Sebuah Refleksi Digital: Kepakaran Dikesampingkan, Opini Dikedepankan

Sebuah Refleksi Digital: Kepakaran Dikesampingkan, Opini Dikedepankan
Share this :

Esai tentang Kebiasaan Modern yang Memuja Opini dan Mencemooh Kepakaran

Tulisan ini terinspirasi dari share link unggahan dari akun Facebook: Logika Filsuf, Jumat (30/5/2025) dari seorang kawan, Wahyu D. Dari tautan yang dibagikan itu, saat direnungkan ada perspektif menarik, hingga tergugah untuk mencoba menuangkannya dalam bentuk esai. Lantaran, ada gagasan yang menggelitik, ada renungan yang layak dikembangkan lebih dalam. Berikut kutipannya:

“Masyarakat modern sedang sakit: membenci ahli tapi memuja pendapat amatir.” – Tom Nichols, dikutip dari akun Facebook: Logika Filsuf, sumber asli belum terverifikasi.

Acapkali, sebuah ide lahir dari hal-hal sederhana, seperti tautan yang dibagikan tersebut. Namun ketika sebuah pemikiran menyentuh ruang batin, ia tak bisa diabaikan begitu saja. Kiranya, ini tak sekadar respons sesaat, melainkan upaya merekam fenomena, sekaligus refleksi atas apa yang sedang terjadi di sekitar kita.

Kutipan itu barangkali bernuansa provokatif, namun sesungguhnya menyuarakan keresahan yang semakin nyata di era digital ini. Kita tengah hidup dalam masyarakat yang suka gaduh, yang makin kehilangan arah dalam membedakan mana pengetahuan, mana sekadar opini. Ketika orang lebih percaya pada suara yang paling lantang ketimbang mendengar suara para ahli, maka kita sedang menyaksikan gejala krisis intelektual yang serius.

Sedangkan pada buku The Death of Expertise karya Tom Nichols, ia mengupas bagaimana penolakan terhadap para ahli dipicu oleh berbagai faktor, seperti kebebasan akses internet, pergeseran pendidikan tinggi menjadi layanan berbasis kepuasan pelanggan, serta transformasi media menjadi hiburan 24 jam. Ironisnya, alih-alih mencerdaskan masyarakat, banjir informasi justru melahirkan warga yang minim pemahaman namun penuh kemarahan.

Tom Nichols, seorang profesor di bidang keamanan nasional dan studi internasional di U.S. Naval War College, penulis dan komentator politik asal Amerika Serikat. Ia dikenal luas sebagai penulis buku The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters (2017), yang mengkritik kecenderungan masyarakat modern menolak otoritas para ahli dan lebih mengandalkan opini pribadi meski tanpa dasar pengetahuan yang memadai.

Kemajuan teknologi dan meningkatnya akses pendidikan memang membuat masyarakat lebih mudah terpapar informasi. Namun, kemudahan ini juga memicu munculnya sikap egaliter intelektual yang keliru dan cenderung narsistik. Banyak orang merasa dirinya setara dengan para pakar hanya karena membaca artikel di Wikipedia atau menonton video singkat di media sosial.

Ketika setiap orang merasa tak ada yang lebih tahu dari dirinya, pendapat tanpa dasar ilmiah pun menuntut dihargai sama dengan pandangan yang berbasis pengetahuan. Akibatnya, suara-suara yang kompeten dan berdasar ilmiah sering dicemooh sebagai bentuk keangkuhan intelektual atau elitisme yang dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi.

Saya menyebutnya sebagai gejala sakit di peradaban digital. Ironis memang. Di zaman ketika informasi bisa diakses dalam hitungan detik, masyarakat justru kian jauh dari berpikir bijak. Seseorang merasa telah memahami isu kompleks hanya dengan menonton satu video pendek, atau membaca satu postingan viral. Sementara, produk riset dan pengalaman para ahli acapkali diabaikan.

Fenomena ini bukan muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dari ketakpercayaan pada institusi. Banyak orang melihat para ahli sebagai bagian dari sistem yang kaku, elitis, dan terlalu jauh atau dianggap tak relevan dari realitas sehari-hari. Akibatnya, masyarakat mencari narasi alternatif, yang lebih receh dan remeh, namun lebih berdaya emosional, dan acapkali menyesatkan.

Source dari akun Facebook Logika Filsuf

Masyarakat Digital Versus Penikmat Digital

Di tengah kebisingan dan kegaduhan ini, melahirkan sebagian dari masyarakat yang merasa ‘paling tahu’, padahal sesungguhnya sedang tersesat dalam keyakinan semu. Di titik ini, penting bagi kita untuk bisa membedakan antara dua kelompok di ruang digital saat ini, yakni masyarakat digital dan penikmat digital.

