tempat wudhu para peziarah. Masuk lebih dalam menuju makam Sunan Ampel, peziarah akan menjumpai Gapuro Mengadep (menghadap).
“Gapura ini identik dengan relief ornamen berbentuk cengkeh,” jelas Hamzah Bahanan.
Kemudian, lanjut Hamzah Bahanan, peziarah akan melewati Gapuro ngamal (zakat). Hingga di gapura terakhir di dekat makam Sunan Ampel, yakni Gapuro Paneksen (penyaksian). Rombongan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Langgar Gipo, sebuah tempat ibadah yang telah berdiri sejak lama dan menyimpan banyak cerita sejarah.
Perjalanan semakin menarik dengan kunjungan ke Musala Bafadhol, sebuah tempat ibadah kecil yang memiliki nilai arsitektur dan sejarah yang masih aktif digunakan hingga saat ini. Sedangkan destinasi terakhir adalah Makam Sentono Botoputih, tempat peristirahatan tokoh-tokoh penting Surabaya masa lampau.
Di Makam Sentono Botoputih, di antaranya ada makam Sunan Botoputih dan Makam Maulana Mohammad Syaifuddin, Sultan Banten ke-17 sekaligus sultan terakhir, wafat pada 3 Rajab 1318 H, bertepatan 11 November 1899. Kedua makam ini bersebelahan dan menjadi saksi sejarah perjalanan panjang Islam di Nusantara. Selain itu, masih banyak tokoh-tokoh penting di makam ini.
Keunikan dari kegiatan ‘Ampel Historical Track’ ini adalah keberagaman latar belakang 50 peserta yang ikut serta. Tidak hanya dihadiri oleh peserta Muslim, namun juga beberapa peserta non-Muslim yang turut serta dalam suasana penuh toleransi. Mereka membaur dalam perjalanan yang tentu tidak hanya memberikan wawasan peninggalan sejarah lokal kawasan Ampel,pun sejarah perkembangan Islam di dalamnya.
Justru, acara ada nilai plus, yakni juga memperkuat nilai-nilai kebersamaan dan keharmonisan antarumat beragama. Bagi peserta Muslim, perjalanan ini menjadi penguat nilai spiritual di bulan Ramadan, sedangkan bagi peserta non-Muslim, ini menjadi pengalaman budaya yang autentik, yang memberikan wawasan dan pemahaman lebih dalam mengenai sejarah Islam di Surabaya.
Pada kesempatan yang sama, Chrisyandi Tri Kartika, Pustakawan Universitas Ciputra Surabaya, yang juga sebagai Ketua Pernak-Pernik Surabaya Lama (PSL), menekankan tentang pentingnya kegiatan semacam ini. Selain menambah wawasan mengenai sejarah lokal Surabaya, khususnya di kawasan Ampel, kegiatan ini juga memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang konteks kehidupan sosial masyarakat setempat.
“Mayoritas penduduk di kawasan tersebut merupakan keturunan etnis Arab, disusul oleh etnis Jawa, sebagian etnis Madura, dan kelompok etnis lainnya, yang secara bersama-sama membentuk keberagaman budaya dan tradisi di wilayah tersebut,” pungkasnya.
Sebagai penutup kegiatan, usai salat Maghrib, peserta menikmati hidangan berbuka puasa dengan menu khas Timur Tengah, seperti nasi biryani yang kaya rempah, kue kamer yang manis legit, dan es ‘bubble gum’ yang menyegarkan tenggorokan setelah sesore berjalan di bawah terik matahari Surabaya. Momen berbuka ini menjadi ajang untuk berbagi cerita dan refleksi mengenai perjalanan yang telah dilalui.
Usai bubaran, beberapa peserta ‘Ampel Historical Track’ menyempatkan ke Makam Njai Roro Kiendjeng (baca: Nyai Roro Kinjeng), anak perempuan dari Kiai Toemenggoeng Onggodjojo (baca: Kyai Tumenggung Onggojoyo), famili dari keluarga Tjoa (baca: Coa), di kompleks makam tak jauh dari Masjid Ampel. Sambil membeli oleh-oleh jajanan khas seperti kebab, dan lain-lain setelahnya.
Biarkan Foto Bicara
‘Ampel Historical Track’: Susur Jejak Sejarah Islam di Surabaya
dalam Semarak Ramadan 1446 Hijriyah