Masyarakat digital adalah mereka yang aktif menciptakan nilai melalui teknologi digital. Mereka adalah pelaku bisnis daring, pengembang aplikasi, pendidik berbasis platform, kreator konten profesional, atau inovator startup. Mereka tak punya banyak waktu untuk ikut dalam perdebatan kosong di media sosial, karena mereka fokus membangun, mengeksekusi, dan menciptakan dampak nyata dari transformasi digital.

Sedangkan, penikmat digital adalah mereka menikmati teknologi sebagai sarana hiburan, ruang ekspresi, pelampiasan opini, atau konsumsi informasi tanpa check and recheck sehingga sering terjadi distorsi informasi. Kolom komentar dipenuhi opini emosional, argumen tak logis, bahkan panggung konspirasi dan provokasi. Yang viral bukan yang paling valid, namun yang paling vokal. Tentu tak semua, namun sebagian besar yang aktif di ruang komentar menunjukkan gejala ini.

Celakanya, sebagian masyarakat lebih cenderung mendengarkan penikmat digital yang berteriak lantang, lebih suka menyerap opini ketimbang beradu data. Lebih cepat menyebarkan kabar ketimbang memverifikasi kebenaran. Di sini, kita mulai kehilangan arah. Ketika kebijakan publik ditentukan oleh suara mayoritas yang tak terinformasi dengan valid, maka kita sedang melangkah mundur dari peradaban.

Dalam iklim seperti ini, fakta dan argumen ilmiah kehilangan daya tawarnya, digantikan oleh emosi dan perasaan subjektif. Kecenderungan ini tak lahir dari ruang kosong. Demokratisasi media melalui internet memang memberi panggung bagi semua orang. Namun tanpa literasi digital dan kesadaran berpikir kritis, kita mudah terjebak dalam ilusi bahwa semua pendapat adalah benar selama diucapkan dengan lantang.

Saya tak mengatakan bahwa para ahli selalu benar, tak juga bahwa institusi tak bisa dikritik. Namun ada perbedaan antara mengkritik dengan dasar yang kuat, dan menolak lantaran tak sependapat dengan pribadi dan atau kelompoknya. Menolak yang demikian, bentuk arogansi yang justru mengerdilkan daya nalar. Kita butuh kritik, ya, namun kritik yang rasional, bukan semata karena kebencian.

Sayangnya, kehidupan dalam dunia nyata tak seperti itu. Sebuah jembatan itu dibangun oleh insinyur, bukan oleh komentar warganet. Obat diramu oleh para farmasis, bukan oleh para influencer. Maka, dalam setiap keputusan penting, kepakaran tetap menjadi acuan utama bagi kemajuan dan keselamatan. Mencintai kebebasan berpendapat hal baik, namun mesti ada patokan yang mendasarinya.

Di tengah dunia yang semakin bising, tak semua hal bisa dipahami dalam hitungan detik atau menit. Kita butuh keberanian untuk berkata, “Saya tak tahu, atau saya perlu belajar.” Kita butuh kerendahan hati untuk mendengar, bukan untuk bicara. Kita butuh kembali pada semangat bahwa kebenaran bukan ditentukan oleh siapa paling lantang bersuara, namun oleh siapa paling jujur dalam mencari.

Jika kita terus mencemooh kepakaran dan memuja kebisingan opini, maka kondisi ke depan bukan hanya gelap, namun juga penuh kebodohan yang dipelihara secara kolektif. Karena jika kebenaran hanya ditentukan oleh siapa yang paling keras atau lantang berbicara, maka bukan cuma ilmu pengetahuan yang terancam, pun akal sehat kita turut tercemari. Akal kita sedang sakit. “Dalam kebisingan, kebenaran butuh ketenangan untuk bisa terdengar.”

*

Catatan: Esai ini ditulis dalam semangat untuk mengajak kita kembali menghargai kepakaran dan rasionalitas. Berpendapat itu memang hak, barangkali sebagai pengingat bahwa kebebasan berpendapat itu ada norma dan adab yang mesti dipatuhi. Mari bersama-sama menata ulang ruang diskusi publik di media sosial agar menjadi lebih sehat, lebih cerdas, dan lebih bijak. Semoga pesan Tom Nichols yang tersirat dalam unggahan itu bisa menjalar lebih luas dan menggugah lebih banyak hati. (Ali Muchson)

Sumber:

Nichols, T. (2017). The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters. Oxford University Press.

Featured image by: http//gemini.google.com/AI

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *